Meneropong Masa Depan Pendidikan Tinggi
Meneropong Masa Depan Pendidikan Tinggi, Jika RUU Pendidikan Tinggi Harus Disahkan *
Oleh: Muhammad Bahrul Ulum
Jika kita melihat secara sungguh-sungguh perkembangan pembangunan bangsa ini, pasti tidak pernah lepas dari strategi pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM). Melalui jalur pendidikan formal dinilai sebagai cara yang efektif dan lebih optimal dalam meningkatkan kualitas SDM tersebut. Bahkan, telah dikukuhkan dalam UUD 1945, Pasal 31 menentukan dengan tegas bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Di dalamnya tidak dapat dipungkiri, memang perguruan tinggi memegang peranan penting yang selalu terlibat dalam pencerdasan generasi bangsa ini. Selaras dengan peranan penting itu, perguruan tinggi merupakan elemen vital dalam bidang pendidikan, baik terkait pengembangan keilmuan maupun penataan karakter generasi bangsa.
Sekiranya masih tertanam kuat dalam pemikiran kita, apa yang mengemuka di jagat legislasi setelah tersuguhkan Undang-Undang Badan Hukum Pemdidikan (UU BHP). Sementara di sisi lain, undang-undang ini justru menimbulkan polemik pengaturan badan hukum perguruan tinggi. Polemik tersebut pada dasarnya telah muncul ke permukaan pada tahap pembahasan, namun tetap dipaksa untuk disahkan sebagai undang-undang. Pada akhirnya, UU BHP dibatalkan oleh MK yang dinilai inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak sesuai dengan maksud UU Sisdiknas.
Meski MK telah membatalkan UU BHP bukan berarti ini sebagai garis final untuk memutus polemik pengaturan perguruan tinggi. Atau dengan kata lain polemik pengaturan perguruan tinggi ini masih belum usai dan masih terus berjalan sampai terbentuk undang-undang secara khusus mengatur perguruan tinggi. Sebab, regulasi perguruan tinggi sangat dibutuhkan demi pembangunan pendidikan yang terpadu dan relevan dengan pengembangan kualitas pendidikan.
Tetapi, pengaturannya harus selalu sejalan dengan prinsip keadilan sosial sehingga mampu mewujudkan keadilan secara substantif dalam penerapannya kelak. Pengaturan mengenai perguruan tinggi nantinya juga tidak dibenarkan menyimpang dari prinsip-prinsip dasar yang diletakkan para pendiri bangsa (the founding parents) dalam Pancasila.
Kenyataan akan runtuhnya deretan normatif dalam UU BHP ini dinilai perlu disikapi dengan bijak. Fenomena tersebut bukan sama sekali merupakan kegagalan legislasi dalam menata sistem pendidikan di Indonesia. Seyogianya melalui kejadian tersebut dijadikan sebuah momentum refleksi sekaligus sebuah proses pembelajaran bersama, betapa pentingnya ranah pendidikan yang tidak boleh diabaikan sedikitpun. Sebab, dengan pendidikan yang pada hakikatnya bangsa dan negara ini akan dijunjung di atas menara keagungan dan kemandirian.
Demi menjamin kepastian hukum, keberadaan perguruan tinggi perlu dilakukan pengaturan khusus berbentuk undang-undang dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Sekaligus melengkapi UU Sisdiknas yang masih belum mampu mengakomodasi kebutuhan secara penuh seiring pesatnya perkembangan daya saing dan ilmu pengetahuan. Pengaturan tersebut meliputi perbaikan pengaturan struktur dan fungsi keorganisasian, tata kelola dan pelaksanaan pendidikan tinggi. Pada akhirnya, tujuan utama pengaturan ini guna mendorong dan merestorasi kualitas kinerja perguruan tinggi yang mampu bersaing dalam kancah internasional.
Pengaturan ini sebagai sebuah keniscayaan dalam menjamin arah pembangunan kualitas pendidikan tinggi yang mampu berjalan secara optimal. Pendidikan akan berjalan optimal jika dilakukan secara terarah dan sinergis dengan kerangka sistem pendidikan nasional. Begitulah, setidaknya pendidikan yang dicanangkan berbasis sistem, yang hasilnya akan berbeda jika pembangunannya tidak dilakukan secara komprehensif dan sporadik.
Komodifikasi Pendidikan Tinggi?
Tidak lama kemudian, digulirkanlah Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) dalam meja legislasi, yang mengatur dan menata mengenai perguruan tinggi yang lebih spesifik ketimbang UU BHP. Sayangnya, RUU yang kini tengah dibahas untuk segera disahkan sebagai undang-undang itu tidak mamu menyajikan pengaturan yang berimbang. Sebab, RUU PT lebih banyak mengatur Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ketimbang Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Akibatnya, jika nantinya RUU ini harus disahkan, akan menimbulkan polemik tersendiri dalam dunia perguruan tinggi. Bahkan akan terjadi pertarungan antara PTN sebagai anak pemerintah dan PTS yang hampir secara keseluruhan harus membiayai urusan rumah tangganya sendiri. Keberadaan RUU PT yang pada awalnya rajutan hukum ini akan ditempatkan sebagai menjadi payung hukum PT yang adil dan mampu menaungi seluruh perguruan tinggi di Indonesia, nyatanya muncul indikasi yang tidak dapat memenuhi rasa keadilan, yaitu justru cenderung menganaktirikan PTS.
Dapat dikatakan bahwa RUU PT ini bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, menjadi kebutuhan akan pengaturan perguruan tinggi di tengah pesatnya perkembangan zaman yang menuntut kemampuan daya saing PT Indonesia. Di sisi lain, materi muatannya dinilai masih cenderung tebang pilih dalam memperlakukan PTN dan PTS. Namun terlebih dahulu perlu kiranya melihat bahwa dalam demokrasi berisi asas persamaan dan kebebasan.
Titik berat di sini adalah pada persamaan yang diartikan bahwa setiap warga negara berhak diperlakukan sama di depan hukum dengan tidak terkecuali. Pemberlakuan hukum yang berbeda bagi setiap warga negara ini merupakan sebuah bentuk pelanggaan terhadap HAM sehingga berseberangan dengan prinsip demokrasi. Tentu materi muatan dalam RUU PT menjadikan PT dalam bayang-bayang demokrasi. Seperti pengaturan pendanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban pemerintah terhadap PTS. Bahkan yang terakhir, RUU ini memberikan tempat bagi Perguruan Tinggi Asing (PTA) untuk membuka program studi di Indonesia.
Pertama, permasalahan muncul dalam BAB VII RUU PT yang mengatur pendanaan. Anehnya, pengaturan pendanaan hanya mengenai pendanaan PTN, namun tidak dengan PTS. Mengenai sumber pendanaan, pola pengelolaan dan pengalokasian biaya untuk PTN telah disebutkan secara rinci dalam bab tersebut. Sedangkan untuk PTS tidak disebutkan sama sekali. Padahal, pendanaan merupakan masalah cukup vital yang akan memengaruhi arah pembangunan dan peningkatan kualitas PT, baik PTN maupun PTS.
Sekiranya tidaklah salah jika RUU tersebut mengatur pendanaan bagi PTN, justru pengaturan tersebut lebih bagus dengan adanya kejelasan norma, baik dari sumber pendanaan maupun pola pengelolaannya. Bahkan pengaturan pendanaan yang tercantum dalam RUU PT lebih baik ketimbang pengaturan dalam UU BHP. Namun, menjadi keliru jika PTS yang sama-sama sebagai perguruan tinggi sebagaimana PTN tidak ditentukan pengaturan pendanaan dalam bab tersebut. Tentu pengaturan ini tidaklah berimbang dan akan menimbulkan permasalahan lain dalam pelaksanaannya.
Pada dasarnya, dengan pengaturan yang lebih rinci terkait pendanaan bagi PTS merupakan wujud adanya perhatian pemerintah terhadap PTS. Tai seolah pemerintah enggan mencantumkan pengaturan tersebut. Materi pengaturan tersebut seharusnya perlu pula ditentukan terkait sumber pendanaan pemerintah bagi PTS. Walaupun nantinya pendanaan yang dikucurkan pemerintah bagi PTS tidak sebesar yang diberikan kepada PTN, namun setidaknya dengan ketentuan rinci menjadi wujud komitmen pemerintah terhadap pemajuan pendidikan tinggi pada PTS.
Keganjilan demi keganjilan pun terus terbenam dalam RUU ini, yaitu mengenai kewajiban penerimaan mahasiswa baru bagi PTN. Dalam Pasal 88 disebutkan bahwa PTN dan PTN Khusus wajib menerima calon mahasiswa WNI yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% dari jumlah seluruh mahasiswa baru. Di samping itu, PTN dan PTN Khusus wajib mengalokasikan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa WNI yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% dari jumlah seluruh mahasiswa. Namun pengaturan ini tidak berlaku bagi PTS, karena yang disebutkan adalah PTN, bukan PTS.
Akibatnya, ketiadaan pengaturan kewajiban penerimaan mahasiswa baru bagi PTS ini menimbulkan spekulasi dan permasalahan pemerataan pemenuhan hak atas pendidikan sebagai hak konstitusional. Para mahasiswa dari keluarga miskin berpotensi akademik tinggi yang tidak masuk PTN, maka tidak akan mampu kuliah pada PTS yang berkualitas karena mahalnya biaya yang harus dikeluarkan dan tidak akan mungkin dijangkau.
Demikian halnya jika kemudian mahasiswa dari keluarga miskin tersebut diterima ada PTS yang berkualitas, mereka sangat susah dibayangkan untuk mampu bertahan. Sedangkan jika ada beasiswa yang disediakan, baik dari pemerintah maupun non pemerintah tidak akan mampu mencukupi kebutuhan mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin tersebut. Sebab, nyatanya beasiswa yang disediakan tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan pada PTS yang berkualitas tersebut.
Alternatifnya, mereka harus merelakan diri sekedar mengenyam PTS berkualitas rendah dengan segala keterbatasan fasilitas yang disediakan PTS tersebut. Dapat dikatakan bahwa berkat RUU ini justru terjadi komodifikasi dunia pendidikan tinggi, berupa pergeseran nilai guna pendidikan tinggi dalam pengembangan kualitas generasi bangsa, menjadi nilai tukar yang patut diperjualbelikan, meski menimbulkan ketidakadilan.
Kedua, pengaturan pengawasan yang tertuang dalam Bab VIII juga tertitik berat pada PTN. Permasalahan yang muncul adalah, apakah PTS tidak memerlukan pengawasan dari pemerintah dan akuntabilitas bagi PTS perlu untuk dikesampingkan? Tentu pengawasan perlu dilakukan oleh pemerintah dan akuntabilitas publik, baik akademik maupun non akademik harus tetap dijaga. Hal ini tentu ironi jika pemerintah tidak mengatur pengawasan yang rinci bagi PTS sekaligus ini sebagai wujud langkah mundur dari peningkatan kualitas PTS. Bahkan dapat dikatakan ini sebagai wujud pembiaran Pemerintah terhadap PTS.
Ketiga, permasalahan terkait pertanggungjawaban negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan. Dalam teori kontrak sosial Jean Jacque Rousseau, kita mengenal volonte generale, yaitu negara sebagai pelaksana dari kehendak umum. Ini tentu membawa konsekuensi adanya kewajiban negara untuk melindungi, memenuhi dan menjamin hak konstitusional warga negara dan negara terikat atas kesepakatan tersebut. Permasalahanya mengenai ketiadaan upaya dan komitem yang tegas dari pemerintah untuk mendorong PTS untuk mampu bersaing dengan Perguruan Tinggi lain, bahkan dengan PTN. Sehingga pengaturannya terkesan cenderung menganakemaskan PTN ketimbang PTS.
Di sini, keterlibatan pemerintah sangatlah minim dan berbeda jauh dibanding terhadap PTN. Baik mahasiswa PTN maupun PTS, mayoritas mereka adalah warga Indonesia yang seharusnya dilindungi hak konstitusionalnya atas pendidikan oleh pemerintah. Jika tidak, ini merupakan wujud diskriminasi antara mahasiswa PTN dan PTS, khususnya dalam pembiayaan. Bahkan ini sebagai wujud pelarian tanggung jawab pemerintah dalam mencerdasarkan bangsa.
Dapat dikatakan, keberadaan RUU PT yang apabila nantinya disahkan menjadi undang-undang merupakan jebakan bagi PTS dan mahasiswanya dalam memperoleh persamaan perlakuan yang adil. Tentu tidak dapat dipungkiri, semua mahasiswa akan dapat kuliah yang ditampung pada PTN.
Mahasiswa pada PTN secara umum daat dikatakan sebagai mahasiswa pilihan yang telah melalui seleksi dengan menyisihkan sekian banyak pesaingnya. Lalu, bagaimana dengan para calon mahasiswa yang terisisihkan? Mereka akan kuliah di mana jika tidak di PTS. Sehingga PTS pada esensinya tetap memiliki peran serta dalam memajukan kualitas pendidikan bangsa. Ini yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah.
Keempat, Pasal 73 RUU PT menyebutkan bahwa PTA dapat membuka program studi di wilayah NKRI. Tentu ini sebagai pecut bagi perguruan tinggi Indonesia, baik PTN maupun PTS. Jika ketentuan tersebut diberlakukan, tentu akan berakibat pada degenerasi PTN dan PTS di Indonesia. Dari sisi ini, tampak cukup jelas bahwa komitmen pemerintah cenderung tidak memfokuskan pada perbaikan kualitas PT Indonesia, namun langkah yang ditempuh justru dengan memberikan kesempatan bagi PTA untuk berdiri di NKRI.
Pada satu sisi, kehadiran PTA membawa polemik terkait penanaman kualitas karakter generasi bangsa yang sangat dimungkinkan menyimpang dari karakter dan ideologi Pancasila. Di sisi lain, kehadiran PTA justru akan menjadi rival baru PTN dan PTS, bahkan berpotensi PTN dan PTS yang telah berdiri dan berkembang yang seharusnya dibina dan dikembangkan secara intensif oleh pemerintah sehingga mampu bersaing dengan PTA. Dengan demikian, kehadiran PTA yang diberikan kesempatan membuka program studi di Indonesia justru menimbulkan masalah yang cukup kompleks.
Sekiranya tidaklah salah jika pengaturannya mengenai kerjasama internasional. Merujuk Pasal 74 RUU PT menyebutkan bahwa PT dapat melaksanakan kerjasama internasional. Pengaturan ketentuan ini lebih solutif ketimbang memberikan kesempatan bagi PTA untuk membuka program studi. Melalui kerjasama internasional ini dapat dijadikan sebagai sebuah media perbaikan kualitas PT terkait di Indonesia. Bahkan melalui kerjasama yang pasti adanya interaksi internasional antara PT Indonesia dengan PTA berimplikasi positif terhadap pengembangan PT Indonesia yang lebih futuristik dan berkualitas tanpa kehilangan jati diri bangsa dan tetap menjunjung tinggi perbaikan kualitas pendidikan Indonesia.
Langkah Antisipasi
Pada beberapa persoalan, seringkali muncul asumsi bahwa RUU yang digodok ada meja legislasi ini merupakan kesepakatan bersama para wakil rakyat, sehingga undang-undang merupakan suatu produk hukum yang demokratis. Di lain pihak mengemukakan bahwa undang-undang adalah produk politik, sehingga sangat wajar jika materi undang-undang memuat pertarungan kepentingan.
Pada akhirnya, terkait beberapa permasalahan yang muncul dalam undang-undang itu, mereka menggunakan jalan keluar dengan constitutional review ke MK yang dinilai sebaga lembaga peradilan pengawal konstitusi. Memang dalil yang dikemukakan tersebut tidaklah salah, namun jika pada saat pembahasan RUU telah ditemukan keganjilan bahkan telah diketahui kesalahannya yang dipastikan akan merugikan hak konstitusional warga negara Indonesia, kenapa harus dipertahankan. Kalau mereka bisa membuat undang-undang yang berkualitas dalam jagat legislasi, kenapa harus diluruskan di hadapan meja merah MK.
Paradigma ini yang seringkali nampak, sehingga tidak heran jika menjadikan MK sebagai bengkel legislasi yang bertugas memutar jarum jam menuju arah yang benar dan konstitusional. Sedangkan perlu kita sadari bersama bahwa undang-undang merupakan kebutuhan bersama yang akan menatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, tertib, aman dan sejahtera. Jika undang-undang itu baik berikut implementasinya, maka tidaklah sulit kesejahteraan itu diraih.
Dengan demikian, harus kita akui peliknya pengaturan perguruan tinggi tidak dapat terpisahkan dari wajah pendidikan Indonesia yang tengah mencari bentuk. Proses pencarian format perguruan tinggi tidaklah mustahil demi memenuhi keinginan bersama untuk mampu bersaing dalam kancah internasional dengan tetap setia menjunjung tinggi nilai-nilai dan karakter bangsa, merupakan sebuah konsep yang sedang dicari. Walaupun dalam proses tersebut seringkali berpotensi kuat bergeser menuju arah persimpangan keadilan dan terjadi disfungsionalitas penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Kesalahan demi kesalahan serta kekurangan perlu terus dibenahi untuk melengkapi perbaikan dalam penyusunan UU PT, yang apabila nanti disahkan benar-benar mampu sejalan dengan kepribadian bangsa, futuristik dan melahirkan generasi bangsa cerdas menuju Indonesia yang lebih baik. Jika tidak, kita akan menyaksikan bersama, amanat konstitusi yang bertujuan mencerdaskan pendidikan sebatas janji, tanpa bukti.
* Naskah ini dipresentasikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dalam rangka Justice Fair, 21 Oktober 2011.
.Tulisan Terkait: