Risalah Jembatan Layang

Sudut jembatan layang ini, yang menghubungkan Fakultas Kedokteran Unair dan Rumah Sakit dr. Soetomo, kembali mengingatkanku pada dua keadaan yang pelik untuk dilupakan. Yang sama rasa dari kedua keadaan itu adalah saat-saat menyeberang, melewati lorong jembatan layang yang mengapung di atas arus lalu lintas, berikut kemelut cerita yang mengiringi hati kala berdiri di atasnya.

Entah, kenapa perasaan itu kembali muncul ke permukaan setelah sekian tahun berlalu. Entah pula kenapa perasaan itu ternyata masih membekas dan meninggalkan risalah untuk kembali dikenang.

Yang pertama, adalah sekira tiga tahun yang lalu, tepatnya di Bulan Oktober 2009.

Sebenarnya jembatan ini tidak layak dan tidak perlu meninggalkan kenangan hingga sepelik ini, karena jembatan ini tidak memiliki keistimewaan sama sekali dalam sejarah hidup saya. Namun, satu hal yang tidak bisa terlupakan dan tak tergantikan adalah tentang apa yang disebut dengan pengalaman.

Ini adalah pengalaman saya untuk kali pertama menginjakkan kedua kaki mendaki jembatan layang. Adalah pengalam pertama yang mengharuskan untuk melewati jembatan yang menggantung itu, untuk menyeberang dari arah Stasiun Wonokromo menuju Darmo Trade Center (DTC), Surabaya.

Akhirnya, dengan membawa tas yang membebani punggung ini, saya sukses berdiri di sini, untuk hadir di atas kehingarbingaran laju kendaraan yang melaju dari dua arah yang berbeda ini. Perjalanan ini saya tempuh sesaat setelah saya dan kedua teman, sebut saja Mas Dizar dan Mbak Ria, seusai membeli tiket kereta api jurusan Wonokromo-Jember.

Namun sayang selaksa sayang, jam pemberangkatannya masih sekira dua jam lagi. Saya sadar betul bahwa dua jam adalah waktu yang lebih dari cukup untuk boker sepuasnya dan dua jam adalah waktu yang tepat pula untuk memejamkan mata sesaat setelah letihnya perjalanan dari Jakarta-Yogyakarta dan Yogyakarta-Surabaya ini.

Namun, alangkah lebih disayangkan lagi apabila dua jam ke depan akan menjadi waktu yang tersia-sia, jika tidak ada sesuatu apapun yang harus dilakukan. Bagi kami pilihan terburuk dengan menunggu adalah sesuatu yang sangat menyebalkan dalam sepekan terakhir. Keadaan seperti ini telah membuat saya gelisah dan merasa tidak damai.

Jika harus seperti ini, sama menyebalkannya dengan menunggu berakhirnya sesi perkuliahan yang diajarkan oleh seorang dosen Ilmu Negara atau Filsafat Logika. Yang saya dapatkan bukannya ilmu ataupun pengalaman, melainkan perasaan asing dan tidak puas yang terasa terasing dari berbagai penjuru di tengah asyiknya seorang dosen yang berorasi datar itu.

Singkatnya, menunggu adalah pengalaman yang terburuk bagi saya. Mungkin sama halnya yang dirasakan kedua teman ini. Lebih-lebih jika seperti ini, ini adalah pengalaman yang sangat membosankan dan kalau bisa sudah pasti akan saya hapus dalam lembaran cerita kehidupan saya. Sama seperti halnya apa yang baru saja terjadi beberapa jam yang lalu, menunggu yang berakhir dengan rapatan yang menyesakkan dada, urung mengangkat kedua jempol ini tinggi-tinggi di kampus makara.

Memang, suatu perjuangan tidak sekadar membutuhkan tekad, niat, komitmen, keinginan, cita-cita, harapan atau apalah namanya. Namun, di saat membumbungnya komitmen itu perlu diselaraskan dengan usaha. Di tengah usaha itu, usaha di atas usaha lah yang akan bisa membuat kita layak untuk membusungkan dada.

Biarkan aku menuliskan apa yang ingin aku ceritakan. Aku ingin mengungkapkan kesedihan ini.

Selain itu, setiap hal terburuk dalam hidup itu pasti tidak lain adalah disebabkan oleh kelalaian dan kekurangsiapan seseorang untuk menghadapi sesuatu yang akan kita hadapi, bisa itu perwujudan dari mimpi ataupun kenyataan dari sebuah harapan. Dan kenestapaan itu lahir dari ketidakberesan dan ketidakmatangan diri saya dan kedua teman saya saat diumumkannya tim kami terpilih sebagai satu di antara 5 finalis yang berhak mempresentasikan karya ilmiah di kampus makara.

Sebenarnya ketidakmatangan itu sudah tampak sesaat setelah diumumkannya pengumuman itu. Dari membuat slide presentasi, reservasi tiket kereta api, hingga yang lebih penting lagi adalah persiapan mental menghadapi empat tim lain dari kampus ternama di Indonesia.

Paginya, kami harus selekasnya mengurus administrasi dan berbagai persyaratan lain yang kami butuhkan untuk acara yang akan berlangsung dua hari lagi. Urusan birokrasi ini yang membuat kami kecewa, karena semuanya terasa sangat sulit dan seolah tidak memberikan ruang yang cepat di tengah kegentingan seperti ini. Tapi dari sini, kami tahu betapa pentingnya untuk bersabar, tidak boleh membuang tenaga dengan sia-sia, karena seusai ini kami harus secepatnya membuat slide presentasi.

Sore sekira pukul 15.00 WIB, akhirnya urusan birkorasi yang menjemukan itu telah tuntas. Namun, cuaca sedang tidak bersahabat. Meskipun kompensasi sudah diberikan dari kampus, namun hujan tengah mengguyur deras, yang membuat kami tidak bisa sesegera mungkin membeli tiket kereta api. Namun jangankan untuk pergi ke stasiun, pulang ke kosan saja sudah tidak mungkin kami tunaikan. Kami pun harus sabar menunggu, mendekam di kampus hingga pukul 16.00 WIB.

Tentu saya, pertimbangan kami naik kereta api, selain biayanya yang cukup murah, kampus makara dengan sangat mudah terjangkau dengan jalur kereta api. Dan ada pertimbangan yang lebih esensi lagi, tapi jangan dibuat tertawaan, yaitu karena saya sering mabuk.

Malamnya sehabis magrib kami sudah berkumpul di rumah Bapak Aries, pembimbing kami untuk merapatkan barisan, demi misi yang satu, membuat slide presentasi yang akan dipresentasikan besok lusa di kampus makara itu. Herannya, kenapa kami tidak sempat terpikir untuk membeli tiket kereta api untuk perjalanan besok.

Saat membuat naskah presentasi, perlu diakui, kami bertiga membutuhkan pengalaman yang matang untuk membuatnya. Meskipun demikian, kami terus bekerja keras agar selekas naskah presentasi ini agar kelar.

Sedikit demi sedikit, pekerjaan yang memakan banyak waktu ini akhirnya usai juga. Namun, kami tidak menyadari betapa banyak waktu yang kami habiskan. Sekarang sudah tepat pukul 02.00 WIB, sedangkan tidak ada enam jam lagi kami harus berangkat.

Dini hari itu pun kami harus bela-belain pergi ke warnet, untuk menilik apakah tiket kereta untuk perjalanan ke Jakarta masih tersedia. Mata yang terasa terpejam ini pun harus bersabar dan sedikit memaksakan diri, demi secarik tiket. Alhamdulillah meskipun tiket dari Jember-Surabaya sudah habis, namun masih banyak tempat duduk yang tersedia untuk perjalanan besok, dari Surabaya-Jakarta.

Yang disayangkan adalah pembelian tiket kereta api untuk jurusan Surabay-Jember ini tidak bisa dilayani di Stasiun Jember. Tak apalah, jika kami berangkat pagi-pagi pasti kami akan bisa mendapatkan tiket itu. Tapi setidaknya posisi kami yang tadinya berada pada zona keragu-raguan, sudah bergeser menuju zona setengah aman. Esok pagi, kami harus berada pada zona aman itu.

Kami berangkat ke Jember sekira pukul 08.30 WIB. Kami berangkat dari depan kampus IKIP PGRI Jember dengan naik angkot menuju Terminal Tawang Alun. Ini adalah kisah tragis yang tidak bisa aku hindari. Mungkin ini yang disebut bahwa hidup haruslah menerima. Ataupun ucapan bahwa kehidupan harus dihadapi meskipun semengerikan sekalipun. Adalah, kehidupan kala aku berjumpa dan berada di dalam bus.

Ah, lupakan saya, tidak baik mengingat sesuatu yang ujung-ujungnya adalah penyesalan. Biarkan hari ini aku menikmati apa yang dinamakan hidup. Biarkan aku hari ini menuliskan cerita indah dan menghapus kekandasan beberapa jam itu. Biarkan jalan layang ini adalah jalan baru untuk kebahagiaan, bukan sebuah jalan ratapan. Dan kini DTC berhasil aku jamah.

Akupun juga bingung apa yang aku cari di sini. Tidaklah mungkin aku berbelanja kebutuhan sehari-hari, tidak mungkin pula aku memilih-milih baju sedangkan dompet sudah mulai kempes. Saya pun sudah merundingkan dengan Mas Dizar, apa yang kita cari Mas?

Akhirnya telah diputuskan bersama. Entah kami naik ke lantai yang keberapa. Kami memilih dan memilah-milah buku. “Ini adalah sesuatu yang baik bagi saya”, pikirku.

Dari yang tadinya sibuk menunggu berangkatnya kereta, kini saya tengah asyik membaca-baca buku. Entah mulai kapan itu berawal, safari toko buku terasa sangat nyaman bagi saya. Bahkan, andai saja Kereta Api bersedia menoleransi, akan aku minta untuk menunggu saya setelah selesainya saya membaca di ruangan 7 x 5 ini.

Saya merasa sangat beruntung. Apa yang saya cari akhirnya ketemu di sini. Apa yang sudah berbulan-bulan menjadi perburuan panjang, telah tersedia dan berhasil aku beli. Entah kenapa dan entah bagaimana untuk mendefinisikannya, aku selalu rela, selalu ikhlas dengan setulus hati jika untuk membeli properti ini. Entah pula, apakah ini adalah keanehan atau kelainan-kelainan yang lain dalam diri saya.

Yang kedua adalah sekira dua tahun yang lalu, tepatnya di Bulan November 2010.

Jembatan kedua ini membawakan sebuah kisah perjalanan yang lebih memilukan. Kami tiba di Bandara Soekarno-Hatta sekira pukul 22.30 WIB. Ini adalah akibat dari delay yang seringkali menjadi permakluman bagi hampir seluruh maskapai penerbangan di Indonesia. Bahkan saya pernah mengalami delay selama 3 jam lebih.

Dalam perjalanan ini kami berangkat bersama teman-teman dan seorang dosen. Adalah tiga orang teman yang akan menjadi tim dalam kompetisi debat di kampus makara, dan tiga orang lain yang akan mengikuti perlombaan international moot court competition. Anehnya, dari dua kompetisi ini dengan seorang dosen pembimbing. Dan ini =lah yang membuat kami kalang kabut.

Saya masih ingat betul, kejadian ini berlangsung pada hari Kamis. Jadwal keberangkatan pesawat sebagaimana yang tertera di tiket adalah pukul 19.00 WIB, dengan asumsi perjalanan SUB-CGK sekira 75 menit, berarti kita sampai di Bandara Soekarno Hatta sekira pukul 20.15 WIB.

Ternyata perkiraan itu meleset. Kami baru sampai pukul 22.30 WIB. Untung saja, di sana bandara ini masih tersedia Bus Damri yang mengantarkan kami ke terminal di daerah Jakarta Selatan.

Leave a Comment