Gayus dan Keadilan Bagi Koruptor
Pasca putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait kasus korupsi yang melibatkan mantan pegawai Pajak, Gayus Tambunan menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat Indonesia. Walaupun majelis hakim telah menilai Gayus terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, namun dalam putusan hakim hanya divonis tujuh tahun penjara dan denda sebesar 300 juta rupiah.
Saat ini, masyarakat pun sangat sensitif terkait masalah korupsi sebagai wujud kekewaannya terhadap law enforcement di Indonesia, mengingat peliknya perkara korupsi yang masih belum dapat diberantas dengan baik.
Mengingat keberadaan korupsi sebagai extraordinary crime seolah penangannya dan pemberlakuan hukumannya masih disamakan dengan ordinary crime sekelas maling ayam. Dalam konteks keadilan tidak diperkenankan pemberlakuan yang sama terhadap hal yang berbeda sehingga sama halnya dengan memperlakukan berbeda terhadap hal yang sama, yaitu antara extraordinary crime dengan ordinary crime.
Membumikan Anti Korupsi
Sebagai wujud komitmen yang besar dalam pemberantasan korupsi, sudah seharusnya pemberantasan korupsi bukan semata-mata hanya sebuah niat, namun harus berupa tindakan. Penegakan hukum tidak sekedar hakim menerapkan hukum sesuai dengan bunyi undang-undang. Namun melangkah lebih jauh lagi, yaitu menerapkan hukum untuk mengurangi laju korupsi.
Pada dasarnya, hal ini berpangkal pada satu titik yang disebut dengan efek jera. Bagaimanapun sesorang akan enggan untuk berbuat sesuatu jika menimbulkan efek jera atas perbuatan yang dilakukan. Semakin tinggi hukuman yang diterapkan, semakin enggan pula seseorang untuk berbuat sesuatu (korupsi).
Secara normatif, UU 31 Tahun 1999 telah mengatur bahwa terkait tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan hukuman mati. Namun, sampai saat ini masih belum ada komitmen yang besar para hakim untuk menjatuhkan pidana mati bagi para koruptor.
Keadilan yang Terpasung
Korupsi dilakukan bersifat aktif, sistematis, struktural dan masif sehingga tidaklah mungkin jika korupsi dilakukan tanpa melibatkan lingkaran kekuasaan. Hal demikian membutuhkan pemberantasan yang seksama.
Sekiranya dengan belum diterapkannya pidana mati bagi para koruptor, maka bukan berarti penanganan korupsi berjalan di tempat. Penerapan restorative justice bagi pelaku korupsi pun kian penting untuk dipertimbangkan untuk membongkar lingkaran struktural dari korupsi yang telah terancang secara sistematis. Bukankah hukum untuk manusia? Jika manusia untuk hukum, sedangkan penegakan hukum di Indonesia masih saja tanpa ada wujud komitmen yang tinggi, sampai kapapun keadilan akan tetap terpasung.