UN dan Pembenihan Bakat Korupsi

Catatan lepas oleh: Muhammad Bahrul Ulum

educationBeberapa minggu yang lalu, Ujian Nasional (UN) telah selesai digelar. Celakanya, UN tetap dijadikan sebagai acuan dan parameter untuk menentukan kelulusan siswa dan untuk masuk sekolah pada jenjang selanjutnya.

UN yang telah diselenggarakan pada SD, SMP dan SMA atau yang sederajat tersebut, pada tahun ini telah dilakukan perubahan yang cukup signifikan, yaitu soal UN dibuat menjadi 20 paket yang masing-masing soal berbeda bagi setiap siswa dalam satu kelas. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi tingkat kecurangan sebagaimana UN pada tahun-tahun sebelumnya.

Namun, di balik penerapan 20 paket soal tersebut tidak serta merta mampu menutup potensi kecurangan. Bahkan kecurangan tersebut semakin masif dilakukan, yang tidak saja terjadi antarsiswa, tetapi juga melibatkan guru untuk membantu melegalkan tingkat kecurangan tersebut.

Kenyataan demikian memperhadapkan kita pada suatu refleksi bahwa tingkat kecurangan tidak serta merta bisa diatasi dengan pembedaan 20 paket soal sekalipun. Bahwa inti kecurangan tersebut sebenarnya terjadi karena ketidaksiapan siswa dan guru melalui pelaksanaan kebijakan UN.

Akibat buruk UN 2013 ini bisa dikatakan merupakan bentuk penaburan benih bakat korupsi bagi siswa dan jika dibiarkan berpotensi kuat melahirkan para calon koruptor baru Indonesia yang semakin profesional. Bukti yang tidak bisa terbantahkan adalah keterlibatan guru dan siswa yang sangat kooperatif untuk memuluskan proses kecurangan untuk memudahkan siswa mengerjakan soal ujian.

Ini berarti tengah ada kesalahan besar dari sistem pendidikan nasional kita. Bahwa bakat korupsi itu telah diasah melalui sebuah sistem secara nasional yang tentu paradoks dengan makna pendidikan sendiri. Pendidikan yang sejatinya adalah wadah untuk mengembangkan kemampuan siswa, telah diracuni oleh penyelenggaraan UN melalui standarisasi kelulusan.

Orientasi pendidikan yang seharusnya berpijak pada proses sudah terabaikan dengan orientasi hasil. Artinya, orientasi para siswa kini yang sesuai dengan standar pendidikan nasional adalah untuk mencapai hasil. Atau dengan kata lain, mendapatkan angka-angka besar telah menjadi prioritas ketimbang mendapatkan ilmu yang seharusnya didapat di jenjang pendidikan tersebut.

Lebih lanjut, dampak penyelenggaraan UN telah menista bentuk kejujuran dan menjadikannya sekadar pajangan dinding, miskin penerapan. Realitas pun menghasilkan pembelokan rasionalisasi, yang melahirkan argumentasi bahwa akan menjadi keputusan buruk bagi sekolah jika kejujuran diterapkan. Betapa tidak, jika diterapkan akan berakibat pada tidak lulusnya siswa dalam UN.

Dari situ, dapat dilihat bahwa ketidakjujuran sebenarnya bukan seluruhnya terletak pada kesalahan para siswa. Melainkan juga pada para guru sebagai aktor intelektual berikut para pembuat dan pelaksana kebijakan sistem pendidikan nasional.

Kekhawatiran kebanyakan siswa apabila tidak mencontek dan tidak mendapatkan bocoran jawaban itu pada dasarnya adalah efek domino dari buruknya sistem pendidikan nasional kita. Sistem pendidikan telah terbukti tidak berhasil mencerdaskan bangsa. Buktinya, siswa tidak yakin bisa mengerjakan soal-soal UN dengan benar.

Karenanya, orientasi yang sudah terbalik tersebut perlu direstorasi. Artinya perlu dikembalikan lagi pada konsep awal bahwa pendidikan adalah proses, bukan hasil semata. Keberhasilan siswa tidak bisa hanya dilihat dari seberapa baik nilainya, sedangkan pada sisi lain cara untuk mendapatkan nilai tersebut dilakukan dengan penuh kecurangan dan ketidakjujuran.

Jika sistem ini terus dipertahankan, mau tidak mau akan menjadi preseden buruk dalam sejarah intelektualitas bangsa Indonesia. Mau tidak mau para siswa akan larut dari celanya sistem dan berpotensi besar ketidakjujuran dan kecurangan tersebut akan diterapkan pada kehidupan sehari-hari.

Hal tersebut sangat logis dan berpotensi kuat untuk diamalkan siswa, karena yang mengajarkan kecurangan adalah guru. Guru adalah sosok yang dipercaya oleh siswa sebagai orang bijaksana, meskipun senyatanya ia telah menghancurkan makna kebijaksanaan itu sendiri.

Kita juga tidak akan membantah bahwa guru adalah bagian dari pendidikan, terlepas dari baik atau buruknya perangai mereka. Begitu halnya pendidikan, bahwa pengartian pendidikan adalah tuntunan hidup atau pegangan hidup. Karenanya jika dasar tuntutan kehidupan itu keliru, maka tidak akan ada jaminan penerapan kehidupan siswa yang merupakan bagian terpenting dari bangsa juga akan benar.

10 tahun lagi efek tersebut akan mulai terasa. Dalam kurun 10 tahun ke depan, para siswa SD yang baru saja mengikuti UN tahun ini akan menyelesaikan pendidikan sarjana, dan akan lebih cepat lagi bagi lulusan SMP dan SMA. Mereka juga akan memiliki peran strategis dalam segala aspek, termasuk pemerintahan. Berkat bekal kejujuran yang sangat miskin mereka dapatkan semasa dini, maka akan menumbuhkan bakat-bakat kecurangan semasa UN yang sudah guru ajarkan dan akan terus tumbuh subur dan diterapkan dalam kehidupan nyata.

Kini, kita dapat merefleksikan dini dari Pendidikan Karakter yang digencarkan pemerintah. Bahwa itu adalah slogan dan justifikasi semata tanpa ada bukti konkretnya. Satu kata yang harus dilakukan sebelum terlambat adalah berubah!

.

Tulisan Terkait:

Leave a Comment