2013 in a Nutshell

Let’s open single door and multiple windows.
And see the bright shine coming along with hopefulness and trust.
–  forthcoming year of 2014 and onwards.
– Hyderabad, 12 12 13

Ini adalah kata-kata penutup tahun 2013 yang saya tulis di Facebook. Betapa banyak sekali perjalanan kisah hidup yang telah saya jalani selama 2013. Awal 2013 adalah sebuah keputusan yang terasa berat di mana saya harus meninggalkan siswa-siswi saya di kampung halaman. Pertengahan 2013 saya mendapatkan pengumuman beasiswa dan di akhir 2013 saya memiliki teman-teman lintas benua.

Awal 2013, saya menjadi bagian dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya. Cukup banyak hal yang baru saya dapatkan disini, terlebih mengenai hal-hal yang linier dengan bidang keilmuan saya. Saya terlibat pada beberapa kegiatan pelatihan paralegal, advokasi dan riset. Pada 30 Mei 2013 saya mendapatkan pengumuman bahwa saya mendapatkan beasiswa S2 di Hyderabad, India. Karenanya, saya juga kali ini dengan berat hati harus melepas LBH dan segera berangkat ke India.

14 Juli 2013 pukul 07.25 WIB, saya berangkat ke India dari Bandara Juanda ke Hyderabad, namun sebelum sampai Hyderabad terlebih dahulu transit di Singapore. Ini adalah pengalaman kali pertama penerbangan internasional, meskipun masih sebatas penerbangan dalam lingkup Asia. Setidaknya ini merupakan bagian dari melebarkan sayap-sayap mimpi. Karena waktu transitnya cukup lama, saya beserta teman-teman menyempatkan berkeliling ke Singapore. Saya tidak kagum sedikitpun dengan Singapore, hanya justru merasa menyesal. Saya menyesal pada diri sendiri bahwa sesungguhnya saya mampu lebih dalam melejitkan potensi diri, karena saya yakin jika Singapore bisa, kenapa Indonesia tidak? Saya bagian dari Indonesia.

15 Juli 2013 pukul 00.40 IST, saya tiba di Bandara Internasional Rajiv Gandhi, Hyderabad. Bagasi saya tertinggal di Singapore saat transit. Entah saya atau maskapai penerbangan yang kurang teliti sehingga bagasi tertinggal. Untungnya saya langsung melapor ke pihak bandara di baggage claim, dan pada dua hari berikutnya bagasi saya akhirnya sudah ada di tangan. Ternyata dan ternyata, bagasi teman saya yang datang seminggu setelah saya juga tidak sampai di Hyderabad, bahkan setelah beberapa minggu berlalu sudah positif hilang. Tampaknya memang pihak maskapai, Tigerairways, tidak begitu bagus dalam pelayanan bagasi. Kami dijemput oleh dua kakak PPI Hyderabad yang sudah standby 1 jam sebelum kami mendarat di bandara. Jarak dari bandara ke tempat tujuan ditempuh sekitar 1 jam dengan taksi.

Incredible India. Incredible-nya India semakin terasa di pagi hari setelah matahari terbit, semuanya semakin terbuka. Bau, kumuh, tidak tertib, jorok dan kawan-kawannya selalu menghiasi penilaian yang muncul dalam benak saya. Bahkan saya tidak percaya kalau tahun 2035 India akan menjadi raksasa dunia setelah China. Pada hari itu saya beserta teman-teman diantar oleh teman-teman PPI Hyderabad ke Blood Bank untuk tes darah (HIV-AIDS), ke ICCR untuk melapor dan registrasi. Hari-hari berikutnya untuk daftar ulang di University Foreign Relation Office (UFRO) agar segera mendapatkan bonafide certificate dari College.

Tidak berhenti dengan mendapatkan bonafide certificate tersebut. Bonafide certificate adalah salah satu syarat yang perlu dilampirkan untuk mendapatkan surat izin tinggal (residential permit — biasa disingkat RP) di Hyderabad. Syarat lain yang tak kalah rumit adalah mendapatkan rumah sewa (flat) yang dibuktikan dengan surat sewa yang juga dilampirkan untuk mendapatkan RP.

Ternyata oh ternyata. Jika 14 hari sejak kedatangan di India masih belum juga punya RP, atau dengan kata lain terlambat dalam pengurusan RP karena ada beberapa persyaratan ini dan itu yang kurang, kami akan didenda senilai hampir Rp 1 juta rupiah. Kami harus bergerak cepat. Alhamdulillah pada hari ke 13 sebelum deadline kami sudah memegang RP tersebut.:-)

Jalan kaki adalah rutinitas saya sejak di India. Dari tempat satu ke tempat lainnya tidak memungkinkan untuk selalu mengandalkan kendaraan. Meskipun dengan memafaatkan transportasi umum, tetap saja mau tidak mau juga menuntut saya untuk terus berjalan kaki, meskipun di bulan puasa. Sejak hari kedatangan hingga 14 hari selanjutnya hampir selalu berangkat pagi pulang sore, karena masih banyak yang harus dikerjakan yang tidak bisa selesai dalam beberapa hari saja.

Jalan dengan jarak 5 KM adalah sesuatu yang cukup wajar juga bagi saya. Meskipun di dalam kampus ada halte bus, namun setiap hari tidak ada bus yang lewat di dalam kampus. Ini yang kemudian mendorong saya untuk membeli sepeda gowes dengan harga Rs 3000. Lumayan, sepeda ini bisa mempersingkat waktu dari flat ke kampus.

Usut punya usut, ternyata bus awalnya memang masuk kampus, namun sejak memanasnya aksi pemekaran state Andhra Pradesh, berpengaruh pada bus yang menggunakan jalur dalam kampus Osmania University. Sehari sejak parlemen India menyetujui Hyderabad menjadi bagian dari Telangana State yang terpisah dari Andhra Pradesh State, bus kembali masuk jalur kampus seperti semula.

Banyak mahasiswa asing yang studi di kampus saya. Mereka kebanyakan datang dari Afghanistan, Iraq, Iran, Jordan, Sudan, Yemen dan Tajikistan. Ada juga yang dari Ethiopia, South Africa, China, Turki maupun Canada. Teman sekelas saya selain mahasiswa lokal India, mereka dari Iraq, Afghanistan, Ethiopia dan Jordan.

Bahasa Inggris tidak lagi menjadi bahasa asing di negeri Gandhi. Bahkan sopir auto pun juga banyak yang bisa berbahasa Inggris. Kuliah saya juga menggunakan bahasa Inggris, interaksi dengan teman-teman semuanya disini juga menggunakan bahasa Inggris. Justru tidak banyak bahasa India yang dipakai disini, meskipun demikian masyarakat setempat masih menjaga dan merawat baik-baik bahasa lokalnya (kalau di Indonesia bahasa lokal seperti bahasa Jawa, bahasa Madura, dan sebagainya).

Dari semua itu, ada empat titik yang meninggalkan cerita yang bisa saya ceritakan disini:

Wuluhan, Jember. Meninggalkan kampung halaman tidak harus selalu dimaknai tidak memiliki kepedulian pada tempat tersebut. Layaknya sebuah perahu yang mengapung di atas permukaan lahut yang luas, meninggalkan daratan karena hendak menyelami samudera dan suatu saat pasti akan berlabuh. Begitu juga dengan saya, bahwa saya harus menyelami kehidupan dan hidup di perantauan agar kelak menjadi manusia yang lebih berguna dari apa yang sudah ada.

Surabaya. Kota ini meninggalkan kisah dan kenangan. Hampir selama 6 bulan saya tinggal di kota ini. Kota ini menyimpan sejuta bahasa yang tak mampu terungkapkan dengan kata-kata. Sebagai kota pahlawan, ia mengajarkanku banyak hal akan makna kehidupan, kemandirian, dan juga kesederhanaan.

Singapore. Ini adalah negara pertama yang saya kunjungi dalam sejarah hidup saya. Sebuah negara yang tak patut disebut sebagai sebuah negara ini menyimpan pelajaran yang luar biasa. Meskipun negara ini sangat kecil, namun sangat maju. Kemajuan itu tidak terlepas dari posisinya yang sangat strategis sebagai pusat perhubungan antarnegara sejak masa silam. Tak heran jika Singapore memiliki daya tarik yang sangat tinggi. Negara ini membuat saya iri. Negara yang berbangsa sama dengan bangsa Indonesia, sama-sama berdarah melayu ini, sudah melesat jauh dan tajam. Dari Singapore, saya mampu melambungkan cita-cita yang lebih tinggi lagi, bahwa sebetulnya Indonesia berhak menjadi negara yang maju dengan bangsa yang cerdas. Cita-cita itu selanjutnya saya terbangkan tinggi ke negeri Gandhi.

Hyderabad. Kota ini sekilas tidak lebih baik dari Jember. Hampir setiap orang Indonesia akan berpikiran bahwa Hyderabad adalah kota yang kalah jauh dari kota yang ada di Indonesia, bahkan jauh dari peradaban. Namun, jika kita menggunakan kacamata dengan baik-baik, maka terselip sebuah rahasia akan kemajuan bangsa, bagian dari kemajuan India yang akan menjadi raksasa dunia. Hyderabad menyadari posisi negaranya sebagai developing country, namun sejalan dengan pebaikan ekonominya, Hyderabad yang merupakan kota terbesar nomor 4 di India ini hendak mengungguli Jakarta pada 15 tahun ke depan. Yang tidak bisa dikecualikan juga bahwa kebersihan dan kerapian kota di Hyderabad untuk saat ini mungkin menjadi prioritas kesekian, karena keduanya akan searah dengan pembangunan kualitas SDM dan stabilitas ekonomi. Selain itu juga mengingat banyaknya jumlah penduduk, sehingga prioritas pemerintah adalah pemberdayaan kualitas penduduk, ketimbang kemapanan infrastruktur non-human resources.

Dari keempat titik tersebut, saya yakin jalan masih panjang. Meskipun kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok, saya tetap yakin akan ada satu pintu yang dapat saya buka, berikut membuka beragam jendela turut untuk mempertemukan saya dengan cahaya yang terang. Sekarang saya disini, di India.

Leave a Comment