Etika Dalam Sosial Media
Hari ini baru saja ada seorang yang menambahkan aku sebagai teman dalam jejaring sosial Facebook. Sudah lumrah kalau Facebook adalah sebuah jejaring sosial sejuta umat yang dapat diakses ole siapapun, kapanpun dan dimanapun. Ada kalanya orang memiliki Facebook sekedar untuk bertegur sapa dan saling berbagai informasi. Ada pula orang memiliki Facebook untuk kepentingan lain yang pada intinya di situ pasti akan terjadi interaksi.
Sebagai sebuah jejaring sosial, Facebook menawarkan fitur pertemanan atau menambahkan teman. Dari fitur ini kita bisa menambahkan hingga 5000 orang sebagai teman kita di Facebook. Selain itu, kita juga memiliki opsi untuk menerima atau menolak permintaan pertemanan.
***
Seperti biasa, jika ada orang yang memiliki lebih dari 2 mutual friends, dia akan selalu akan aku konfirmasi. Namun juga tidak banyak yang tiba-tiba aku apus dari pertemanan meskipun memiliki mutual friends yang cukup banyak. Semua itu karena dasar etika.
Setiap orang memiliki standar etika masing-masing. Akun Facebook pun merupakan akun jejaring sosial yang dimiliki perorangan. Artinya, akun Facebook adalah reppresentasi seorang diri atau pribadi (kecuali jika itu merupakan akun milik organisasi atau perkumpulan). Karena setiap orang memiliki standar etika dan berhak untuk mendapatkan segala manfaat dari jejaring itu, maka seseorang juga berhak untuk mengelola dan mengontrol akun Facebooknya dengan baik.
Standar etika itu bermacam-macam. Tapi di sini, standar etika yang kupahami adalah segala sesuatu yang tidak mengundang kerusuhan dan permusuhan, tidak menyudutkan dan merendahkan pihak tertentu, tidak diskriminasi dan tidak mengait-kaitkan dengan suku, ras, antargolongan dan agama (SARA) dan menggunakan tutur bahasa yang sopan dan santun, tidak menyinggung orang dan menghargai perbedaan pendapat.
Setidaknya kriteria di atas yang mungkin juga menjadi standar etika kebanyakan orang.
Ada saat di mana santai juga menjadi salah satu fokus dan tujuan kenapa kita menggunakan jejaring sosial. Namun ada juga etika yang harus dipegang. Semuanya harus ditempatkan pada tempat yang semestinya.
Tidak bagus juga apabila menggunakan jejaring sosial selalu berisi sesuatu yang serius. Ada kalanya harus diimbangi dengan diskusi atau percakapan ringan.
Memang, apakah diskusi serius maupun diskusi ringan tergantung dari jenjang usia masing-masing pengguna Facebook. Selain itu, juga tergantung pula dari tingkatan dan kualitas pendidikan masing-masing pengguna Facebook. Namun, keseimbangan itu memang perlu. Justru dari facebook seharusnya kita bisa saling berbagi ilmu pengetahuan. Artinya, bagi yang tingkat keilmuannya lebih tinggi bisa menggunakannya untuk berbagi ilmu pengetahuannya dan dapat menjadi nilai tambah bagi teman-teman yang membutuhkan atau yang belum mendapatkan ilmu tentang itu.
***
Oke. Kembali lagi ke judul awal. Kenapa aku menuliskan “Etika Dalam Sosial Media” ini sebagai judul? Ya, sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf awal, baru saja ada seorang yang menambahkanku sebagai teman. Seperti biasa, karena ada beberapa mutual friends, tentu saja aku konfirmasi, meskipun kita masing-masing belum pernah kenal sebelumnya.
Nah, yang jadi masalah adalah, dia mengirimkan pesan yang tiba-tiba menanyakan yang to the point atau menanyakan pokok permasalahannya. Jika kita menggunakan logika, memang tidak ada yang salah dengan apa yang telah dia lakukan. Namun, jika kita menilainya secara etika, tentu lain lagi permasalahannya.
Bagi siapapun, setiap orang yang belum mengenal satu sama lain selalu menggunakan kalimat pembuka. Bukan karena aku ingin mendapatkan ucapan terima kasih, namun selayaknya seseorang yang request atau meminta pertemanan dan dikonfirmasi, sudah menjadi aturan tak tertulis untuk mengucapkan terima kasih dahulu apabila ingin bercakap lebih jauh. Di sini bukan masalah gila hormat, tapi untuk bisa lebih nyaman dan bukti bahwa orang tersebut hormat (respect) terhadap orang lain. Ini menurutku adalah etika standar yang sudah berlaku umum dan lazim bagi setiap masyarakat.
Nah, setelah itu, setelah pertanyaannya sudah selesai kujawab dengan tuntas, lalu dia menutupnya dengan “okok”.
Halo…. Siapapun anda sudah seharusnya tahu siapa yang anda ajak bicara atau bercakap terlebih dahulu. Tentu ketika anda bercakap dengan anak SD berbeda dengan ketika anda bercakap dengan anak SMA, begitu juga seterusnya.
Sebenarnya aku tidak ingin memperpanjang tentang hal ini apalagi mempermasalahkannya lebih jauh lagi. Tapi alangkah lebih baiknya seseorang, siapapun itu, sebelum memulai percapakan sudah seharusnya tahu peruntukan bahasa alay, bahasa gaul, bahasa santai, bahasa sopan dan bahasa resmi itu berbeda pada tingkatan usia. Tidak mungki pula anda bercakap dengan orang berusia 20 tahunan dengan menggunakan bahasa anak SMP.
Yah, mungkin itu saja. Setidaknya aku dan syukur-syukur bagi para pembaca ini bisa belajar betapa pentingnya etika dalam pergaulan, tidak hanya pergaulan di dunia nyata, tetapi juga pergaulan di dunia maya.