Sepotong cerita yang hampir terlewatkan

Hari ini akhirnya saya bisa menikmati laptop dengan leluasa. Kenapa? Karena colokan listrik di Jepang berbeda dengan di Indonesia, sehingga laptop saya mati karena tidak bisa untuk mengisi daya listrik. Saya berterima kasih kepada profesor saya yang baik hati dan suka mentraktir makan ini meminjamkan konektor/adapter. Sayangnya, konektor tersebut hanya bisa digunakan untuk charger handphone saya, tidak untuk laptop saya. Tadi saya sampaikan kepada teman-teman di kampus bahwa saya ada masalah di charger laptop dan saya disarankan membelinya di toko kampus.

Tadi sore saya membelinya, yang dalam perjalanan menuju toko tersebut saya bertemu dengan seorang mahasiswi UNESA yang sedang mengambil joint-degree di sini.

Awalnya, saya sedikit curiga dengan mahasiswi tersebut. Saya menduga dia orang Indonesia. Saat itu saya berjalan di belakangnya dan melihat dia dari belakang dengan dandanan kerudung seperti orang Indonesia. Lalu, saya mempercepat jalan saya hingga posisi sejajar dan saya sedikit tengok dia benar-benar seperti orang Indonesia. Saya langsung menyapanya, “kamu orang Indonesia ya?”

“Iya, saya Indonesia. Masnya apa juga Indonesia?” tanyanya.

Saya sampaikan saya mau ke toko kampus untuk membeli konektor untuk laptop. Pada akhirnya dia mengantarkan saya menuju toko kampus dan menunjukkan arah tempat konektor tersebut. Harganya 1382 Yen atau sekitar 185 ribu. Harga yang cukup mahal apabila membelinya di Indonesia.

***

Oh iya, saya menuliskan cerita berjudul, “Menuju Fujigaoka, Sebelum Nagoya” tersebut sebagian menggunakan handphone dan sebagian menggunakan laptop. Ternyata, menulis di laptop jauh lebih leluasa dari pada menulis di handphone. Terdapat banyak cerita yang terlewati sebelum pada akhirnya saya sampai di Nagoya.

Melalui catatan ini saya akan sedikit bercerita mundur. Cerita tersebut tentang persiapan keberangkatan saya menuju Jepang.

Saya meninggalkan Jepang dengan sedikit rasa gundah dan kecewa. Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, di luar batas kemampuan saya. Saya juga tidak tahu pada posisi mana saya berdiri, karena saya meyakini untuk taat kepada pemimpin sebagai kewajiban setiap muslim untuk taat pada pemimpin yang dalam istilah bahasa Alquran disebut dengan ulil amri.

Saya hanya meyakini bahwa saya ingin bisa bekerja sama dengan semua pihak dan saya harus melakukan sesuai apa yang saya yakini. Saya sebagai akademisi harus sudah selesai dengan permasalahan ideologi maupun politik. Sebagai seorang akademisi, dasar berpijaknya pun harus ilmiah dan disertai bukti-bukti ilmiah, bukan prasangka, keberpihakan pada kelompok tertentu apalagi mencampuradukkan masalah pribadi dengan masalah profesional. Untuk bagian ini sepertinya tidak perlu saya ceritakan sekarang, akan saya ceritakan belakangan.

***

Izinkan saya sedikit bercerita tentang mahasiswa yang saya banggakan dan saya cemaskan…

Sebelum berangkat ke Jepang, saya pada akhirnya memberikan pin kepada tiga mahasiswa terbaik bimbingan saya. Pin tersebut awalnya akan saya berikan sekitar enam bulan lalu. Saya sudah hendak bagikan kepada mereka, namun waktu itu saya urungkan.

Saya memberikan dua pin bertuliskan most independent dan satu lagi bertuliskan most idealist. Setidaknya, saya menaruh harapan besar bahwa cita-cita dan mimpi-mimpi saya dapat tergandakan kepada mereka, semoga juga bersemayam dalam hati nurani mereka. Meraka adalah mahasiswa yang santun namun radikal. Saya bangga pada mereka akan hal itu. Namun, saya sedikit cemas apabila mereka akhirnya terpecah belah, seperti dua generasi sebelumnya yang menjadi korban politik chauvinistik dan sektarian dalam organisasinya.

Pin itu adalah cita-cita dan harapan saya untuk memiliki generasi penerus yang juga akan setia pada idealisme yang hingga saat ini saya pegang. Idealisme itu adalah menjunjung tinggi rasionalitas, integritas dan memiliki rasa kepedulian untuk saling berbagi untuk bergerak bersama membawa kampus kita maju. Saya sampaikan kepada mereka kunci kemajuan terletak pada SDM yang handal, bukan seberapa banyak orang yang dalam suatu wadah. Selain itu, kita perlu memiliki etos kerja yang tinggi dan berdedikasi.

Itu setidaknya apa yang belakangan saya definisikan sebagai meritokrasi, saya baru saja mengetahui konsep ini setelah saya membaca literatur-literatur kajian Asia. Sebenarnya, idealisme ini adalah dasar bagaimana FK2H sejak awal dibangun, tapi entah kemudian organisasi ini cenderung egois, sektarian, chauvinistik, dan politis. Arsitektur organisasi berbasis merit bergeser menjadi demokrasi ala Indonesia yang sejatinya sejak awal kita meghindari arsitektur ketatanegaraan Indonesia dalam tubuh FK2H.

Ketiga anak ini sedang berkembang. Tentu saya tidak ingin mereka harus sempurna, karena kesempurnaan tidak mungkin dimiliki oleh manusia. Melainkan, mereka akan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan jalan yang mereka yakini dan dengan cara mereka sendiri. Banyak hal yang mereka tampak kewalahan dengan cara kerja saya, tapi mereka berusaha mengikuti dengan speed yang berbeda dengan saya. Namun, di balik itu semua mereka dapat membuktikan sebagai mahasiswa yang loyal dan berdedikasi.

Misal, saat mereka saya minta datang bertemu dengan saya karena akan saya kenalkan dengan alumni yang cukup berpengaruh, mereka segera bergegas. Satu di antara mereka menjanjikan tidak lebih dari 30 menit akan sampai di tempat. Namun, mereka baru datang sekitar satu jam kemudian. Ini hal sepele tapi ini keteledoran dan tidak disiplin. Berikutnya, ini diulangi kembali oleh mereka pada detik-detik saya berangkat ke Jepang.

Satu di antar mereka bertanya,”Kapan dan pukul berapa bapak berangkat ke Jepang?”

“Sabtu, jam 11 saya berangkat dari Bandara Jember”, jawab saya.

“Oke pak, ini katanya anak-anak mau mengantarkan”, sahut salah satu di antara mereka.

Saya mengiyakan. Oh iya, mereka tergolong mahasiswa yang rajin dan aktif. Saat saya tentukan latihan debat pukul 08:00 pagi misalnya, mereka datang tepat waktu. Saya salut kepada mereka. Komitmennya sangat jauh daripada generasi sebelumnya yang pernah saya bimbing. Boleh katakan mereka adalah mahasiswa terbaik yang pernah saya temui. Ada kombinasi antara kompetensi dan dedikasi yang dimiliki mereka, dua hal yang sangat sulit dimiliki setiap mahasiswa saat ini.

Entah, apa yang terjadi saat mereka mengatakan hendak bertemu atau mengantar saya di bandara, tetapi hingga 30 menit saya sebelum boarding belum sampai juga. Akhirnya, saya bergegas check in. lalu, saya ketik chat kepada mereka, “saya sudah boarding”.

Sekitar 10 menit setelah saya chat, salah satu di antara mereka menelpon. Saat itu posisi saya sudah di dalam pesawat dan sudah duduk dan sudah memakai sabuk, namun pesawat belum berangkat. Saya angkat telpon itu dan dia bertanya, “Bapak di mana? Saya ini sudah di bandara, Pak.”

“Saya sudah di dalam pesawat, ini mau take off bentar lagi”, jawab saya.

“Ya sudah pak, saya masih di sini. Kami menunggu bapak take off dari luar, sampai pesawatnya terbang”, sahutnya.

Belakangan saya tanyakan kepada mereka kenapa kok bisa telat, alasan mereka karena tidak sesuai ekspektasinya. Mereka punya jam kuliah hingga 10.40. Tentu, perkuliahan tidak sampai pukul itu. Mereka bilang setelah perkuliahan masih makan terlebih dahulu. Ini yang saya katakan bahwa mereka sedang tumbuh dan berkembang. Suatu saat mereka akan belajar banyak tentang hal ini.

Setelah saya sampai Jepang sekitar dua hari tinggal di sini, saya sampaikan kepada mereka, “Kalian harus belajar disiplin lagi. Ternyata jangankan kalian, saya sendiri masih kewalahan dengan tingkat kedisiplinan orang Jepang”.

Saya benar-benar akui, saya belajar banyak dari orang Jepang.

***

Setelah saya sampai di Nagoya, saya langsung diantarkan oleh supervisor saya bersama seorang mahasiswa S3 menuju flat. Seperti yang saya sampaikan pada postingan sebelumnya, kita menuju flat tidak dengan kendaraan khusus. Melainkan, kita menjangkaunya dengan berjalan kaki. Beliau yang membawakan berkas-berkas tempat tinggal saya. Isi berkas-berkas itu ternyata selain kontrak, ada berlembar-lembar peraturan yang berlaku umum di flat dan di Jepang.

Aturan tersebut antara lain tentang perawatan ruangan, bagaimana ruangan harus tetap memiliki ventilasi. Saya setiap pagi diwajibkan membuka ruang ventilasi untuk menghindarkan jamur di dalam kamar. Saat masuk flat, saya sedikit malu karena saya memasukinya dengan mengenakan sepatu. Ternyata, tradisi orang Jepang adalah melepas sandal atau sepatunya. Ini tentu sedikit berbeda dengan di Indonesia karena saya sempat melakukan hal demikian justru saya dijawab oleh pemilik rumah, “Mas, sandalnya dipakai saja, ini bukan masjid!”

Urusan membuang sampah pun ada aturan yang sangat disiplin. Kita tidak hanya diwajibkan membuang sampah pada tempatnya. Melainkan, kita juga perlu membuang sampah sesuai dengan jenisnya dan tepat pada waktunya. Ada ketentuan hari di mana saya harus membuang sampah yang bisa diuraikan dan tidak bisa diuraikan, termasuk warna bungkus sampahnya.

Kedisiplinan ini berbuah pada bersihnya jalanan dan setiap tempat di Jepang. Saya tidak pernah menemukan jalanan yang berisi plastik berceceran. Seluruh jalan, misalnya, bersih dari sampah dengan pengecualian dedaunan kering yang berguguran. Maklum, Jepang saat ini adalah musim gugur. Katanya, beberapa hari atau beberapa minggu lagi dedaunan yang berwarna hijau ini akan berubah menjadi warna merah yang tampak indah dipandang mata.

Selama saya di Jepang, saya menikmati keseluruhannya. Saya menikmati ketertiban jalan rayanya, semua orang sudah memahami bagaimana menghormati lalu lintas. Bahkan aturan menyebrang bagi pejalan kaki pun ada lampu tersendiri, tidak seenaknya menyebrang. Orang Jepang menikmati hidup dalam ketertiban ini, termasuk saya. Saya juga menikmati jalan-jalan yang luas trotoarnya. Setiap pagi saya sempatkan jogging. Hari ini adalah record baru saya sepanjang hidup di dunia, saya jalan hingga 12 km.

Udara di Jepang sangat bersih. Memang, sore hari terasa ada sedikit polusi asap kendaraan. Kita harus berterima kasih pada pepohonan yang sangat rindang pada setiap pinggir jalan yang mengakibatkan polusi sore hari di Jepang masih tidak kalah dengan polusi di Jalanan Karimata, Mastrip, Jawa, Kalimantan dan Sumatera di Jember pada jam 6.30 pagi. Sore hari saya masih menghirup kesegaran udara.

Orang Jepang giat olah raga. Mereka banyak yang sekedar berjalan dan bahkan lari di pagi hari. Agak siang, mereka ke kantor pun juga berjalan. Sebagian yang lain dengan memakai jas parlente menggoyangkan pedal sepeda pitnya dengan lincah. Kendaraan bukan sebagai status sosial di sini. Mereka memahami betapa pentingnya keseimbangan antara olah otak, olah jiwa dan olah raga. Uang bukan untuk membuat mereka malas untuk bersepeda. Sebaliknya, mereka menjadikan bersepeda sebagai gaya hidupnya. Tidak hanya siswa dan mahasiswa, profesor di sini pun menuju kampus dengan bersepeda.

Saya jadi  ingat saat di Indonesia. Saat saya bersepeda justru dianggap sebagian orang sebagai ironi. Tidak jarang yang bertanya kenapa kok saya (masih mau) pakai sepeda, sedangkan saya sudah punya sepeda motor. Hal yang lebih mengenaskan lagi adalah, di kampus saya di Indonesia, tidak ada tempat parkir untuk sepeda.

Saya berpikir, sekiranya kita semua orang Indonesia atau setidaknya civitas akademik kampus saya tergerak hatinya lalu mereka beralih menggunakan sepeda, tentu alam sekitar kampus akan asri kembali. Tentu, itu juga akan mengurangi pemanasan global. Saya jadi ingat, saat Lao Tzu mengatakan, “the journey of thousand miles away starts from a single step”, kita sebagai civitas akademik juga bisa mengatakan, “the journey of greening the world starts from using bicycle at campus”.

.

Artikel Terkait:

Leave a Comment