Universalisme vs Relativisme HAM
Dari sekian banyak instrumen internasional yang mengatur tentang HAM, tidak satu pun yang mendefinisikan HAM. Sejalan dengan pengakuan hak-hak yang melekat pada setiap pribadi, ketidakadaan definisi HAM tersebut didukung dengan belum masih terdapat kata sepakat atas pemikiran HAM. Ketidaksepakatan definisi HAM tak lain karena masih adanya dualisme pemikiran HAM, yaitu terkait dengan HAM sebagai hak yang universal dan HAM sebagai hak yang relatif atau partikular. Secara umum, perbedaan ini didasarkan pada alasan bahwa penerapan HAM di setiap negara di dunia selalu bersinggungan dengan budaya, tradisi, agama dan hukum nasional.
Pertama, universalitas HAM dianut oleh negara-negara barat, bahwa HAM inheren dengan keberadaan dan diri manusia hingga nilai-nilai HAM tidak dibatasi oleh sekat-sekat etnis, budaya dan agama. Beberapa parameter tersebut yang kemudian menjadikan HAM sebagai hak universal dan mutlak bagi manusia. (Monib, 2011: 81). Sedangkan menurut Jack Donnely, bahwa HAM sebagai hak yang universal, bukan keuntungan, tanggungjawab, keistimewaan atau bentuk pemberian lainnya tetapi hak tersebut diberikan sebagai akibat dari martabat seseorang sebagai manusia (Khanif, 2010: 80).
Berdasarkan sifat HAM yang universal tersebut, hak tidak cukup hanya diberikan kepada semua individu, melainkan diikuti pula dengan kewajiban universal bagi seluruh individu dalam memperlakukan individu lain dengan baik. Pemberlakuan kewajiban tersebut juga tidak dapat berdasarkan latar belakang atau sekat-sekat etnis, budaya dan agama seseorang, melainan dilaksanakan berdasarkan pada asas persamaan hak bagi setiap individu. Penerapan asas persamaan hak bagi setiap individu ini sebagai akibat dari sistem nilai atas keberadaan manusia sebagai makhluk yang bermartabat.
Kedua, partikularisme HAM identik atau dianut oleh negara berkembang dan/atau negara timur. HAM yang bersifat partikular dapat didefinisikan sebagai hak yang menyangkut masalah hak-hak individu dan kewajiban sosial yang harus dilakukan seseorang karena sebagai makhluk sosial pula (Monib, 2011: 81). Selain itu, HAM yang bersifat partikular ini mengedepankan nilai dan budaya relatif dalam negara tertentu. Sedangkan istilah HAM partikularistik menurut Mahfud MD, yaitu HAM yang penerimaan dan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kondisi khusus suatu negara (Mahfud MD, 2010: 156).
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana dengan HAM di Indonesia, yaitu apakah menganut HAM yang universal atau partikular? Sebagaimana Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), HAM didefinisikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Berdasarkan definisi di atas berarti, dapat disimpulkan bahwa HAM yang dianut di Indonesia bersifat partikular, karena HAM dilekatkan sebagai pemberian tuhan yang mengedepankan nilai yang relatif.