Achmad Sodiki Wakil Ketua MK

Prof. Dr. H. Achmad Sodiki, S.H. terpilih menjadi Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2010-2013 menggantikan Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S yang telah memasuki masa purna tugas pada 31 Desember 2009 silam. Pemilihan Achmad Sodiki dilakukan pada Sidang Terbuka Pemilihan Wakil Ketua MK yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, Selasa (12/1) di Ruang Sidang Pleno.

Achmad Sodiki terpilih sebagai wakil ketua MK setelah melewati proses pemilihan yang berlangsung alot hingga empat kali putaran pemilihan. Berdasarkan Peraturan MK Nomor 001/PMK/2003 tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi,  pemilihan dilakukan dengan proses pemungutan suara. Anggota yang memperoleh suara sekurang-kurangnya lebih dari setengah jumlah anggota yang hadir langsung ditetapkan sebagai Wakil Ketua terpilih.

Pada putaran pertama, dari delapan orang hakim konstitusi yang berhak dipilih dengan mengecualikan Moh. Mahfud MD, muncul tiga nama, yakni Achmad Sodiki dengan 3 suara, M. Arsyad Sanusi 3 suara, Harjono 1 suara, dan M. Akil Mochtar 1 suara. Sementara 1 suara lainnya memilih abstain. Pada putaran kedua dan ketiga, baik Sodiki maupun Arsyad keduanya masing-masing memperoleh 4 dan 3 suara dengan 2 suara abstain sehingga harus digelar putaran keempat.

Pada putaran keempat itulah Sodiki memperoleh 5 suara sementara Arsyad tetap memperoleh 3 suara dan 1 suara juga tetap abstain. Dengan demikian Achmad Sodiki ditetapkan menjadi wakil ketua MK terpilih.

Saat menyampaikan harapannya kepada wakil ketua terpilih sebelum pemilihan digelar, Ketua MK Moh. Mahfud MD mengungkapkan kebanggaannya terhadap para Hakim Konstitusi. “Masing-masing delapan Hakim Konstitusi memiliki integritas dan kemandirian walaupun dengan latar belakang yang berbeda-beda. Namun, semua layak untuk memimpin,” jelasnya.

Mahfud mengungkapkan sembilan hakim konstitusi telah melakukan RPH tertutup yang memutuskan agar pemungutan suara diadakan pada sidang terbuka. “Hal ini agar pemilihan berlangsung demokratis,” katanya.

Calon Wakil Ketua MK merupakan salah satu dari delapan Hakim Konstitusi, yakni Achmad Sodiki, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, Harjono, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Muhammmad Alim, dan M. Arsyad Sanusi.

Achmad Sodiki merupakan hakim konstitusi yang berasal dari usulan Presiden. Achmad Sodiki adalah Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan keahlian di bidang Hukum Agraria, Filsafat Hukum, dan Teori Hukum. Pria kelahiran 11 November 1944  ini menyelesaikan sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang (1970). Kemudian Ia melanjutkan ke Universitas Airlangga untuk Program S2 dan S3 (1978-1994). Pernah menjadi Rektor Universitas Islam Malang (Unisma) untuk 2 (dua) periode(1998-2006)

Pelantikan Sodiki sebagai wakil ketua MK dijadwalkan digelar pada Kamis (14/1)  pukul 11.00 WIB. Sosok Sodiki, sebelumnya, memang tidak terlalu dijagokan untuk menjabat sebagai wakil ketua. Dalam perkenalan para calon sebelum pemilihan, Sodiki bahkan tak banyak mengumbar janji. Ia hanya mengutip dalil berbahasa Arab bila kelak ia terpilih menjadi wakil ketua. Dalil itu, artinya, ”Melanjutkan prestasi yang sudah bagus dan mencapai raihan yang lebih bagus lagi.”

Dalam acara perkenalan, pasca pelantikan Wakil Ketua MK yang baru terpilih, Achmad Sodiki, menyatakan bahwa pada dasarnya ia ingin melanjutkan apa yang sudah baik, prestasi yang telah dicapai MK sejak berdiri tahun 2003. “Saya bersama hakim-hakim konstitusi yang lain serta segenap pegawai MK akan berupaya mempertahankan prestasi yang telah dicapai MK. Disamping itu, kami juga siap meningkatkan prestasi MK untuk lebih baik lagi di masa mendatang,” ujar Sodiki.

Namun demikian, sejujurnya Sodiki mengatakan mulanya ia tidak berambisi menjadi Wakil Ketua MK. Tetapi karena melihat keikhlasan teman-teman sesama hakim konstitusi, ia menjadi terenyuh atas kepercayaan yang diberikan padanya. “Bagaimanapun, terpilihnya saya jadi Wakil Ketua MK adalah amanah dari Allah SWT. Selain itu, kritik dan saran yang pedas saya siap menerima dengan tangan terbuka,” tandasnya.

Dalam testimoninya, Ketua MK Moh. Mahfud MD menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Wakil Ketua MK Achmad Sodiki dan Hakim Konstitusi M. Arsyad Sanusi. Sodiki terpilih menjadi wakil ketua MK melalui proses pemilihan yang cukup alot dengan menyisihkan M. Arsyad Sanusi. “Ini berarti bahwa kualitas Pak Achmad Sodiki dan Pak Arsyad Sanusi sama-sama bagus sebagai hakim konstitusi,” jelas Mahfud.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang ini memang terkenal sebagai sosok yang pendiam. Mahfud memberi sebutan khusus untuk Sodiki, ‘Socrates’. Ya, Mahfud menilai kepribadian dan pemikiran Sodiki mirip filsuf terkenal asal Yunani itu. “Pak Sodiki ini sangat filosofis,” tuturnya saat mengenalkan para calon wakil ketua.

Mahfud menambahkan Sodiki kerap menggambarkan kesyahduannya ketika akan memutuskan sebuah perkara. Sodiki bahkan menangis bila perkara yang diputus itu bisa berpotensi melanggar hak-hak warga negara. Namun, Mahfud menilai sifat Sodiki tersebut merupakan bukti keragaman berpikir para hakim-hakim konstitusi.

Salah satu ‘kesyahduan’ Sodiki mungkin bisa dibaca dari dissenting opinon atau pendapat berbedanya dalam pengujian UU Penyiaran. Ia begitu kecewa ketika mayoritas koleganya tidak mengabulkan permohonan pemohon agar iklan rokok dilarang untuk ditayangkan di televisi.

Dalam pendapat berbedanya itu, Sodiki memaparkan sebuah cerita pendek karangannya tentang seorang remaja yang sangat menggemari rokok. Ia membuat percakapan fiktif antara seorang anak muda dengan Tuhannya. Anak itu mempertanyakan mengapa iklan rokok diperbolehkan tayang di televisi.

Perbaikan Kondisi Internal

Sodiki memang telah terpilih sebagai wakil ketua. Namun, sebuah tugas sudah di depan mata. Yakni, bekerja sama dengan ketua untuk menyatukan dan mempererat hubungan antar hakim konstitusi maupun dengan seluruh staf. Harapan ini yang dilontarkan oleh hakim konstitusi lain, yang sebagiannya adalah ‘konstituen’ Sodiki. “Wakil Ketua harus mengikat para hakim untuk menghadirkan putusan yang adil dan bermanfaat bagi bangsa Indonesia,” ujar Hakim Konstitusi anyar, Fadil Sumadi.

Hamdan Zoelva, yang dilantik sebagai hakim konstitusi berbarengan dengan Fadil, berharap kepemimpinan ketua dan wakil saling mengisi untuk menegakan wibawa MK. Hakim Konstitusi Harjono berharap ada kerja sama yang erat antara hakim konstitusi dengan jajaran kepaniteraan dan sekretariat jenderal. “Ketua dan wakil ketua harus dapat merekat hubungan hakim dengan kepaniteraan,” ujarnya.

Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati juga menyoroti agar wakil ketua fokus pada kondisi internal. “Jajaran MK tak hanya terlihat menterang di luar, tapi di internalnya juga harus akrab,” pungkas hakim perempuan satu-satunya di MK ini.

Tanggapan Advokat

Advokat senior Todung Mulya Lubis sempat ‘bermimpi’ kapan putusan hakim di Indonesia tak hanya menjadi dokumen hukum, tetapi juga masuk kategori karya sastra. Todung sepertinya perlu menyimak pertimbangan hukum Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.

Syahdan pada akhir nanti di Padang Mahsyar, manusia dikumpulkan oleh Tuhan untuk ditimbang kebaikan dan dosanya. Malaikat diperintahkan Tuhan memasukkan seorang anak remaja ke neraka karena banyak dosanya. Berkatalah si remaja, Ya Tuhan memang saya banyak dosa, saya membunuh pacar saya setelah saya minum minuman keras, Sekalipun minuman keras telah dilarang dipromosikan.

Semula saya tidak merokok tetapi karena pergaulan dan iklan rokok saya terpikat lalu saya merokok. Kalau kehabisan uang untuk membeli rokok saya mencuri uang bapak dan ibu saya. Kalau sudah mabuk dan merokok saya lupa kepada-Mu Tuhan, lalu saya jatuh sakit kanker karena rokok sehingga saya meninggal. Ribuan dan jutaan orang di negeri saya nasibnya seperti saya ini Tuhan! Saya menyesal mengapa iklan rokok masih diperbolehkan.

Cerita di atas bukan sembarang cerita pendek. Cerita yang berasal dari negeri antah berantah itu hanya bisa ditemukan di dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Tepatnya, di dalam bagian dissenting opinion atau pendapat berbeda yang dibuat oleh Hakim Konstitusi Achmad Sodiki. Setelah menguraikan berlembar-lembar pandangan hukumnya, Sodiki menutupnya dengan cerita tersebut.

Sodiki beserta tiga koleganya sesama hakim konstitusi Maruarar Siahaan, Harjono dan Muhammad Alim- memang tak sependapat dengan mayoritas hakim konstitusi yang membolehkan rokok diiklankan di sejumlah media penyiaran seperti televisi dan radio.  Sodiki berpendapat seharusnya rokok disamakan dengan minuman keras yang sama-sama bersifat adiktif. Sekedar mengingatkan, UU Penyiaran memang melarang iklan minuman keras di media penyiaran karena barangnya bersifat adiktif.

Cerita tersebut belum berakhir. Sodiki melanjutkan ceritanya. Dengan wajah memelas anak muda itu melanjutkan kata-katanya, Saya tidak terima sendirian Tuhan dipersalahkan masuk neraka, Tuhan tolong mereka yang berdiri di belakang saya ini ikut bertanggung jawab dan bersalah.

Siapa dia dan mengapa begitu? tanya Tuhan.

Jawab anak muda ini, Mereka itu orang yang diberi amanah dan mempunyai kekuasaan tetapi mereka tidak mau sedikitpun menggunakan kekuasaannya untuk mencegah adanya barang berbahaya yang menimbulkan kerusakan dan kesengsaraan generasi saya, Tuhan, sehingga generasi saya hilang tak berdaya. Atas permintaan remaja ini, Tuhan menyatakan pikir-pikir.

Mayoritas hakim konstitusi yang hadir dalam sidang pun hanya tersenyum kecut usai Sodiki membacakan bagian akhir pendapat berbedanya ini. Wakil dari Pemerintah pun terlihat tertawa kecil mendengar pertimbangan hakim yang ‘tidak lazim’ ini. Biasanya, pertimbangan hakim di Indonesia memang berisi istilah-istilah hukum yang njilemet.

Advokat senior Todung Mulya Lubis, dalam sebuah kesempatan, memang pernah melontarkan sebuah mimpi. Ia memimpikan putusan para hakim di Indonesia bisa menjadi dokumen hukum dan akademik layaknya putusan di luar negeri. Di Afrika Selatan, putusan bahkan mirip seperti karya sastra, ujarnya. Ia mengharapkan para hakim bisa memadukan ketiganya, yakni putusan sebagai dokumen hukum, akademik, dan karya sastra. Di samping itu, ia juga meminta agar pertimbangan hukum dalam putusan harus kuat.

Todung memang belum menetapkan apakah dissenting opinion Sodiki ini masuk kategori karya sastra yang dimaksudnya. Namun, minimal pendapat berbeda Sodiki tersebut telah memperkaya putusan yang tak melulu diisi oleh argumentasi hukum yang ruwet.

Sumber: Website MK dan hukumonline.com

.

Artikel Terkait:

Leave a Comment