Bukan Demam Biasa
Sebelumnya gue pernah cerita kalau sakit beberapa hari yang lalu gara-gara tragedi “Legenda Bebek dan Buah Langsep”. Tapi, setelah itu, sakit gue gak juga sembuh. Bahkan, di hari kedua gue sakit, justru kulit gue ada bintik-bintik merah kecil (ruam) hampir di seluruh tubuh. Gue bingung, sampai mikir apa karena gue kurang merawat tubuh gue sampai harus muncul bintik-bintik seperti ini? Karena ini yang kali pertama terjadi pada gue.
Akhirnya, sehari setelah bintik-bintik itu muncul, demam gue sembuh (asumsi). Dan di hari kelima, gue berangkat kantor. Tapi ada rasa yang aneh di sana, rasa-rasanya gue mau sakit lagi. Waktu istirahat, gue izin pulang duluan dengan alasan gue abis sakit dan keadaannya belum sembuh total.
Terus, teman-teman ada yang tanya, “kamu sakit apa dik?”. Gue dengan enak jawab, “ah Cuma sakit panas aja, dan ada bintik-bintik di kulit, mungkin sakit gabak aja”. Lalu dengan nada setengah serius, dia menambahkan awas kalau itu nanti sakit demam berdarah. Gejalanya kan seperti itu.
Gue tersentak, sambil setengah mengiyakan. Mungkin aja benar, tapi gue butuh kepastian. Setelah itu, gue langsung pulang dan sorenya ke rumah sakit untuk memastikan apakah gue memang benar-benar demam berdarah.
Wah, ternyata di sana antre banget. Sore itu, badan gue juga mulai terasa panas lagi. Ternyata asumsi gue di hari ketiga kalau demam gue udah sembuh salah, karena terkadang yang gue rasakan, (di hari kelima) ternyata demam masih sedikit terasa. Gue menunggu antrean sekitar sejam lamanya. Ketika adzan Magrib berkumandang, akhirnya gue diperiksa.
Apa yang terjadi? …
Sebenarnya gue menolak semua ini. Bukan takut, tapi ngeri dan bahkan sangat ngeri kalau darah gue diambil. Akhirnya Pak Dokter menusukkan jarum itu di bawah lengan kanan. Gue deg-degan. Pertama, membayangkan sakitnya benda tajam dan runcing itu menusuk daging dan menghisap darah segar gue. Kedua, khawatir kalau ternyata gue positif demam berdarah.
Setelah tragedi penusukan daging dan penghisapan darah itu, Pak Dokter keluar ruangan. Aku dibiarkan membusuk di ruang periksa. Lima menit kemudian, dia masuk dan bilang, trombosit gue turun. Rata-rata normal, kadar trombosit itu minimal 150.000, sedangkan gue 104.000. “Kalau saja hasilnya trombosit Mas di bawah 100.000, Mas positif demam berdarah, normalnya di atas 150.000, Mas”, Pak Dokter menerangkan seperti Pak Dosen yang berceramah waktu kuliah (hehe_33).
“Mungkin beberapa hari yang lalu, itu masa kritisnya. Mungkin waktu itu bisa saja trombositnya turun sampai 80.000 atau 90.000an. Banyak makan dan minumnya, Mas. Semua tergantung daya tahan tubuh yang bisa menyembuhkan demam berdarah”, imbuh Ia. Kalau saja waktu gue periksa dan trombosit gue di bawah 100.000, katakanlah 99.000, gue harus dirawat inap di sana. Bayangkan saja, hanya selisih berapa antara 104.000 dan 98.000? Hanya 5.000 dan itu dekat sekali dengan nasib buruk gue, yang harus rela pindah tempat tidur yang menyakitkan itu, di rumah sakit.
Belajar dari pengalaman gue dulu, rawat inap di rumah sakit itu sangat menyedihkan. Gue dulu sampai seminggu dirawat inap waktu SD. Dan itu membuat gue kapok dengan kamar tidur rumah sakit. Bukan karena tempat tidurnya atau suasana di sana. Memang itu juga faktor yang membuat gue tidak nyaman. Tapi yang lebih tidak nyaman lagi, tusukan jarum di pantat yang membuat gue hingga sekarang trauma. Karena gue seminggu di rumah sakit, berarti setidaknya sudah lebih dari enam kali akrab dengan tusukan ngeri itu. Dari situ, aku berjanji aku akan sembuh, aku tidak mau dengan jarum yang terus menghunus daging segarku itu.
Dan karena trombosit gue di atas 100.000, gak ada kewajiban buat gue untuk dirawat inap. Sore itu, gue langsung pulang dan bersyukur, telah terbebas dari yang namanya rawat inap.
Gue masih belum yakin kalau gue memang demam bedarah. Karena trombosit 104.000 tidak bisa menjadi landasan yang valid dari akibat seperti ini. Malamnya, gue sempatin browsing di internet tentang demam berdarah. Dan gejala-gejala yang disebutkan memang persis yang gue alami.
– Sakit kepala yang luar biasa; – Demam yang tinggi – Bintik-bintik merah (ruam); – Rasa sakit di belakang mata;
Apa lagi ya, ya kira-kira itu. Dan gue yakin benar gue demam ini berada dalam fase penyembuhan.
Gue memang tidak begitu pengalaman tentang demam berdarah. Bahkan ini adalah kejadian (peringatan) pertama pada keluarga gue. Sebelum-sebelumnya belum ada anggota keluarga yang demam berdarah. Berarti gue adalah yang kebetulan jadi korban sekaligus tumbal Aedes Aegypti itu. “Kenapa harus aku, kenapa bukan yang lain?”, gumamku yang sebenarnya tidak terima.
Yang membuat gue sulit untuk menerima adalah, akhir-akhir itu gue merasa kondisi badan gue mulai fit. Nafsu makan bertambah, berat badan meningkat dan lebih bersemangat daripada hari-hari kemarin. Tapi setelah badan panas, gue bertanya balik dan merasa “something is wrong”.
Ya, dari seluruh kejadian itu, khususnya setelah dari rumah sakit, setiap hari tiga kali sehari sebelum dan sesudah makan, gue harus minum obat. Wah, ini nih yang bikin gue jenuh. Sekaligus sebagai pengukuhan kalau gue sakit dan harus sembuh. Gue pantang menyerah.
Kakak sempat gue kabarin via sms kalau gue demam berdarah (karena biasanya Kakak yang serba sok peduli tentang masalah kesehatan, sapa tahu bisa membantu). Dan Ia pun langsung menyarankan banyak makan jambu biji.
Serenta, gue pun baru sadar, di hari ketiga (yang mungkin fase kritis) pada malam harinya gue makan jambu biji. Masa gue gak boleh makan, padahal gue ingin sekali waktu itu. Sambil sembunyi-sembunyi, satu buah jambu biji pun berhasil gue hajar habis, perasaan pun lega.
Hingga hari esok dan esok lusa, gue gak berani bilang kalau abis makan jambu biji. Dan padahal mungkin dari jambu biji itu yang mendukung gue sembuh dari demam berdarah, haha…
Sekarang, gue udah sembuh. Alhamdulillah kesehatan gue udah membaik, udah normal. makannya juga banyak. Tapi masih belum bisa gemuk lagi (lagi? kapan pernah gemuk? :D)