Dari Nusantara ke India
Hari ini tepat tiga minggu aku meninggalkan kampung halaman. Hari Sabtu malam, tiga minggu yang lalu itu, aku harus pergi dari tanah kelahiran, tentunya pula negeriku, Negeri Nusantara. Aku segera merantau ke negeri seberang, India
Dalam perantauan itu, aku akan jadi anak kuliahan, kawan. Dengan status mahasiswa internasional, penerima beasiswa. Sesampai negeri itu aku akan dijempu oleh kawan yang tengah belajar di sana.
Berangkat pukul 22.00 WIB, dari Jember ke Surabaya, menuju Bandara Internasional Juanda. Sesampai Surabaya pukul 04.00 WIB, pagi dini hari.
Dari Juanda hendak terbang menuju Rajiv Gandhi International Airport pukul 07.25 WIB, namun sebelumnya transit di Bandara Changi pukul 10.40 waktu Singapura. Sejak dari Juanda, tidak ada siapapun yang bersama kecuali tas yang melekat di bahu dan sebuah koper.
Perjalanan Juanda-Changi pun berjalan lancar. Tapi, karena ini adalah pengalaman pertamaku pergi ke luar negeri, tentu sedikit banyak merasa masih bingung. Selain belum tahu medan (Changi), didukung dengan luasnya Bandara, membuat saya bingung mencari Petugas Imigrasi.
“This is a transit journey, right? Mau ke India?”, tanya petugas. “Ya, Sir”, jawan saya.
Karena kita, Indonesia dan Singapura, masih serumpun tidak heran jika banyak orang di negeri ini yang bisa berbahasa Indonesia, atau setidaknya berbahasa Melayu. Tapi, Bahasa Indonesianya susah dipahami oleh saya yang native-nya Bahasa Indonesia sendiri.
Sebagian pula, ada yang berbahasa China. Maklum juga, karena orang Singapura banyak yang keturunan China.
Ada waktu yang cukup lama aku di Bandara, setelah bertemu dengan dua teman dari Medan, saatnya mencari dua kawan lain yang segera sampai di Singapura dari daerahnya masing-masing, yang sama-sama memiliki tujuan ke Rajiv Gandhi, Hyderabad, India.
Butuh beberapa jam hingga kami berlima berkumpul, hingga akhirnya kami memutuskan jalan-jalan ke beberapa titik di Singapura.
Bukan merasa kagum dengan negeri ini, tapi aku merasa iri. Benar-benat brengsek, Singapura ini. Betapa tidak, negeri kecil dengan segelintir penduduk ini mampu menjadi negara maju, negara yang bersih dengan banyak wisatawan manca negara yang berbondong-bondong berkeliling mengunjungi tempat-tempat eksotis, Singapura menjadi tujuan wisata.
Berkat transportasi monorel, kami pun berjalan mengelilingi negeri ini. Tampak dari kaca bangunan-bangunan menjulang tinggi dengan penataan kota yang rapi. Namun, kali ini aku tak lagi mengutuk Singapura yang brengsek ini, namun kenyataan seperti ini menjadikan aku semakin terpacu. Jika Singapura itu bagaikan satu daerah kecil yang luasnya tidak ada apa-apanya dengan pulau madura, maka Indonesia harusnya bisa berkali lipat lebih bagus dari Singapura. Kita, masyarakat Indonesia, harus melirik kemajuan Singapura agar beberapa tahun kemudian kita mampu lebih baik dari negara ini dan bertengger sebagai bangsa yang besar.
Memang untuk mewujudkan itu sangat kompleks, tapi peluang untuk ke sana masih ada. Kembalu lagi masalah pendidikan yang kemungkinan akan mendongkrak kemajuan itu.
Panas hati ini akan semakin terasa menyulut jika terlalu lama di Singapura. Akhirnya, selain waktu sudah mulai sore, kami berlima kembali ke Bandara, menuju Terminal 2, untuk meneruskan perjalanan ke Negeri Gandhi. Konon, negeri ini juga negeri yang pernah memiliki kejayaan dunia. Adalah negeri yang pernah memiliki peradaban tinggi dan berbagai ilmu pengetahuan dikembangkan di sini.
Sesampai di Terminal 2, langsung mulai terasa sudah bau-bau Indianya. Maksudnya, kami mulai bertemu dengan orang-orang India dengan beragam gaya, yang hendak memiliki tujuan penerbangan yang sama. Mereka sangat khas, dati pakaian sari, titik merah di antara kedua alis dan aroma wewangian khasnya yang memadati ruang tunggu ini.
Pukul 22.30, kami berangkat. Kami sampai di Rajiv Gandhi International Airport pukul 00.35 waktu setempat. Dalam benak saya, inilah luar negeri berikutnya, it is not bad. Ya, Bandara ini cukup bagus, tidak kalah dengan Bandara Juanda, Surabaya. Dalam pikiran saya pun, dua tahun lamanya, setidaknya 24 bulan ke depan, di negeri inilah saya tinggal. Saya pun terus berdoa semoga betah tinggal di negeri orang ini.
Sesampai Bandara, seperti biasanya, mengisi formulir dan berjalan panjang menuju Imigrasi. Setelah itu menuju pengambilan bagasi. Beberapa menit saya menanti bagasi saya, yang berisi beberapa pakaian, bumbu khas Indonesia dan mie instan. Beberapa menit berlalu, bagasi saya tak kunjung muncul. Akhirnya, bagasi saya raib. Hilang atau entah tidak sampai. “Lalu, besok aku mau pakai baju apa?”, kataku dalam hati sambil meratap.