Gara-gara (Harga) BBM (Lagi)
Negeriku, Indonesia kembali ribut tentang BBM. Tapi kali ini bukan brand asal Kanada itu lagi, Blackberry Mobile atau Blackberry Messenger. Meskipun demikian, yang menarik BBM pun juga ramai diperbincangkan di BBM. Jadinya BBM ramai tentang BBM di BBM.
Mungkin mulai bulan lalu, kita sudah perlahan melupakan tragedi Bellagio, tentang pemasaran produk Blackberry Bellagio pertama di Indonesia. Pemasaran dengan strategi pemangkasan setengah harga, dan itulah yang dulu pernah mengguncang bangsa ini. Untung saja, hanya ada 91 korban luka-luka dan pingsan lantaran berdesak-desakan memperebutkan harga fantastis itu, mereka siap berantre sedari malam hari.
Kini, kita juga sudah menyaksikan bagaimana masyarakat bangsa ini kembali terguncang. Mereka kembali unjuk nyali untuk yang kesekian kalinya, tapi ini tentang menyuarakan aspirasinya yang mengatasnamakan demokrasi. Dan kebebasan berpendapat seolah menjadi senjata yang sangat ampuh untuk melawan kebijakan pemerintah. Bahkan tanpa adanya kebebasan berpendapat, negara ini pasti akan dikatakan sebagai negara pengecut. Negara yang bersedia dan rela melangkah mundur dari demokrasi, dan menjadikan demokrasi terpasung dalam kubangan birokrasi.
***
Tentu, siapa saja tidak akan ada yang menginginkan harga BBM itu naik. Termasuk masyarakat negara-negara lain yang masih mengimpor BBM, mereka tidak akan pernah ingin dan bersedia sedikitpun jika harga BBM naik. Tapi bagaimana dengan reaksi mereka? Sepanjang yang saya tahu, tidak sampai sedahsyat masyarakat Indonesia. Dan memang masyarakat Indonesia saat ini masih tetap enerjik dalam menyuarakan hati nuraninya, walaupun entah apakah memang itu benar-benar dari hati nuraninya. Apapun itu, keberanian menyuarakan aspirasi tetap patut diapresiasi dan selayaknya mendapatkan acungan dua jempol.
Yang tak kalah penting adalah konten yang disampaikan dalam berdemonstrasi. Dari konten, kita akan melihat sejauh mana kualitas para demonstran, atau mungkin lebih tepatnya sejauh mana kualitas aspirasi yang disampaikannya. Dan yang lebih penting lagi, apakah aspirasi yang disampaikan itu mampu diserap para pembuat kebijakan. Dan yang paling menentukan, apakah suara itu akan disetujui oleh Pemerintah sebelum palu kebijakan itu dipukul di gedung wakil rakyat.
Tapi, kini sepertinya hubungan itu kelihatan kian tak lagi harmonis. Tak seharmonis kala dulu sebelum rakyat berbondong-bondong memilihnya. Hubungan antara Pemerintah dan yang diperintah, hubungan para wakil dan terwakil, hubungan rakyat dan penguasa. Semua itu apakah memang perlu dan harus dilakukan rakyat dengan suara lantang hingga parau, bahkan terkadang dengan amukan nurani di setiap bahu jalan yang berlalu lalang menuju depan kantor-kantor Pemerintah. Dari pagi, siang, sore dan sampai malam sekalipun.
Mereka seharian bahkan ada juga yang sampai berhari-hari berdemonstrasi. Apa mereka tidak lelah? Hingga seperti itukah perjuangan rakyat mencari keadilan, atau justru keadilan itu sudah termakan rayap? Kalau saja menyuarakan aspirasinya, kenapa tidak langsung bertemu dengan orang yang dituju, membuat kesepakatan dan selesai. Tepat pada sasaran. Bukankah itu lebih efektif dan tidak membuang-buang waktu dan tenaga?
Mungkin di antara kalian ada yang berpikir, ini adalah pertunjukan seni atau karnaval. Alangkah beruntungnya jika itu pertunjukan seni atau karnaval, karena kita bisa menontonnya dari dekat. Sayang sekali, ternyata itu adalah pertunjukan politik, protes dan semua tetek bengeknya pada Pemerintah. Memang model pertunjukan seperti itu kini yang tengah menjadi tren sejak sepuluh tahun terakhir. Dan saking trennya, mungkin mereka sudah mulai lupa dengan ragam pertunjukan yang sangat kental dengan nilai dan budaya, identitas bangsa, Indonesia. Justru kini yang terjadi adalah baku hantam, saling pukul dan serang antara masyarakat dan aparat. Seolah ada dendam dan permusuhan di antara mereka. Dan mungkin juga mulai ada dendam dalam tiap-tiap butir Pancasila yang aku hafal sedari TK itu.
Dari pemandangan awal ini bisa kita lihat, betapa tinggi betul minat rakyat Indonesia kalau masalah menuntut hak. Tapi bukankah di balik hak rakyat untuk menyampaikan aspirasi, Pemerintah juga memiliki hak untuk tidak mendengarkan aspirasi itu? Bukankah itu juga merupakan hak.
Dari pelajaran PMP yang masih aku ingat dulu waktu SD, di balik hak pasti akan melekat dan tertanam kewajiban. Keduanya adalah satu pasang, bahkan seperti sepasang kekasih. Tidak boleh diambil salah satu, atau jika diambil atau hilang salah satu akan ada kecemburuan bahkan permusuhan.
Seandainya saja, masing-masing mendahulukan kewajiban, saling mengerti dan memahami, pasti akan berbeda cerita. Sayangnya, ini bukanlah cerita. Ini adalah fakta, sesuatu yang nyata.
+++
Jujur saja, sebenarnya saya malas menulis dan berkomentar isu tentang politik. Mungkin karena berbicara tentang politik tidak pernah menemukan ujung penyelesaian. Mungkin juga karena itu sudah tidak menarik lagi, tapi bukan berarti saya tidak peduli sama sekali dengan isu-isu seperti itu. Yang terjadi, seringkali dianggap memihak kalangan tertentu jika ternyata dalam tulisan itu cenderung menguatkan salah satu pihak. Tapi bukankah lebih baik kita menganggap ini sebagai isu negara? Dan kita adalah bagian dari negara itu. Mungkin satu paragraf di bawah ini juga bisa dikatakan sebagai demonstrasi.
Ya, ini menggelikan, adalah tuntutan, “Naikkan BBM, Turunkan SBY”. Bukankah dari tuntutan itu, rakyat dengan jelas telah setuju dengan kenaikan (harga) BBM. Bukankah dari tuntutan itu, justru terlihat sangat jelas, ada misi lain di balik penolakan kebijakan. Ini bukan lagi menolak turunnya harga BBM, tapi menuntut turunnya SBY? Dan bukankah ini sangat berbeda topik?
Jika rakyat ingin menurunkan Presiden, tentulah ada prosedurnya. Tidak semudah kita menjatuhkan batu ke dalam sungai. Karena negara ini bukanlah negara di hutan rimba, yang siapapun bisa jatuh hanya karena amukan hewan-hewan yang lain. Jika Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi peradaban, tentulah kita harus taat pada aturan. Dan ini bukan tentang masalah menolak atau menerima, mengecam atau membanggakan, tetapi tentang rasionalitas dan saling menerima.
Memang pemerintah tengah membuat kesepakatan, menaikkan BBM. Dan keputusan nanti itu, seperti apa yang sering dikatakan para demonstran dalam tuntutan, harga BBM naik mulai bulan depan. Dan sebagai gantinya, pemerintah akan memberikan kompensasi dari kenaikan BBM ini kepada rakyat miskin. Ini berarti rakyat miskin akan lebih diperhatikan. Kalau katanya orang-orang pintar, itu namanya affirmative action. Kalau mahasiswa hukum bilang, itulah keadilan distributif. Kalau para dosen hukum tata negara bilang, itu adalah kebijakan yang konstitusional dan kompensasi adalah hak konstitusional bagi rakyat miskin. Apalah itu, yang jelas apa yang terjadi di lapangan tidaklah semudah kita berteori apalagi beretorika.
Sekarang sudah semakin parah. Yang asli dan yang terselubung sudah susah terdeteksi. Detektif keadilan pun juga banyak yang diragukan. Yang jelas semua elemen bangsa ini tidak lagi seperti minyak dan air dalam satu botol, yang nampak jelas perbedaannya. Yang terjadi justru semakin paradoks. Bahkan seperti tanah dan air yang hendak menjadi lumpur. Lumpur-lumpur yang dihantamkan ke segala penjuru.
Ya, bukanlah negeriku Indonesia, jika semuanya di sana baik-baik saja.
+++
Belajar dari pengalaman kenaikan harga BBM beberapa tahun yang lalu, justru banyak rakyat berlomba-lomba menjadi rakyat miskin. Semuanya rela mereka lakukan demi mendapatkan dana talangan kompensasi BBM itu, dan mereka sadar sebetulnya itu bukan haknya. Yang lebih heran lagi, yang demonstrasi itu mayoritas bukanlah dari kalangan rakyat miskin. Padahal dari beberapa analis pakar ekonomi yang juga mengomentari naiknya harga BBM, rakyat miskin akan merasakan betul dampak kebijakan ini.
Coba lihat, mereka yang berdemonstrasi sekarang, mereka punya sepeda motor dan mobil. Bahkan gerombolan itu adalah kumpulan mahasiswa, kumpulan orang-orang otak encer yang akan menjadi penerus bangsa ini, yang akan menggantikan orang yang sedang didemonstrasi di dalam gedung itu. Mereka jauh dari kata miskin. Dan berarti sebaliknya, mereka yang menuntut itu adalah kumpulan orang-orang berada dan pintar. Tapi tahukah kalian, mereka lebih senang dan bangga jika kalian menyebutnya kaum intelektual Indonesia.
Ada apa gerangan. Ah… Saya sudah bilang tadi, lumpur itu sudah hampir memenuhi negeri ini. Lumpur itu tidak hanya berdiam diri di Sidoarjo, tapi sudah meluas di seluruh penjuru tanah air. Dan di sana, sebetulnya mahasiswa yang banyak mengambil peran. Sayangnya, mahasiswa sekarang seperti pisang karbitan. Memang ada yang benar-benar encer, tapi sudah sangat jarang.
Tapi jangan salah. Meskipun karbitan, mereka kerap muncul dan tertanam kuat jiwa kemanusiaannya. Lantas menumpahkan semua sikapnya itu dengan bersorak di bahu jalan, menuntut Pemerintah. Jika suara mereka tidak didengar, mereka juga sudah sadar kenyataan kalau suaranya memang harus diperkeras lagi. Dan akhirnya, mereka membawa pengeras suara, sedangkan di sisi kanan dan kirinya pasti tidak lupa ada beberapa mahasiswa lain yang tengah asyik mengibarkan bendera kebanggaan mereka.
Dan sekarang bendera kebanggaan mereka bukan lagi merah putih. Sekarang ada tambahan warnanya, ada kuning, hijau, hitam, biru. Mungkin besok akan bertambah lagi, lengkap menjadi ‘mejikuhibiniu’. Jalan-jalan lumpuh itu pun pasti suatu saat akan terbentuk sebuah pelangi. Tapi sayang sekali, semangat mencari ilmunya sangat sulit seteguh dan setinggi Laskar Pelangi.
+++
Sepotong harapan rakyat akan mudah diterima jika semuanya disampaikan melalui cara-cara yang elegan. Cara-cara yang tidak menimbulkan pertentangan dan keresahan. Saya mengatakan keresahan karena dipastikan kemacetan dan permasalahan ketertiban umum akan terjadi lantaran demonstrasi. Tapi bukan berarti saya menolak atau benci dengan demonstrasi. Hanya saja, seandainya masih ada dan memiliki cara-cara yang lebih elegan dalam menyampaikan aspirasi itu, kenapa tidak dicoba.
Seperti banyak disebutkan dalam buku-buku yang saya pinjam dari mahasiswa, bahwa peradaban akan terhenti jika kita sekedar mengandalkan budaya tutur, sedangkan budaya literasi kita nomor duakan. Sejatinya, budaya literasilah yang justru akan membangun peradaban itu. Itulah arah peradaban kita. Dan di sana bukan tentang seberapa kencang dan keras suara yang kita sampaikan, tetapi seberapa besar kontribusi gagasan yang kita sampaikan, yang lahir dari pemikiran kita, untuk negara.
Seperti yang sudah saya sampaikan di awal, siapapun pastinya tidak ingin harga BBM naik. Pasti Pemerintah juga tidak ingin menaikkan harga BBM. Tapi, selama ini masih tidak ada cara lain, selain menaikkan harga BBM demi menyelamatkan perekonomian negara. Dan yang saya lihat, sebenarnya Pemerintah jua masih sangat membutuhkan perhatian dari demonstran, mereka yang mau menyuarakan aspirasi sekaligus menawarkan solusi yang bisa diterapkan untuk menutupi permasalahan ini. Sayangnya, hingga saat ini demonstrasi tidak berbicara tentang solusi, hanya berputar tentang menolak, mengecam dan menghujat.
Mungkin besok, besok lusa atau besoknya lagi, akan ada demonstran yang mau menawarkan solusi, yang bertanggung jawab merawat negeri.
Jember, 28 March 2012