Jangan Remehkan yang Kecil #Makara1

Hari ini akhirnya aku bisa menuliskan sebuah perjalanan yang bisa berkesan selamanya sepanjang hidupku. Sebenarnya sih cerita ini biasa saja, tapi perjalanan yang merangkai sejarah kehidupan itu menjadi luar biasa. Ini bukan lagi tentang cinta, bukan pula tentang siapa yang menjadi juara. Ini adalah sebuah cerita yang murni di balik itu semua, demi sebuah keteguhan, konsistensi dan optimisme.

Perjalanan ini dimulai setelah tahu kalau karya aku masuk nominasi 10 besar dalam kompetisi esai yang diselenggarakan Fakultas Hukum UI. Seperti biasa di hari esoknya harus kembali baik-baik lagi sama PD III, sama pegawai bidang keuangan dan tentunya sama pegawai di bagian keuangan pula. Itu semua bermaksud agar semua urusan birokrasi di kampus bisa jadi lebih mudah.

Seperti biasanya pula, karena sebelum berangkat pastinya harus sudah mengantongi surat tugas dan PDIII. Selain itu tentunya juga harus berbekal dana dari kampus untuk bisa sampai Depok. Seperti biasa, aku harus mengajukan permohonan dana ke PDIII untuk selanjutnya dilanjutkan ke bagian kemahasiswaan dan selanjutnya yang ditunggu-tunggu adalah kemahasiswaan meneruskan ke bagian keuangan. Artinya, setelah semua urusan sampai bagian keuangan, berarti aku akan mendapatkan SPPD dan sejumlah dana untuk perjalanan ke Depok.

Itu semua adalah alur yang harus dilalui oleh setiap mahasiswa di kampusku. Tapi rasanya setiap mahasiswa di kampus lain juga akan mengalami hal yang tidak jauh beda dengan yang kuceritakan di atas. Awalnya memang terasa agak ribet. Karena sudah berkali-kali hal yang seperti ini biasanya bisa kelar hanya dalam waktu dua hari, tapi untuk yang satu ini bisa kelar hanya dalam waktu sehari. Pokoknya ini yang paling asik dan administrasi kampus untuk yang kali ini patut diacungi dua jempol.

Sayangnya, dana dari bagian keuangan baru keluar sekitar pukul 15.00 WIB dan pada waktu yang bersamaan aku masih punya kegiatan di kampus, sehingga pembelian tiket kurencanakan setelah kegiatan ini selesai. meskipun aku masih sedikit khawatir kalau tiket untuk perjalanan besok sudah habis terjual.

Ya, hampir seperti kegiatan rutin di kampus, setiap sore hari, karena aku waktu itu sebagai asisten dosen pembimbing untuk teman-teman yang akan maju dalam kompetisi peradilan semu. Karena ini yang mengharuskan aku untuk stay bersama mereka hingga sore hari.

Selain itu, ternyata, ada juga kegiatan insidentil yang membuatku hari itu lebih lama dan lebih sore berada di kampus. Karena, pukul 16.00 WIB aku dan dua orang tim karya tulisku harus diskusi dengan dosen pembimbing untuk finalisasi naskah untuk dikirimkan esok. Di situ sekaligus juga kami telah membagi tugas anggota tim, siapa saja yang minta tanda tangan dari dekanat, siapa saja yang cetak dan jilid naskah. Baru setelah itu, waktu setelah magrib, aku baru bisa membeli tiket di stasiun kereta sebelum meluncur pulang Jember-Wuluhan.

Sebenarnya ada tiga opsi kendaraan yang bisa kunaiki. Bisa bus, kereta api ataupun pesawat. Tapi nih, akhirnya kuputuskan naik kereta api saja. Seperti biasa, aku membeli tiket kereta api kelas eksekutif rute Jember-Surabaya dan Surabaya-Gambir, dengan jadwal pemberangkatan esok siang pukul 12.00 WIB. Perjalanan dari Jember sampai Jakarta menghabiskan waktu sekitar 20 jam. Jadi kalau aku berangkat Selasa siang akan sampai Rabu pagi. Sedangkan kompetisi itu akan berlangsung di hari Kamis.

Akhirnya tiket sudah dalam genggaman. Alhamdulillah masih ada beberapa tiket yang masih tersisa.

Setelah berhasil membeli tiket, rasanya semuanya sudah mulai terang dan beres, karena tinggal mempersiapkan power point presentasi dan beberapa perlengkapan yang perlu dibutuhkan. Semua akan betapa mudahnya dalam perjalanan nanti, karena tiket sudah dalam genggaman dan tinggal menunggu waktu saja untuk berangkat.

***

Malam itu juga aku langsung pulang. Jarak tempuh Jember-Wuluhan sekitar 33 KM. Kalau berangkat jam 07.00 WIB kira-kira sampai rumah sekitar pukul 08.00 WIB. Rasanya aku ingin segera istirahat saja, mungkin sudah capek kelelahan banyak kegiatan seharian penuh.

Tidak ada sesuatu yang aneh dalam perjalanan itu. Tidak ada pula pertanda bahwa aku harus berkendara lebih berhati-hati. Aku tidak pernah menaruh curiga bahwa sesuatu yang buruk bisa terjadi kapanpun dan dimanapun. Justru pertanda yang kurasakan adalah ketika aku esok akan bertemu dengan kawan-kawanku di kampus Fakultas Hukum UI yang mereka sama-sama menjadi finali dalam kompetisi ini.

Sesampai jarak tempuh sekira 25 KM, atau di tempat sekira 8 KM dari rumah, ada sebuah keadaan di mana aku harus mengucapkan kata syukur. Di arah yang berlawanan ada sebuah mobil carry sedang berbelok arah dengan tiba-tiba. Dengan kecepatan 70 km/jam membuat aku sulit untuk menghentikan sepeda motor dengan tiba-tiba.

Di tempat itulah sebuah kecelakaan berhasil mengukir sejarah. Dalam kecelakaan itu, kendaraanku tepat di antara dua roda mobil dan kepalaku tepat di bawah mobil. Sontak membuat semua orang terkejut dan bahkan beberapa meneriakkan jeritan. Dalam beberapa detik diikuti dengan kerubungan banyak orang di sekelilingku. Tampaknya mereka ingin mengetahui tragedi malam yang melibatkan diriku sekaligus hendak menolong siapa saja yang menjadi korban.

Kendaraan di bagian depan remuk dan tak tega aku melihatnya. Untungnya, aku masih sadarkan diri. Namun di balik itu, pupuslah harapanku.

Setelah kecelakaan terjadi, bukan luka apa yang ada di tubuhku. Aku justru berpikir jauh setelah kejadian malan ini masih bisakah esok berangkat ke Jakarta. Akupun juga tersadar mungkin ini yang disebut karena nila setitik, rusak susu sebelangga. Karena kurang mewaspadai hal-hal yang kecil justru mengakibatkan sebuah kejadian yang setidaknya berpotensi akan menjadi fatal di keesokan harinya.

Lantas aku mulai merasionalkan keadaan. Aku membuka helm, meraba bagian kepala dan mengamati bagian-bagian helm. Aku merasa beruntung karena bagian kepalaku ternyata masih selamat dan helmku tidak ada goresan yang berarti. Selanjutnya, aku mulai mengamati apakah ada bercak darah di pakaianku dan mulai merasakan bagian mana dari tubuhku yang terasa sakit yang bisa jadi patah tulang atau luka berdarah.

Ini tentu adalah kejadian yang paling buruk yang belum pernah aku alami sebelumnya. Namun ada setitik hikmah yang wajib aku syukuri. Aku bersyukur karena pada malam itu jiwa ragaku masih terselamatkan dari bahaya yang mengancam masa depanku. Aku tak mampu membayangkan apabila ada bagian tubuh yang mengalami patah tulang, cidera permanen atau bahkan pendarahan yang berkelanjutan. Juga, aku merasa beruntung karena tidak sampai pingsan sehingga keadaan tidak mengantarkanku ke rumah sakit.

Aku juga berterima kasih, sesaat setelah kecelakaan ini berlangsung ada seorang Ibu penjual makanan kaki lima yang memberiku air minum. Sebenarnya sesaat setelah kejadian ini aku bisa bangkit, aku bisa berdiri. Namun di beberapa detik berikutnya badan ini terasa gemetar dan keadaan ini membuat aku kemudian berjongkok, karena tak mampu lagi berdiri. Mungkin ini yang dinamakan shock, tak sanggup membayangkan kejadian yang baru saja terjadi itu. Bahkan munngkin hampir tidak percaya bahwa aku baru saja kecelakaan dan tengah cidera dari suatu kejadian tragis yang tidak pernah bisa diduga.

Jalan simpang empat ini telah menyaksikan refleksi diriku bahwa dalam meraih sesuatu yang kita inginkan, tidak semudah kita berangan. Banyak kejadian tak terduga yang menjadi hambatan untuk meraihnya dan sebuah kewajiban bagi setiap manusia untuk selalu menaklukkannya. Dalam usaha dan di balik setiap hambatan, sesungguhnya kehidupan senantiasa mengajarkan kepada manusia tentang usaha, kerja keras, sabar, tawakal, ikhlas dan pantang menyerah.

Kehidupan juga mengajarkan pada setiap manusia bahwa keberhasilan tidak semata terletak pada hasil. Karena sesungguhnya kesanggupan manusia untuk bangkit dari hambatan dan keadaan terburuk itu merupakan sebuah prestasi berharga yang seringkali tak tampak di pelupuk manusia.

Leave a Comment