Kamuflase Hak Beragama: Beragama atau Tidak Beragama
Belum lama ini, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Moh Mahfud MD menggoyang publik lantaran pernyataannya tentang legalisasi komunis di Indonesia (Kompas/10/07/2012). Tak pelak, reaksi dari berbagai pihak pun menyeruak dan meyulut beragam pertentangan di tengah-tengah masyarakat.
Sebenarnya permasalahan tentang legal atau tidaknya komunis sebagai bagian dari entitas bangsa Indonesia telah terjadi sejak zaman pemerintahan orde lama dan berjalan berkelindan hingga pemerintahan orde baru.
Sayangnya, permasalahan tersebut hanya menggelinding dalam ketidakberdayaan atas praktik pemasungan hak dan kebebasan yang terbungkam dalam lingkaran rezim. Saat itu, tidak ada ruang diseminasi publik yang mampu menerjemahkan hak dan kebebasan tersebut, antara hak dan kebebasan beragama dan hak dan kebebasan tidak beragama.
***
Tidak dapat dipungkiri, keberagaman bangsa Indonesia tidak terlepaskan dari kompleksitas permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak dasar yang melekat pada pribadi. Dalam perjalananya pu, HAM, hingga saat ini masih belum terdapat kata sepakat tentang sifat dasar HAM apakah bersifat universal atau partikular.
Jika merujuk pada Universal Declaration of Human Rights, HAM didefinisikan sebagai hak yang bersifat asasi dan melekat pada pribadi manusia yang bersifat universal. Sedangkan dalam pandangan kalangan bangsa dan negara Timur yang lebih memegang nilai-nilai moral agama, seperti Arab Saudi, Malaysia dan Indonesia tidak sepakat bahwa HAM bersifat universal, sehingga negara-negara Timur masih mendasarkan pada definisi HAM yang bersifat partikular.
Partikularisme HAM pun dapat kita lacak dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa HAM diidentifikasikan sebagai hak yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini berarti hak yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan hak yang tidak bisa terlepaskan dari hak kodrati yang berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan ajaran agama.
Jika dikaitkan dengan hak dan kebebasan beragama, dapat ditarik pada sebuah persepsi dasar bahwa sesungguhnya Indonesia tidak mengenal hak dan kebebasan tidak beragama. Dengan kata lain, setiap warga negara wajib berkeyakinan dan/atau beragama sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Dalam konsepsi HAM, sebagaimana Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 hak beragama dikategorikan dalam HAM yang bersifat non-derogable, berarti bahwa hak tersebut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Non-derogabilitas ini hanya berlaku untuk pemenuhan hak beragama, sedangkan hak maupun kebebasan tidak beragama tidak dikenal dalam konsep ini.
Berbicara tentang hak dan kebebasan beragama, tidak terlepas pula dari forum internum (hak untuk meyakini tentang apa yang diyakini) dan forum externum (tentang hak untuk memanifestaskan apa yang diyakini). Non-derogabilitas hak beragama hanya mengikat bersama forum internum, sehingga pembatasan hak beragama hanya berlaku pada forum externum.
Berkaitan dengan dua konsepsi di atas, dapat dipahami dengan jelas bahwa hak dan kebebasan beragama merupakan kebebasan meyakini dan melaksanakan ajaran agama, bukan ditafsirkan tentang kebebasan tidak beragama.
Anehnya, terhadap konsepsi tersebut, Mahfud mengemukakan bahwa pelarangan terhadap keberadaan individu ateis atau komunis merupakan pelanggaran HAM (violation of human rights).
Pada satu sisi, dapat disadari memang terdapat hak asasi yang dilanggar, yaitu hak dari ateis atau komunis. Sedangkan pada sisi lain, apakah bentuk toleransi terhadap kebebasan komunis tersebut harus menabrak asas fundamental yang dibangung dalam kerangka konstitusional?
Lebih jauh lagi, melalui legalisasi komunis di Indonesia, bukankah berakibat pada pereduksian Pancasila? Sekiranya tidaklah salah gagasan tersebut diutarakan, sebagai bentuk diseminasi persepsi atas permasalahan hak beragama, tetapi ketika dikaitkan pada permasalahan implementasi, justru akan menemukan jalan buntu.
Di samping, jika gagasan ini nanti diterapkan harus melalui perubahan dan/atau penghapusan sila pertama Pancasila, juga mengubah ideologi bangsa Indonesia yang telah mengakar dalam konsep kebhinekaan.
Begitu pula, apakah dengan memberikan hak tidak beragama kepada masyarakat komunis ini adalah sebuah keniscayaan dan mampu memulihkan pelanggaran terhadap HAM tersebut?
***
Dalam wacana ini, hal yang paling utama dibandingkan legalisasi ateis atau komunis adalah peningkatan kualitas proteksi hak dan kebebasan beragama yang telah dijaminkan oleh konstitusi. Karenanya, beragam disharmoni agama perlu dan patut untuk disikapi dengan bijak.
Kasus Syiah dan NU di Madura, misalnya, merupakan potret kompleksitas yang nyata pertentangan dan disharmoni sesama agama. Belum lagi permasalahan antaragama. Bahkan jika ateis atau komunis nantinya dilegalkan, permasalahan tersebut akan semakin menggelinding dan praktik pelanggaran HAM dipastikan akan meningkat secara tajam.
.
Tulisan Terkait: