Sebungkus Pesan dari Kehidupan
Tahukah kita bahwa hidup tidak seperti apa yang telihat dengan kasat mata. Kehidupan terkadang dan seringkali terasa menipu. Kehidupan dengan sejuta alasan hanya menawarkan dua pilihan, harus salah satu, yaitu manis atau pahit.
Meskipun manis jangan lantas gegabah dalam memilihnya. Kita harus jeli, apakah manis itu juga terasa sampai kedalaman isinya atau manisnya sekadar di kulit saja. Begitu juga dengan pahit. Apakah rasa pahit itu sampai kedalaman atau hanya pahit di bagian kulitnya.
Tetapi, manusia terkadang dan seringkali terlena oleh barang yang tampak manis di muka, manis yang terasa sekejap. Manusia sering memilih yang terasa manis di awal, tanpa mau lebih berpikir ke dalam, apakah manis itu juga akan terasa di akhir.
Karenanya, jangan heran jika manis lebih diagungkan, dinomorsatukan dan difavoritkan ketimbang pahit. Sebaliknya, pahit menjadi yang paling dienggani atau bahkan yang paling dijauhi dan dibenci ketimbang manis.
Namun, tahukah kita bahwa sesudah hari ini masih ada hari besok, hari besoknya besok dan hari besoknya lagi. Ketika waktu itu datang, kehidupan tidak pernah lurus seperti penggaris.
Kehidupan bak jalan, yang seringkali juga sering berbelok. Bahkan tidak mustahil pula kehidupa akan menawarkan perjalanan yang berbeda, keduanya bisa saling bergeser satu sama lain. Lika-liku itu esok hari akan terjawab dengan tegas oleh sang waktu.
Sebagian manusia itu akan berkata, “Bahwa yang tadinya manis, ternyata tak selamanya manis”. Begitu juga sebagian akan berkata pula, “Bahwa yang tadinya pahit yang hampir tiada seorang pun mau menjatuhkan pilihan pertama kepadanya, kini justru berubah, menjadi yang dicari-cari.”
Itulah kehidupan, yang selalu mengubur kemutlakan. Hidup menolak kemutlakan dalam memaknai manis dan pahitnya sesuatu. Layaknya perputaran siang dan malam, dalam hidup ada saat-saat manusia merasakan manis, ada saat-saatnya pula manusia merasakan pahit. Itulah yang setiap manusia akan hadapi, menghadapi roda kehidupan yang selalu berputar.
Contoh kecil saja. Berapa banyak orang terbujur tak berdaya karena manis, entah dari perempuan yang manis, laki-laki yang tampan, atau dari makanan yang manis-manis. Berapa banyak pula orang rela menghabiskan harta, waktu dan tenaga demi mendapatkan yang pahit sebagai penawar kehidupannya, demi menyembuhkan kesakitannya karena yang manis. Entah karena penyakit akibat makanan yang manis, dari sakit gigi hingga diabetes, atau juga karena sakit hati, tersakiti perasaannya setelah mendapatkan yang manis.
Itu tidak mustahil. Banyak sekali orang mengalaminya. Orang yang mengalaminya, sejatinya mereka belum menyadari hidup akan keseimbangan. Itulah kenapa tuhan selalu melarang umatnya untuk berlebih-lebihan dan mengajarkan hakikai kehidupan adalah pertengahan dan kebijaksanaan.
Dari manis dan pahit, kita dapat belajar. Bahwa tak selamanya yang manis itu ternyata mampu membahagiakan, karena bisa juga membawa kerugian. Tidak selamanya pula yang pahit itu menyusahkan dan menyedihkan, karena justru mampu sebagai penawar kehidupan.
Manis dan pahit tidak lupa menyampaikan pesan dari kehidupan bagi seluruh manusia. “Lihatlah isinya bukan sekadar bungkusnya, karena terkadang apa yang tampak di permukaan itu belum tentu mencerminkan isinya. Apa yang tampak manis, elok dan indah di luar bahkan seringkali itu tak lain dari tipuan kehidupan.”