Tak Terasa, Sudah Empat Tahun Menjadi Dosen
Saya memulai berkarir sebagai dosen pada Maret 2016. Tak terasa, ternyata sudah empat tahun saya menjalani profesi ini. Sejauh ini, saya sudah mulai merasakan suka dan dukanya menjalani tugas merangkap sebagai pengajar sekaligus ilmuwan ini. Saya merasa ada peningkatan kapasitas akademik, dibandingkan saya sesaat setelah lulus magister ataupun saat memulai profesi ini. Satu hal yang saya sadari, menyelesaikan studi magister memang tidak gampang. Namun, masih banyak hal yang harus dikejar setelah lulus magister.
Melalui catatan ini, saya ingin bercerita kilas balik dan perjalanan saya menekuni dunia akademik. Kilas balik perjalanan ini menceritakan tahapan-tahapan saya, perkembangan dan kemajuan saya dalam dunia akademik. Sekaligus, usaha mengatasi kegagalan dan tantangannya.
Belajar Menulis
Saya memulai dunia tulis menulis, dunia penelitian adalah sejak memulai berkarir di dunia akademik ini. Memang, saya dulu, saat masih S1 aktif dalam kegiatan ilmiah. Tercatat saya memenangkan lomba debat, lomba karya ilmiah hingga terpilih menjadi mahasiswa berprestasi tingkat universitas. Prestasi demi prestasi tersebut tentu membanggakan. Beberapa orang menyebutnya itu sebagai prestasi yang prestisius. Namun, untuk berkarir di dunia akademik, masih diperlukan peningkatan kualitas.
Saya mulai menyadari akan tingginya kualitas akademik saat menjadi dosen sejak belajar bahasa Inggris. Setelah lulus S1, saya memulai kursus bahasa Inggris. Saya mengenal ragam asesmen kemahiran berbahasa Inggris, baik TOEFL maupun IELTS. Saya memulai belajar banyak hal tentang academic writing dari sini. Ternyata, untuk menjadi penulis yang baik itu ada tekniknya. Kita tidak hanya wajib punya ide lalu dituliskan dilengkapi referensi ilmiah. Lebih dari itu, kita juga perlu belajar untuk menuliskannya secara akademik. Penguasaan kosa kata dan gaya bahasa menjadi komponen yang tidak kalah penting selain ketepatan dalam berlogika.
Semuanya tidak saya pelajari di kampus. Melainkan, saya memelajarinya dari melatih diri meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris, baik melalui kursus maupun otodidak. Sejak itu, saya berusaha untuk menuliskan sesuatu standar akademik, termasuk belajar parafrase, mengolah ide yang dikemas dalam bahasa yang lebih sederhana, hingga mencari sumber referensi yang akurat.
S2 Adalah Masa Stagnasi?
Saya seringkali merasa bahwa S2 adalah masa-masa saya stagnasi dalam dunia tulis menulis. Saya meluangkan banyak waktu belajar dan memperluas sudut pandang berpikir. Selama saya kuliah S2, saya berusaha melahap banyak buku dan jurnal yang hampir semuanya dalam bahasa Inggris dan topik-topik terbaru. Saya berusaha keluar dari pakem yang sebelumnya sudah merasa nyaman dengan memelajari hukum konstitusi. Konon, saat masih S1, teman-teman bilang saya unggul di kajiaan ini meskipun saya merasa belum puas. Karena itu, saat S2 saya berusaha untuk memperluas kajian saya.
Saya mengambil LL.M. Hukum Perdagangan dan Ekonomi Internasional. Ini adalah kajian yang bisa dibilang sama sekali baru. Saya harus memelajari dasar-dasar hukum internasional sekaligus hukum ekonomi dana ilmu ekonomi sendiri. Selain itu, saya terkadang menyempatkan membaca hukum konstitusi India. Dari sini, justru saya merasa tertantang.
Dari sini pula, saya semakin merasa bodoh. Saya merasa ilmu dan pengetahuan yang sudah saya pelajari sebelumnya masih sangat terbatas. Ada kesadaran ternyata ilmu itu luas dan untuk melihatnya tidak hanya dengan satu segi, satu perspektif, satu pendekatan, satu disiplin, satu kajian.
Singkat cerita, akhirnya saya memiliki ketertarikan pada kajian organisasi internasional, khususnya kajian regional. Tesis saya membahas tentang keanggotaan Uni Eropa dalam WTO. Entah apa yang merasuki diriku…
Banyak teman-teman yang agak terheran. Saya seperti move on dari kajian hukum konstitusi. Meskipun, ternyata, saat saya menjadi dosen diberikan matakuliah kajian hukum konstitusi. hehee…
Saya memang mengkaji Uni Eropa dan WTO. Saya belajar banyak tentang dua organisasi yang cukup unik tersebut. Uni Eropa muncul sebagai pembaru konsep negara di dunia. Begitu juga WTO muncul dengan mereformasi sistem ekonomi dunia melalui serangkaian ide liberalisasi dan efisiensi dalam perekonomian domestik. Di balik saya mengambil tema ini, ternyata saya memiliki ketertarikan pada konsep federalisme Uni Eropa yang cukup unik, khususnya dalam urusan hubungan ekonomi internasional. Saya merasa teori konstitusi perlu bergerak ke depan dari pengalaman Uni Eropa. Saya semakin tertarik saya membaca tulisan Profesor Neil Walker dan Profesor Nico Krisch. Kalian bisa cari sendiri profil kedua ilmuwan ini dan fokus kajian mereka.
Kembali ke Indonesia
Saya mendapatkan ijazah dan sertifikat nilai pada 21 Agustus 2015. Sehari sebelum saya menyampaikan LPJ selaku Ketua PPI India. Mungkin karena aktif di organisasi juga yang menjadi salah satu latar belakang saya tidak begitu produktif, dibanding saat masih S1 yang punya delapan tulisan dan dua publikasi jurnal. Saya kembali ke Indonesia pada 14 September, transit di Kuala Lumpur pada 15 September, dan sampai di Jember pada 16 September. Ada waktu sekitar enam bulan saya menganggur. Saya memanfaatkan waktu itu dengan mengembangkan institusi pendidikan di rumah sekaligus proses penyetaraan ijazah S2. Bagi lulusan luar negeri, mereka harus menyetarakan ijazahnya ke Kementerian Pendidikan. Proses ini membutuhkan waktu sekitar tiga minggu. Lumayan lama bukan? Pada akhir Desember 2015 saya mendapatkan salinan penyetaraan ijazah tersebut.
Memulai Menjadi Dosen
Terhitung 01 Maret 2016, saya memulai berkarir menjadi dosen. Status saya adalah dosen non-pns. Ada yang menyebutnya juga dosen dengan perjanjian kerja. Saya baru efektif mengajar pada September 2016. Dari sini, saya mulai belajar banyak hal baru. Saya merasa kebingunan untuk menentukan fokus riset saya. Saya berusaha menyesuaikan topik penelitian dengan matakuliah yang saja ajarikan ke mahasiswa. Saya membutuhkan waktu satu tahun untuk kemudian bisa menghasilkan satu tulisan. Tulisan saya pertama kali saat menjadi dosen adalah book chapter berjudul, “Pancasila dalam Arus Liberalisasi Pangan Pascareformasi.”
Kemudian, saya ikut konferensi nasional dengan topik HAM di Palu. Kemudian saya perbaiki tulisan tersebut dan baru pada tahun 2019 diterbitkan dalam Journal of Indonesian Legal Studies (JILS). Sebelumnya, saya memasukkan tulisan ini ke Arena Hukum, jurnal hukum Universitas Brawijaya. Keputusan Editor-in-Chief menolak tulisan tersebut. Saya memperbaiki tulisan tersebut dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. JILS dan Arena Hukum sama-sama jurnal terakreditasi nasional dengan peringkat SINTA 2. Mungkin seperti itulah kebijakan ataupun selera pengelola jurnal. Hehee…
Pada akhir 2017, saya menerbitkan satu tulisan book review. Tulisan ini sekaligus menjadi penutup 2017 saya dengan menghasilkan dua tulisan.
Tertarik Dunia Riset dan Publikasi
Bisa dibilang, 2018 adalah awal kebangkitaan saya menekuni riset dan publikasi. Pada saat yang bersamaan, Universitas Jember, kampus di mana saya bekerja, juga semakin giat untuk mendukung dosen-dosennya meneliti dan mempublikasikan hasil penelitiannya. Salah satunya adalah program kelompok riset. Saya bergabung dengan kelompok riset dan mempublikasikan hasil penelitian. Selain itu, saya juga mengajukan hibah penelitian pemula, selain juga menulis tulisan mandiri. Pada 2018, saya hanya memiliki satu tulisan, namun terbit di jurnal internasional. Sebenarnya pada tahun ini saya sudah menghasilkan beberapa tulisan, namun masih dalam tahap submission dan baru terbit pada 2019.
Pada akhir 2018, saya mengikuti program visiting scholar, ke Nagoya University. Saya memelajari regulasi bioteknologi di Indonesia. Saya menghasilkan satu tulisan dan saya sudah memasukkan tulisan tersebut ke jurnal internasional terindeks scopus.
Pada 2019, saya memiliki enam publikasi ilmiah. Empat berbahasa Inggris dan dua berbahasa Indonesia. Saya juga sudah submit sepuluh tulisan pada jurnal nasional dan internasional. Semuanya masih dalam tahap review. Mungkin, publikasinya baru pada 2020.
Semuanya butuh proses, bos…
Melamar Beasiswa
Sepanjang 2019, saya mencoba melamar tiga beasiswa. Beasiswa tersebut antara lain ditawarkan oleh Pemerintah Selandia Baru, Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia (LPDP). Saya merasakan pengalaman ini mirip selepas saya selesai S1 dan mengejar beasiswa luar negeri. Bedanya, kondisi finansial saya jauh lebih baik dibanding saat saya mengejar beasiswaa S2 sekitar tujuh tahun silam.
Beasiswa pertama yang saya lamar ditawarkan oleh Pemerintah Selandia Baru. Hasilnya, bahkan saya tidak eligible mendapatkan beasiswa tersebut. Mungkin saya salah klik waktu itu. Entaha kenapa dalam pengumumannya tertulis saya tidak eligible.
Beasiswa kedua adalah yang ditawarkan oleh Pemerintah Australia. Saya mempersiapkannya bahkan dengan mengikuti kursus persiapan IELTS di Surabaya. Selama dua bulan di akhir pekan saya ke Surabaya untuk mengambil kursus IELTS Preparation. Hasil IELTS saya bisa digunakan untuk apply beasiswa Australia Awards. Namun, sayangnya, saya tidak lolos seleksi, tidak masuk shortlisted candidates untuk tahap wawancara.
Kemudian, saya mencoba melamar beasiswa LPDP. Saya mengikuti program gelombang kedua. Saya lolos seleksi administrasi, seleksi tulis, hingga proses wawancara. Wawancara adalah proses akhir dalama rangkaian seleksi ini. Hasilnya, saya tidak lolos. Ada beberapa hal yang saya perlu melakukan evaluasi sekaligus saya banyak belajar dari sini, khususnya setelah proses wawancara saya yang berlangsung sekitar satu jam, atau bahkan lebih dari satu jam. Tampak sekali, tiga pewawancara berusaha ingin saya meyakinkan mereka bahwa saya adalah kandidat yang tepat mendapatkan beasiswa ini. Sayangnya, saya memang tidak update CV saya dalam formulir LPDP (itu formulir sekitar enam tahun lalu saat mau coba apply LPDP tahun 2013). Saya juga tidak membawa dokumen pendukung seperti publikasi ilmiah saya, termasuk salinan komunikasi saya dengan calon supervisor saya melalui email.
Saya akan mencoba kembali untuk apply beasiswa pada 2020.
Mengelola Jurnal
Sejak 2017, saya mendapatkan tugas mengelola jurnal, LENTERA HUKUM. Jurnal ini didirikan pada 2014 dan hanya terbit sekali. Pada awal 2017 saya bersama tim memulai menghidupkan jurnal tersebut. Saya merasa ini adalah tugas yang cukup berat. Namun, saya percaya bahwa seiring dengan berjalannya waktu, semua akan dapat teratasi. Setelah dua tahun berlalu, pada awal 2019, jurnal ini terakreditasi SINTA 3. Beberapa bulan kemudian, sejak edisi July 2019, seluruh artikel diterbitkan dalam bahasa Inggris. Kami berusaha untuk meningkatkan peringkat jurnal ini ke dalam SINTA 2. Selanjutnya, secara bertahap, kami berusaha jurnal ini nantinya akan menjadi jurnal internasional bereputasi.
Selain itu, mulai 2020 ini, karena rekam jejak saya dalam mengelola LENTERA HUKUM, saya akhirnya mendapat tugas baru mengelola dua jurnal baru. Jurnal baru tersebut adalah Indonesian Journal of Law and Society dan Jurnal Ilmu Kenotariatan. Berarti, saat ini, ada tiga jurnal yang harus saya kelola selain semakin padatnya tugas akademik lainnya.