Haruskah Mahasiswa Menulis di Jurnal Ilmiah?

Oleh: Muhammad Bahrul Ulum *

***

(Dimuat di Radar Jember 16 Februari 2012)

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kembali menggoyang perguruan tinggi di Indonesia lantaran kebijakan publikasi ilmiah, tak terkecuali bagi sivitas akademika di Jember, khususnya Unej.

Tak tanggung-tanggung, bagi mahasiswa, baik S1, S2 maupun S3 diwajibkan menghasilkan publikasi ilmiah sebagai syarat kelulusan. Melalui Sudat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 125/E/T/2012, bagi mahasiswa untuk dapat lulus S1 wajib mempublikasikan makalah yang diterbitkan di jurnal ilmiah, untuk S2 berupa makalah yang diterbitkan jurnal tingkat nasional dan mahasiswa S3 berupa makalah yang diterbitkan di jurnal internasional. Ketentuan ini akan diberlakukan terhitung untuk lulusan setelah Agustus 2012.

Jika kita mencermati surat keputusan tersebut, gebrakan ini dikeluarkan bukan tanpa alasan. Pasalnya, jumlah publikasi ilmiah Indonesia hanya sepertujuh dari negara tetangga yang dahulu pernah menjadi muridnya sendiri, Malaysia. Artinya, jika keadaan demikian dibiarkan dan berlarut-larut tanpa ada kebijakan yang mampu memompa semangat menulis karya ilmiah, Indonesia bakal semakin tertinggal jauh di antara negara-negara sebaya.

Memang tidak dapat dipungkiri, bagi kalangan mahasiswa, produktivitas tulisan yang mengedepankan budaya literatur kian merosot seiring kemajuan teknologi informasi, khususnya media internet. Fasilitas internet yang seharusnya difungsikan sebagai instrumen pembangun budaya literatur, justru yang terjadi berfungsi sebagai lahan empuk melakukan plagiarisme berkat fasilitas copy-paste.

Karenanya, tentu ini merupakan sebuah gagasan cemerlang yang sudah sepatutnya mendapat apresiasi. Di samping sebagai bukti penghargaan yang tinggi terhadap dunia penulisan dan penelitian, terobosan ini juga meningkatkan budaya akademis yang sarat dengan pengkajian keilmuan secara ilmiah.

Pada akhirnya pun, akan melahirkan generasi intelektual yang tidak sekedar mampu membaca dan mengkaji permasalahan dengan mengandalkan lisan. Lebih dari itu, mereka tentu juga mampu memformulasikan gagasan berbentuk tulisan.

Tidak hanya itu, dengan publikasi ilmiah, gagasan tersebut bakal lebih bermanfaat ketimbang tidak melalui jalur publikasi. Berbagai potensi yang melekat pada setiap mahasiswa pun akan lebih optimal melalui kewajiban publikasi ini.

Mereka akan terus dituntut peka membaca, baik literatur maupun permasalahan lingkungan sekitar sebagai bahan sebuah penelitian. Tanpa membaca, tidak akan didapat suatu tulisan yang bagus dan layak disebut sebagai hasil penelitian. Karenanya, kebijakan ini nantinya akan memberikan efek domino bagi dunia pendidikan tinggi terhadap dunia penelitian dan menempatkan kemampuan analitis berdampingan dengan kemampuan menulis.

Kendati demikian, terobosan ini tidak lepas dari protes dan menuai berbagai kritikan. Mengingat pemberlakuan kebijakan tersebut tinggal enam bulan. Waktu yang cukup singkat ketika melihat rendahnya kemampuan mahasiswa dalam menulis secara ilmiah. Bahkan memunculkan pertanyaan tentang kelayakan tulisan mahasiswa untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah.

Sekiranya kita memang perlu sadar akan kenyataan, bagi mereka yang tidak sering menulis sebuah analisis dan sintesis seperti karya ilmiah, menulis bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena mereka tidak sekedar membutuhkan waktu untuk belajar menulis yang baik dan benar, melainkan juga kemampuan melahap buku-buku yang akan menjadi landasan analisisnya.

Sekilas, terobosan tersebut sangatlah bagus. Tetapi jika kita benar-benar menilik realitas mahasiswa saat ini, pemberlakuan kebijakan pada bulan Agustus nanti dapat juga dinilai masih prematur. Tidak dapat dipungkiri, hingga saat ini pengembangan kemampuan menulis bagi mahasiswa masih sangat rendah. Kalaupun ada, pengembangan tersebut hanya terbatas bagi mereka yang memang memiliki keterampilan menulis atau mereka yang mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di bidang penulisan dan penelitian.

Sepak terjang UKM di bidang penulisan dan penelitian pun masih berfluktuasi. Karena memang kegiatan menulis masih sangat jarang dilirik mahasiswa sebagai pilihan yang cocok dengan bakat mereka. Sehingga tidak heran, misalnya UKM pada beberapa fakultas di Universitas Jember masih sepi peminat atau bahkan berdiri dalam keadaan hidup dan mati.

Jika melihat keadaan demikian, bukan mustahil, kebijakan tersebut justru akan secara kompak menggempur mahasiswa yang akan segera lulus. Mereka di samping memiliki kewajiban menulis skripsi yang dinilai sebagai ‘momok’ di akhir jenjang pendidikan sarjana, menulis jurnal ilmiah justru akan menjadi beban yang sangat berat yang harus ditunaikan.

Meskipun demikian, tidak lantas kita menuntut Dikti untuk memundurkan pemberlakuan kebijakan tersebut. Jika demikian, berarti kita akan mundur beberapa langkah dari hasrat bangsa untuk maju dan sejajar dengan negara lainnya. Bagaimanapun, gagasan ini harus ditunaikan sesuai dengan ketentuan dalam surat edaran tersebut, walaupun di tengah melempemnya kemampuan mahasiswa dalam menulis.

Memang jangka waktu enam bulan bukanlah waktu yang panjang untuk merealisasikan kebijakan tersebut. Karenanya surat edaran tersebut harus segera direspon, tidak hanya bagi para mahasiswa sebagai penulis jurnal ilmiah nantinya, namun juga pihak-pihak terkait pada tingkat fakultas maupun universitas.

Tentu setiap mahasiswa tidak ingin mahasiswanya berlarut-larut terkendala masalah publikasi ilmiah. Begitu pula universitas tidak mungkin rela para mahasiswanya tetap bertahan diri hingga menumpuk menunda kelulusannya karena tidak memiliki publikasi ilmiah.

Bagi mahasiswa, masih ada waktu untuk terus belajar dan berbenah. Bukan sebaliknya, justru mengecam kebijakan tersebut karena tidak berbanding lurus dengan kemampuannya dengan pandangan kebijakan yang prematur. Karena lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk dalam kegelapan. Kini mereka harus pandai-pandai memanfaatkan waktu agar memiliki publikasi ilmiah, atau menundanya yang berarti menunda kelulusannya.

Jika jumlah jurnal ilmiah dirasa masih kurang, universitas dapat menggandeng seluruh fakultas untuk membuat jurnal baru yang diterbitkan universitas. Bisa juga, masing-masing fakultas memiliki jurnal ilmiah yang mampu menampung tulisan para mahasiswanya yang sudah mendekati waktu udzur.

Tidak berhenti di situ, publikasi ilmiah tersebut lebih elegan jika diunggah pula di situs website universitas. Di samping memberikan manfaat bagi dunia penelitian, langkah tersebut sebagai salah satu indikator untuk menjelajah pada ranah World Class University (WCU). Webometrics misalnya, memberikan penilaian peringkat universitas melalui banyaknya jumlah publikasi ilmiah situs domain perguruan tinggi.

*  Penulis adalah alumni Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) Universitas Jember

.

Tulisan Terkait:

Leave a Comment