Indonesia Berpotensi Defisit Ilmuwan Muda

Pada awal tahun 2016, hasil penilaian Programme for International Student Assesment (PISA) 2015 turut menyoroti pendidikan Indonesia. Hasil penilaian menunjukkan adanya peningkatan keterampilan dan performa pelajar di Indonesia. Meskipun, peningkatan tersebut sangat tipis.

Dari 72 peserta penilaian, yang dinilai dalam kurun waktu tiga tahun, Indonesia mendapatkan peringkat 63 dari 69 negara peserta survei di seluruh dunia. Sebenarnya ada 72 peserta, namun tiga di antaranya adalah peserta kategori ekonomi, yaitu Shanghai-Beijing-Jiangsu-Guangdong (China), Hong Kong (China) dan Buenos Aires (Argentina).

Pencapaian Indonesia ini tentu perlu diapresiasi. Karena, hasil survei 2015 ini menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan dengan survei sebelumnya pada 2013 yang menempatkan Indonesia pada peringkat 71 atau peringkat nomor dua dari belakang. Walaupun pada 2009 sebenarnya Indonesia sudah berada pada peringkat 57 dunia.

Secara spesifik penilaian juga menunjukkan performa siswi (girls) jauh lebih baik dibandingkan dengan performa siswa (boys) pada subjek yang dinilai, yaitu sains, literasi dan matematika. Secara signifikan, siswi memiliki kemampuan yang jauh lebih baik daripada siswa dalam komponen membaca.

Dari itu semua, peningkatan performa siswi berkontribusi dalam peningkatan peringkat Indonesia pada survei 2015. Namun, secara keseluruhan, performa siswa-siswi dalam bidang matematika, sains dan membaca merupakan yang paling rendah di antara negara peserta PISA dengan melihat posisi Indonesia pada peringkat nomor tujuh dari bawah di seluruh dunia.

Lebih lanjut dari survei PISA 2015 ini menerangkan adanya ketidakmerataan pendidikan. Ketimpangan kualitas sekolah yang dinilai menjadi permasalahan besar yang tengah dihadapi Indonesia. Rendahnya nilai sains yang dicapai pelajar yang kurang beruntung secara ekonomi adalah yang menjadi alasan nilai Indonesia pada PISA 2015 ini masih buruk. Ini dipertegas dengan hasil laporan yang menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi nomor sembilan di dunia dalam hal tingginya tingkat ketimpangan pendidikan nasional.

Hal lebih menarik dari survei ini adalah siswa-siswi Indonesia tidak tampak adanya keinginan menjadi ilmuwan. Justru, hanya jumlah kecil pelajar, baik dari kalangan mampu dan kurang mampu secara ekonomi, yang berharap dapat berkarir di bidang sains. Hal ini jauh berbeda dengan negara-negara yang mendapatkan nilai PISA di mana pelajarnya memiliki keinginan yang sangat besar menjadi ilmuwan. Di antara sedikitnya minat pelajar Indonesia yang ingin berkarir dalam bidang sains tersebut, para siswi jauh memiliki keinginan yang lebih besar menjadi ilmuwan dibandingkan para siswa.

Apa yang dinilai dalam PISA?

Perlu diketahui sebelumnya, hasil PISA 2015 ini melibatkan sekitar 540,000 pelajar (mewakili sekitar 29 juta pelajar yang saat itu berusia 15 tahun) dari 72 peserta survei baik negara dan ekonomi di seluruh dunia.

PISA berfokus pada penilaian mata pelajaran utama sekolah, yaitu sains, membaca dan matematika. Survei ini tidak menilai apakah pelajar pada usia 15 tahun dapat menghasilkan pengetahuan dalam mata pelajaran yang dinilai. Melainkan, PISA menilai apakah pelajar sudah mendapatkan pengetahuan dan keterampilan kunci yang mendukung partisipasinya dalam masyarakat modern saat ini.

Hal yang mendasari penilaian PISA adalah bahwa ekonomi modern menghendaki setiap individu bukan tentang apa yang mereka tahu. Melainkan, ekonomi modern menghendaki apa yang dapat setiap individu lakukan dengan pengetahuan mereka.

Hasil penemuan akan menjadi sumber referensi bagi pembuat kebijakan tentang pengetahuan dan keterampilan pelajar di negaranya dibandingkan dengan apa yang ada di negara lain. Ini juga membantu negara-negaa di dunia untuk memelajari kebijakan dan praktik yang diterapkan pada negara-negara peserta survei, khususnya negara yang mendapatkan peringkat tertinggi

Berdasarkan hasil survei ini, negara dengan peringkat lima besar antara lain Singapura, Jepang, Estonia, Taiwan dan Finlandia.

Apakah pelajar di negara maju jauh lebih baik?

Hasil PISA menunjukkan bahwa pelajar di negara dan ekonomi yang maju atau pendapatan yang tinggi (high-income countries and economies) tidak selalu berbanding lurus dengan membaiknya performa pendidikan yang dicapai. Vietnam adalah salah satu contohnya yang mendapatkan peringkat 8 yang tentu jauh lebih tinggi daripada peringkat yang dicapai oleh Australia maupun negara-negara OECD.

Saat negara dan ekonomi dengan pendapatan tinggi (dengan pendapatan perkapita di atas USD 20,000) memiliki pendanaan yang lebih di bidang pendidikan, apa yang tampak menjadi hal yang paling utama dalam hal kualitas dan pemerataan pendidikan adalah manajemen pendanaan pendidikan dan kualitas proses pembelajaran yang diterapkan.

Hasil PISA menyatakan:

“Ketika para guru seringkali menjelaskan dan mendemonstrasikan ide-ide ilmiah serta mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan siswa, siswa dengan nilai tinggi dalam sains dan siswa yang suka dengan pertayaan inquiry tampak terinspirasi untuk bekerja pada bidang yang berkaitan dengan sains.”

Dalam kasus Indonesia, sebenarnya sudah didukung dengan pendanaan yang cukup. Dana yang dialokasikan untuk bidang pendidikan mencapai 20% dari jumlah anggaran nasional.

Hasil PISA 2015 menunjukkan bahwa Indonesia menempati pada posisi keempat dari 69 negara peserta dalam hal besaran pendanaan di bidang pendidikan. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa sekolah-sekolah di Indonesia memiliki apa yang seharusnya dibutuhkan. Faktanya, banyak sekolah di daerah masih sangat buruk dalam penyediaan infrastruktur yang menunjang terwujudnya pendidikan yang berkualitas.

Seberapa penting bagi Indonesia?

SD dan SMP merupakan dasar dalam pembangunan sektor pengetahuan. Keberadaannya memiliki peran vital untuk menyiapkan pelajar Indonesia memiliki keterampilan analitis dan berpikir kritis. Keduanya merupakan keterampilan yang wajib dimiliki setiap ilmuwan dalam semua bidang penelitian.

Hasil PISA menunjukkan bahwa Indonesia tengah berusaha keras untuk mengejar ketertinggalan. Tanpa disertai keterampilan-keterampilan tersebut pada pendidikan dasar, universitas-universitas di Indonesia tidak akan mampu mengembangkan dan memperkuat program-program penelitian yang berkualitas, khususnya peningkatan kualitas penelitian yang bertaraf internasional.

Hal ini yang membuat cukup pelik bagi Indonesia dalam proses transisi menuju pengetahuan berbasis ekonomi (knowledge-based economy). Ironisnya, masih terdapat sangat sedikit aktivitas ilmuwan dan peneliti Indonesia yang mampu menyediakan pengetahuan dan hasil penelitiannya untuk mendukung pemerintah dalam menyusun kebijakan strategis.

Hasil PISA 2015 menunjukkan hanya terdapat peningkatan yang tipis terhadap keterampilan siswa Indonesia pada usia 15 tahun. Ini tidak berbanding lurus dengan jumlah dana yang diinvestasikan oleh pemerintah untuk pendidikan.

Pada Agustus 2015, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional meyelenggarakan Konferensi Internasional tentang Praktik dan Kebijakan Pembangunan Terbaik. Michael Woolcock selaku pakar pembangunan sosial pada Bank Dunia dalam pidatonya menyampaikan bahwa negara-negara dengan pendapatan menengah seperti Indonesia telah berhasil menyelesakan “development 1.0 problems”. Banyak sekola telah didirikan, peraturan perundang-undangan dan kebijakan sudah dirumuskan, guru telah direkrut dalam jumalh yang besar dan data telah dikumpulan dan dianalisis.

Solusi atas permasalahan yang muncul dari hasil PISA 2015 bukan pada pendanaan. Melainkan, kita perlu menggunakan dana tersebut untuk lebih efisien. Ini yang disebut dengan development 2.0 problem yang masih belum terdapat cetak biru maupun solusi inti dalam menyikapi permasalahan ini.

Tampaknya, Indonesia membutuhkan ribuan jawaban kecil yang sebisa mungkin dirumuskan dalam bentuk penelitian yang fokus menyikapi permasalahan-permasalahan ini. Penelitian tersebut perlu mengidentifikasi permasalahan inti, sistem apa yang sudah berjalan dan apa yang belum berjalan serta kenapa bisa begitu.


Artikel ini ditulis oleh Arnaldo Pellini, Research Fellow, Overseas Development Institute. Artikel ini pertama kali diterbitkan pada The Conversation. Baca selengkapnya di sini.

Artikel dalam blog ini hasil terjemahan dari: Indonesia’s PISA results show need to use education resources more efficiently

Leave a Comment