Memaknai Mawapres

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, pemilihan Mahasiswa Berprestasi atau yang lebih populer dengan nama Mawapres selalu digelar setiap tahunnya. Begitu juga dengan pemilihan Mawapres di Universitas Jember (UNEJ), pada minggu ini adalah babak final dari pemilihan Mawapres tingkat universitas. Adalah babak untuk menentukan siapa dan dari fakultas apa mahasiswa terbaik UNEJ itu terpilih. Namun, hal yang paling penting untuk direnungkan kembali adalah, apa yang sesungguhnya engkau cari wahai Mawapres?

Hingga kini pun pertanyaan itu tetap hinggap dalam ubun-ubun saya. Paling tidak, pertanyaan ini sebetulnya telah muncul lama dibenak saya, sejak sekira dua tahun yang lalu. Tepatnya, ketika saya menjadi salah satu kandidat dalam pemilihan Mawapres UNEJ di tahun 2011 silam.

Saya pun masih mengingat segar pernyataan saya waktu itu. Ketika di hadapan juri, saya menyatakan bahwa meskipun saya anak desa dan dari SMA Swasta, namun saya adalah salah satu dari sekian pemuda yang beruntung mendapatkan ilmu di bangku pendidikan tinggi. Sama beruntung dengan anak kota dan yang dari SMA negeri juga, sama-sama berstatus mahasiswa di sini.

Dari status itu, setidaknya mahasiswa memiliki tiga tanggung jawab besar dan wajib untuk ditunaikan, apalagi ketika sebagai Mawapres. Adalah tidak sekadar tanggung jawab intelektual, melainkan juga ada tanggung jawab moral dan sosial.

Lebih lanjut, bahwa dialektika lebih penting ketimbang retorika. Namun, tindakan, kepedulian dan saling berbagi tidak kalah lebih penting ketimbang ide, gagasan ataupun wacana. Karena kebutuhan pemahaman yang mengakar rumput atau grass root understanding dan keterlibatannya pada masyarakat lah yang menjadi alasan kenapa mahasiswa itu harus tetap ada. Karenanya, saya meyakini bahwa saya adalah bagian dari perwujudan alasan itu.

Dari pernyataan itu, sama halnya saya telah berjanji. Sedangkan janji wajib ditepati. Dari itu pula, hingga kini saya masih merasa berdosa di tengah sulitnya memegang dan menerapkan janji itu di dalam masyarakat.

Hingga dari situlah yang membuat saya untuk bertekad mengabdikan diri sebagai guru sukarela di kampung halaman, sesaat setelah lulus. Sekalipun saya adalah seorang sarjana hukum, namun saya berkeyakinan bahwa dengan menjadi guru itulah yang sesungguhnya lebih dibutuhkan oleh masyarakat.

Kenyataan pun memperhadapkan saya pada banyak sekali ketimpangan sosial yang berkelindan dengan miskinnya ilmu pengetahuan. Dari situ, saya baru semakin sadar bahwa masyarakat membutuhkan pengertian dan perhatian. Sesuatu yang tidak pernah saya dapatkan ketika mahasiswa sekalipun sebagai Mawapres.

Bagi saya, seolah itu sekaligus menjadi cambuk bagi dunia ke-Mawapres-an saya dan mungkin bagi teman-teman Mawapres yang lain. Bahwa dunia akademis terasa semakin menjauhkan para kaum intelektual muda dengan ranah sosial yang menekankan pada kepedulian sosial.

Dari pengalaman itu, hingga kini, atas ke-Mawapres-an itu, saya masih merasa malu. Saya merasa tidak pantas. Saya merasa malu dan tidak pantas karena ke-Mawapres-an saya hanya cenderung diukur melalui standar minimal IPK, prestasi kejuaraan, organisasi, karya ilmiah dan kemampuan bahasa asing.

Merasa malu karena ketika digunakan parameter yang lebih substantif dan yang lebih berdampak konkret, ternyata masih banyak mahasiswa lain yang lebih berprestasi ketimbang saya.

Artinya, kriteria berkontribusi secara nyata terhadap masyarakat dalam penilaian Mawapres seharusnya juga menjadi prioritas utama. Bagi saya, mereka-mereka yang berkontribusi nyata dengan suka rela itulah yang sepatutnya lebih layak disebut berprestasi dan selayaknya mendapatkan penghargaan Mawapres.

Saya pun juga tertegun, ketika kenyataan hadir di hadapan kita bahwa sudah berapa banyak Indonesia melahirkan kader intelektual? Namun apa kontribusi nyatanya terhadap perubahan Indonesia yang singnifikan? Justru tidak jarang kader-kader tersebut lebih sering terjebak sebagai mesin intelektual yang masih sangat miskin kepedulian. Mereka justru melalaikan tujuan pendidikan itu sendiri.

Betapa tidak, Mawapres yang diharapkan dan apa yang nyata terjadi masih jauh panggang dari api. Mawapres masih belum menyentuh titik terbawah dari kelompok masyarakat.

Memang, sepintas saya bisa merasakan bangga dan membanggakan karena mendapatkan pengakuan intelektual dari Mawapres itu. Namun, apakah hakikat dari intelektual itu membutuhkan pengakuan? Begitu halnya, apakah realitas yang kita hadapi dalam masyarakat itu bersifat intelektual belaka?

Beberapa pernyataan tersebut di atas membuat saya berpikir ulang. Dari situ, saya merasakan ada paradoks terhadap Mawapres.Kenyataan pada zaman saya hingga kini, tentang apa yang disebut dengan Mawapres seolah hanya mengedepankan aspek formal dan bersifat seremonial. Sedangkan hakikat dan maknanya semakin teraibkan.

Bukti lain yang tidak terbantahkan juga adalah, hampir juga tidak pernah ada rencana dan tindak lanjut konkret yang konstruktif dan kontribusi yang berkesinambungan terhadap masyarakat oleh Mawapres.

Jika demikian, perlahan akan kita saksikan bersama dengan samakin jelas. Bahwa nomenklaktur Mawapres akan memiliki pengertian yang baru, yang berbelok dari tujuan dasar dan kehilangan makna dan substansinya, apabila setali tiga uang untuk sekadar mendongkrak apatisasi mahasiswa demi mengejar gengsi. Sedangkan kontribusi yang dibutuhkan masyarakat justru telah menjadi prioritas yang kesekian kalinya karena sudah dianggap tidak terlalu penting dan berpengaruh dalam penilaian Mawapres.

Perlahan tapi pasti, mau tidak mau paradigma mahasiswa pun juga akan berubah. Mahasiswa akan semakin enggan untuk saling berbagi dan membangun masyarakat. Mahasiswa semakin terkalahkan oleh pragmatisme dan apatisme semua itu.

Selanjutnya, rekam jejak mahasiswa pun akan ikut berbelok arah, menjadi off the track. Mereka juga tidak akan lagi murni berperan sebagai agent of change and social control, karena sudah terpolarisasi kepentingan demi penghargaan intelektual semata. Jika demikian sudah mengakar kuat, mahasiswa yang think globally and act locally pun semakin langka dapat ditemui pada sudut-sudut kampus di negeri ini.

Dari perenungan di atas, pertanyaan yang mendasar bagi Mawapres adalah, apa yang sesungguhnya kau cari? Bukankah dengan menjadi Mawapres semakin besar pula tanggung jawab dan amanah yang harus ditunaikan? Begitu juga, bukankah dari titipan ilmu itu kita senantiasa dituntut untuk bijaksana? Lantas, sebijaksana apakah kita dan seberguna apakah Mawapres itu bagi kita jika tidak membawa misi untuk perbaikan sosial sedikitpun yang konkret bagi bangsa ini?

Namun demikian, saya yakin setiap orang memiliki tujuan masing-masing menuju kebaikan dan memiliki jalan masing-masing menuju tujuan tersebut, begitu juga dengan para Mawapres. Dari semua itu, yang paling penting dalam proses menuju kebaikan tersebut adalah tidak pernah berhenti untuk selalu memberikan kontribusi terbaik untuk negeri ini.

Leave a Comment