Menekan Laju Fundamentalisme Agama

Rangkuman

Pancasila telah meletakkan prinsip dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Keberadaan Pancasila sebagai Weltanschauung termanifestasi dalam prinsip religius, kemanusiaan yang adil, nasionalisme, demokrasi dan kesejahteraan. Keharmonisan antar umat beragama harus dibangun dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya tersebut dilakukan dengan menumbuhkan budaya sadar Pancasila sehingga terwujud  kerukunan antar umat beragama di Indonesia.

Pengantar
Belum lama ini, tepatnya pada tanggal 12 September 2010 muncul fenomena memprihatinkan antar umat beragama, yaitu pertikaian antara Umat Kristen dengan Umat Islam di Bekasi. Pertikaian ini terjadi ketika terdapat pelarangan oleh sekelompok warga setempat yang mengatasnamakan Umat Islam terhadap Jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dalam menjalankan ibadah agama. Namun sayangnya, justru fenomena tersebut diperparah dengan penusukan terhadap Pendeta HKBP Bekasi.

Fenomena tersebut  merupakan indikasi bahwa sampai saat ini belum mampu terwujud kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Ketika fundamentalisme agama menguat, krisis keharmonisan antar umat beragama pun terjadi. Pertikaian ini semakin mempercepat laju keruntuhan semangat persatuan yang seharusnya dipengang erat oleh setiap warga negara Indonesia. Bahkan, pertikaian tersebut sering diwarnai dengan aksi kekerasan sehingga mengancam kelangsungan hidup  antar umat beragama di Indonesia.

Pertikaian ini tidak hanya berimplikasi pada permasalahan agama saja, tetapi juga telah masuk pada permasalahan sosial, hukum dan ekonomi di Indonesia. Di samping itu, insiden memprihatinkan tersebut sebagai laju reduksi atas prinsip yang diletakkan dalam konsep demokrasi Indonesia. Pertanyaan kemudian, bagaimana kita menyikapi fenomena tersebut? Apakah keberadaan Pancasila mampu membangun kerukunan antar umat beragama?

Pancasila Menjawab Tantangan dan Perpecahan Umat Beragama
Untuk menganalisis permasalahan tersebut, perlu dilakukan beberapa pendekatan, baik dengan pendekatan historis, filosofis dan normatif.  Secara historis bahwa pada era menyongsong kemerdekaan Indonesia, telah disepakati oleh para pendiri bangsa (the founding parents) bahwa Indonesia dibangun atas dasar keanekaragaman, baik suku, agama, ras dan budaya sehingga melahirkan perbedaan yang mendasar dalam elemen masyarakat. Namun, eksistensi keanekaragaman yang melahirkan perbedaan tersebut harus disikapi bijaksana dengan semangat kebangsaan dan menjunjung tinggi prinsip persatuan sehingga terwujud kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa di Indonesia.

Dalam pendekatan filosofis, Indonesia merupakan negara yang semata-mata bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya.   Konsep kesejahteraan ini dibangun dari beberapa prinsip dasar yang terkandung di dalam Pancasila sebagai norma dasar (grundnorm). Prinsip dasar tersebut berupa prinsip religius, kemanusiaan yang adil, persatuan, demokrasi dan kesejahteraan.

Menarik dari fenomena pertikaian antar umat beragama di atas, sekiranya tidaklah keliru dan bahkan sangat perlu untuk merevitalisasi nilai-nilai dalam Pancasila. Hal demikian dikarenakan Bangsa Indonesia mulai kehilangan falsafah dasarnya. Dalam tataran empiris, terdapat pula distorsi pemahaman dan penafsiran menyimpang terhadap falsafah dasar yang disebut dengan Pancasila. Mengutip peryataan Presiden Soekarno, bahwa Pancasila merupakan Weltanschauung sebagai fundamen filsafat, pikiran, jiwa dan hasrat yang menyatu dalam kemerdekaan Indonesia.

Pancasila tidak dapat dipahami dengan melihat sebagian prinsip yang tertuang dalam masing-masing sila. Namun, pemahaman tersebut harus dilakukan secara integral dari sila pertama hingga sila kelima. Pemahaman integral ini dibutuhkan sehingga tercapai pemahaman yang holistik sehingga dapat terhindar dari perbedaan dan perpecahan dalam masyarakat Indonesia.

Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip diartikan bahwa dalam kehidupan berbagsa dan bernegara harus meletakkan dasar keagamaan sehingga tercapai insan yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan masing-masing individu. Namun, pemahaman terhadap prinsip religius di atas harus seimbang dan sejalan dengan sila selanjutnya.

Di tengah menguatnya fundamentalisme agama, maka sila kedua meletakkan dasar Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Artinya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama kehidupan beragama harus tercipta kemanusiaan, keadilan dan toleransi antar umat beragama dalam membangun masyarakat beradab, termasuk tidak boleh adanya diskriminasi dan megganggu jalannya ibadah agama yang diyakini oleh agama lain sebagaimana pertikaian yang berujung dengan penusukan Pendeta HKBP Bekasi.

Selanjutnya, sila ketiga adalah Persatuan Indonesia. Dalam pembangunan masyarakat Indonesia yang beradab, dibutuhkan kebulatan tekad dan persatuan dengan tanpa dilandasi permusuhanan karena perbedaan agama. Sedangkan demokrasi dan kesejahteraan sebagai manifestasi sila keempat dan kelima akan mudah terwujud jika prinsip sebelumnya dapat dipahami selaras dengan semangat persatuan dan jiwa kebangsaan.

Jiwa kebangsaan ini berkaitan erat dengan paham kebangsaan (nasionalisme). Paham ini meletakkan dasar bahwa hakikat dari Indonesia adalah perbedaan yang dibagun dengan bingkai persatuan. Dalam bingkai persatuan ini tidak boleh ada diskriminasi dan pembedaan yang mengatasnamakan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Di samping itu, dengan nasionalisme, maka akan tercipta keharmonisan antar umat beragama dengan tetap menjalankan ibadah agama masing-masing dengan penuh toleransi.

Ketika berbicara mengenai kebebasan beragama, tidak terlepas pula dengan permasalahan HAM. Dalam konsep HAM dikenal hak yang dapat dikurangi dan ditunda penikmatannya dalam keadaan tertentu (derogable rights) dan hak yang tidak dapat ditunda dan dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Article 18 International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR)  yang telah diratifikasi Indonesia menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hak ini menjadi hak dasar dan kuat bahwa hak beragama dan berkeyakinan ini termasuk non derogable rights atau hak yang tak dapat dikurangi dalam keadan apapun.

Kebebasan beragama mempunyai karakter yang berbeda dalam instrumen hukum internasional, yaitu antara forum internum dan forum externum. Implementasi dari kedua unsur tersebut juga berbeda, karena hak beragama sebagai forum internum tidak dapat dibatasi oleh siapapun juga, termasuk negara. Sedangkan forum externum dapat dibatasi semata-mata untuk melindungi kebebasan dan hak dasar orang lain.  Pembatasan atas forum externum dilakukan semata-mata untuk menjaga kepentingan hak-hak dasar orang lain dengan mengacu pada prinsip proporsionalitas. Tujuannya agar hak-hak orang lain terlindungi, khususnya agama lain yang berstatus sebagai minoritas.

Hal ini sejalan dengan ketentuan hukum yang mengatur mengenai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  sebagai konstitusi Indonesia, antara lain:

  1. Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 menentukan, “Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”.
  2. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”.
  3. Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
  4. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menentukan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum”.
  5. Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menentukan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Ketentuan di atas mengukuhkan pengakuan konstitusional bahwa hak beragama merupakan hak yang melekat pada setiap warga negara tanpa adanya pengecualian, pembatasan dan pengurangan dalam keadaan apapun. Di samping itu, dengan diletakkan dasar jaminan kebebasan beragama, maka negara berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi dan menegakkan pemenuhan hak beragama sebagai hak yang dijamin konstitusi (constitutional rights) dalam mewujudkan keharmonisan dan ketentraman di Indonesia.

Secara normatif, kebebasan dalam konsep hukum Indonesia tidak dapat diartikan bebas yang sebebas-bebasnya sehingga melanggar hak asasi orang lain. Konstitusi menentukan bahwa kebebasan dapat dibatasi sepanjang melanggar hak konstitusi orang lain. Sebagaimana dalam UUD 1945 disebutkan sebagai berikut:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Bahkan, umat Islam perlu mengkaji dan memahami ketentuan Alquran karena Islam mengakui kebebasan beragama dengan tanpa kekerasan.  Sedangkan dalam pandangan empirik, kiranya fundamentalisme agama kurang memahami dan merevitalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan ketentuan dasar dalam UUD 1945. Implikasinya, pertarungan antar warga negara seringkali terjadi dengan membawa identitas agama tertentu.

Oleh karena itu, mari kita tumbuhkan budaya sadar Pancasila melalui revitalisasi dan penyegaran nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Kemudian, menjadikan Pancasila sebagai kunci untuk mengatasi dan menghindari perpecahan dalam rangka mewujudkan Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang harmonis.

Kesimpulan
Permasalahan seputar kehidupan antar umat beragama seringkali mengemuka dan tak luput dari pertikaian dan perselisihan. Fenomena ini semakin memanas sehingga mengancam  keutuhan persatuan Bangsa Indonesia. Dalam kondisi yang memprihatinkan seperti ini, diperlukan sebuah ikhtiar melalui ‘khittah’ dengan menumbuhkan budaya sadar Pancasila dan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang telah meletakkan prinsip dasar keragaman dengan menjunjung tinggi persatuan.

Daftar Pustaka
Al Khanif. 2010. Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia. Yogyakarta: Laksbang Mediatama
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
————, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International  Convenant on Civil and Political Rights
Islam. Alquranul Karim
Mahfud MD, Moh. (et. al.). 2009. Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif. Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

.

Artikel Terkait:

Leave a Comment