Prioritas Antara Kebutuhan dan Keinginan

economyApakah dengan berpenghasilan sebesar Rp1,2 juta masih bisa untuk hidup di Jakarta? Rata-rata pasti menjawab, kurang.

Dalam lain kesempatan, apakah bagi yang sudah berpenghasilan bulanan Rp 50 juta bisa hidup layak di Jakarta? Lagi-lagi jawabannya cukup mengejutkan, masih ada yang merasa kurang.

Bagi yang memiliki penghasilan Rp1,2 juta merasa kurang. Sementara yang berpenghasilan Rp 50 juta pun juga mengatakan demikian. Jadi yang benar, yang mana?

Bahwa sebenarnya angka-angka di atas hanya permainan pikiran kita saja. Besar kecilnya sebuah angka tergantung siapa yang memandang.

Kita lihat realitasnya, karyawan yang hanya berpenghasilan Rp 1,2 juta per bulan menurut logika sederhana, sangat masuk akal jika mengatakan kurang. Dengan tingkat inflasi semakin tinggi, kebutuhan pokok manusia (sering disingkat sembako) yang terus naik, dengan uang Rp 1,2 juta, yang juga untuk membiayai anak dan isteri tentulah sangat jauh dari layak. Apalagi bagi yang tinggal di kota besar seperti Jakarta.

Tetapi realitasnya, mayoritas kaum urban yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makasar dan Medan penghasilannya lebih sedikit tidak jauh dari UMP. Bagaimana mereka mau hidup layak, jika hanya mengandalkan penghasilan Rp 1,2 juta tersebut?

Sekarang kita lihat titik lain, yang berpenghasilan Rp 50 juta. Kenapa sampai mengatakan kurang juga.

Jika kita lihat lebih dalam, ternyata gaya hidupnyalah yang membuatnya selalu kurang. Semakin tinggi tingkat dan status sosial seseorang, kecenderungan yang terjadi di masyarakat, biasanya untuk memenuhi “keinginan lingkungan” dan melakukan penyesuaian terhadap hal-hal baru di sekitarnya.

Jika dahulu hanya punya mobil sederhana, dengan meningkatnya penghasilan, maka ada keinginan untuk mengganti dengan mobil mewah, walau dengan cara mencicil.

Jika dahulu makan hanya di lingkungan kantor atau usahanya, ketika sudah memiliki kenaikan penghasilan yang signifikan, maka berburu rasa lidah dari satu restoran ke restoran kelas atas lain menjadi rutinitas harian yang mengasyikkan. Begitupun dengan lifestyles (gaya hidup) yang lain.

Tidak salah jika kita memiliki itu semua, tetapi alangkah baiknya jika keinginan tersebut dibarengi dengan kebutuhan yang memang sangat-sangat diperlukan.

Fokus pada kebutuhan inilah yang seharusnya menjadi prioritas, bukan pada sekedar keinginan. Karena kita tidak pernah tahu, betapa cepatnya perubahan itu terjadi, semisal krisis moneter pada tahun 1998.

Tidak ada yang menyangka akan terjadinya gelombang krisis besar-besaran di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hanya masyarakat yang bijaklah yang benar-benar merasakan dampak positifnya untuk lebih memenuhi kebutuhan ketimbang keinginan sementara.

Revolusi Paradigma, dari Input menjadi Output
Rata-rata masyarakat kita cenderung melakukuan pola yang sama dari hari ke hari. Setelah lulus sekolah atau kuliah biasanya ingin mencari kerja. Entah dengan alasan ingin mencari pengalaman atau memang sudah meniatkan “asumsi orang tua”. Terlepas dari itu, bahwasanya menjadi karyawan adalah puncak dari status sosial.

Biasanya ketika melamar pekerjaan, selalu melihat dari ijazah, kemampuan bahasa asing, tes potensi akademik yang bersifat kuantitatif. Kalaupun akhirnya di terima bekerja, banyak yang bekerja karena sudah tidak ada pilihan lain, atau memang yang dibutuhkan adalah keterampilan tertentu. Sehingga mulai banyak yang menyesuaikan dengan realitas yang ada.

Banyaknya sarjana yang tidak sesuai dengan jurusan atau bidang studi yang digeluti selama kuliah adalah realitas hidup di negeri tercinta ini. Ini yang dinamakan paradigma dari input. Apa yang kita punyai bukan yang kita inginkan.

Dalam konteks keuangan pun begitu, kita hanya melihat apa yang ada di kantong kita saat ini, bukan apa yang di luar kantong. Misalnya jika kita ingin memiliki sebuah laptop seharga Rp 7 juta. Sementara di kantong kita hanya ada uang Rp 1 juta, maka kita akan mengurungkan niat kita untuk membeli laptop tersebut.

Tetapi jika kita dengan paradigma output atau berfikir dari akhir (starting with the end), maka kita akan mendayagunakan laptop tersebut (walau dengan cara cicilan) untuk bisa menjadi sesuatu yang produktif, misal menghasilkan tulisan dari laptop tersebut. Dengan tersebut dimuat di media massa, akan dapat menyelesaikan sedikit demi sedikit utang produktif kita bahkan bisa menghasilkan berkali lipat dari harga laptop tersebut.

Paradigma inilah yang seharusnya kita miliki untuk dapat menentukan mana yang prioritas kebutuhan, bukan sekedar keinginan semata.

“Siapa yang berjalan dengan keyakinan positif (positive believe), akan sampai ke tujuan”.

Oleh:
Hari ‘Soul’ Putra
MRE Financial & Business Advisory Community Specialist.

Sumber: www.okezone.com

.

Artikel Terkait:

Leave a Comment