Review: Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Diulas oleh : Muhammad Bahrul Ulum
Judul Buku : Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Pengarang : Tere Liye
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Hlm. : 264 halaman
Tahun Terbit : November 2011
Harga : Rp. 43.000,00

.

Seperti apa yang sudah kukatakan beberapa hari yang lalu di komentar status Facebook, aku bakal mengulas tentang isi novel berjudul, “Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin” karya Tere Liye. Dan sekarang kalian bisa menyimak janjiku itu setelah beberapa paragraf di bawah ini. 😀

Judul yang penuh makna dan meninggalkan pesan bagi siapa saja yang membacanya. Bahkan bagi siapa saja yang sekedar tahu atau mendengarkan judulnya saja, tanpa perlu mereka membaca keseluruhan isi buku ini.

Pelajaran yang tak kalah penting dalam buku ini, bahwa dalam hidup itu sebenarnya simpel. Semua ada masanya, dan masa itu yang akan mengantarkan setiap nasib menuju kenyataan, entah baik maupun buruk. Entah nantinya nasib itu akan membuat kita suka maupun duka, berikut manis-pahitnya.

Yang jelas, dari perjalanan hidup yang kita rengkuh, selalu diajarkan untuk terus menyalakan lilin, bukan mengutuki hidup dalam kegelapan. Bukan menyalahkan angin yang merenggut daun berguguran, tetapi sikap menerima. Bahwa daun yang jatuh meski akan terurai, suatu saat jika tiba masanya akan melahirkan daun-daun baru yang jauh lebih segar. Daun yang jatuh akan terbang bersama tingginya masa depan, akan lahir harapan yang menjanjikan masa depan cerah.

Buku itu bercerita tentang perasaan yang tak sempat tersampaikan. Rasa yang sudah tertanam bertahun-tahun, tapi hanya terpendam dan terus didiamkan. Berarti, setiap orang dalam hidupnya berhak untuk mencintai dan dicintai. Dan perlu keberanian untuk mengungkapkan isi hati itu, entah apapun hasilnya.

***

Kali pertama melihat buku itu, kalian akan melihat tulisan di atas. Buku berwarna hijau itu ilustrasi daun coklat, belakangnya seperti ada kertas lusuh berwarna cokelat, sebagai alas daun itu. Dan di dalam daun itu tertulis judul, “DAUN YANG JATUH TIDAK PERNAH MEMBENCI ANGIN”. Sedangkan di bawah daun itu tertulis nama penulisnya, Tere Liye.

Berbeda halnya di bagian paling belakang buku, sampul belakang buku itu ada empat bait kalimat, seperti puisi yang menurut saya isinya sedikit hambar. Kukatakan hambar karena aku tidak tahu maksud tulisan itu sebelum membaca sebagian isi cerita dalam buku ini. Tapi yang jelas, sebenarnya itu sangat memiliki makna jika kita mampu memaknainya.

Di bagian atas dan bawah bait itu ada dua daun hijau yang sudah gugur tanpa tangkai. Yang di atas lebih besar daripada yang di bawah. Mungkin dua daun itu adalah ilustrasi dua anak kecil dalam cerita, Tania dan Dede, adiknya.

Buku yang diterbitkan Gramedia ini tidak tipis ataupun tebal, 256 halaman isi. Cetakan pertama pada bulan Juni 2010, dan hingga kini sudah cetakan kelima yang diterbitkan bulan November 2011. Buku ini tanpa kata pengantar ataupun daftar isi. Jadi, kalian akan langsung dapat membuka isi buku itu, tanpa tahu kira-kira nanti kontennya seperti apa.

Sebelum lebih jauh tentang kontennya, saya akan menceritakan beberapa bagian yang penting. Ada Tania, Dede, Ibu, Om (Kak) Danar (dia), Kak Ratna, Anne, Miranti, Jhony Chan, Adi, Sophi. Ya, setidaknya merekalah ‘aktor’ dalam buku ini, yang akan kalian temui dalam lembaran buku yang memiliki cerita ragam konflik perasaan ini.

Yang paling kuat adalah peran Tania, Om Danar, Kak Ratna, Dede dan Ibu. Dan lebih spesifik lagi, antara Tania dan Kak Danar. Kak Danar yang dalam buku ini banyak disebut dengan dia atau seseorang, adalah yang menjadi malaikat keluarga Tania yang hampir pupus harapan. Entah seperti apa jadinya mereka (Tania dan Dede) tanpa dia.

Ini adalah cerita dari rekaman perasaan dan pikiran Tania. Awal cerita itu pukul 20.00 di lantai dua toko buku terbesar di kotanya. Ia kembali membongkah luka dan bahagia dalam hidupnya. Cerita yang diiringi rinai hujan ini pula semakin membuat hanyut, menenggelamkan perasaan para pembacanya.

***

Buku ini bercerita tentang dua pengamen kecil, yang putus sekolah selama tiga tahun. Semenjak ayah mereka meninggal, yang waktu itu Tania masih berumur delapan tahun dan Dede tiga tahun, kehidupan keluarganya kalang kabut. Mereka tidak lagi bisa mengontrak rumah, karena sudah menunggak tiga bulan, tidak mampu membayar. Akhirnya, mereka hanya kuasa tinggal di rumah kardus di bantaran sungai, tinggal bersama ibunya.

Hari-harinya dihabiskan untuk mengamen, tidak lain untuk mendapatkan sesuap nasi, untuk bisa bertahan hidup, untuk menyambung sepotong masa depan yang samar-samar. Menjadi anak jalanan adalah sesuatu yang niscaya bagi keduanya. Semua dilakukan untuk membahagiakan Ibunya, yang semenjak kematian ayah, Ibu sering sakit. Kata orang-orang, Ibu sakit lebih pada psikisnya.

Pada suatu malam, saat mengamen juga, kaki Tania tertancap paku jamur di dalam kereta. Wajar kalau benda tajam mudah sekali menancap di kaki mereka, karena mereka mengamen tanpa alas kaki, mereka telanjang kaki, tanpa sandal yang bisa melindungi kakinya dari benda tajam. Tania meringis kesakitan, darah pun mengalir. Untung saja, ia ditolong seorang Om-om penumpang bus itu, dan memberikan sapu tangan untuk menyapu darah dan membalut luka di kaki tersebut.

Keesokan harinya, mereka kembali mengamen. Bukan karena kaki Tania sudah sembuh, tapi karena mengamen adalah kewajiban mereka jika ingin tetap bertahan hidup. Mereka mengamen bersama kembali, meski Tania masih berjalan sedikit pincang, menahan sakitnya kaki yang semalam tertusuk paku jamur itu.

Kembali mengamen di bus, dan kembali bertemu dengan Om itu lagi. Dan Om itu memberikan hadiah kepada mereka berdua, sepasang sepatu dengan kaos kakinya. Malam itu mereka lebih akrab dan mengenal namanya Danar, dipanggil Om Danar. Setelah itu, Om Danar mengantarkan Tania dan adiknya pulang ke rumahnya (untung sekali Om tersebut baik sekali dan untung sekali tidak memiliki maksud buruk kepada mereka).

Setelah Om Danar berbincang-bincang dengan Ibu mereka, akhirnya Ibu memutuskan Tania dan Dede kembali bersekolah berkat dukungan Om Danar. Meski begitu, merea berdua memutuskan siangnya, setelah pulang sekolah hingga waktu Magrib ia gunakan tetap untuk mengamen.

Akhirnya, Ibu memutuskan untuk mengontrak rumah. Dan itu semua tentu berkat dukungan Om Danar. Ibu pun sudah sembuh dari sakitnya. Ibu memulai usahanya, berjualan kue. Bisnisnya maju dan menjanjikan. Meskipun begitu, Om Danar tetap memberikan uang kepada Ibu. Sebenarnya Ibu menolak, karena usahanya sudah mulai maju, bisa mencukupi kebutuhan keluarga dari usaha jualan kue itu. Dan akan menjadi ucapan bijaknya di halaman-halaman berikutnya, Om Danar selalu mengatakan, “Ditabung saja, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok”.

Dari sinilah, rasa antara Tania dan Om Danar bersemi. Dari kisah rumah kardus di bawah bantaran sungai. Itu hanya dirasakan oleh Tania, tersirat dalam perasaannya dalam cerita ini. Tidak ada penjelasan ataupun penegasan bagaimana perasaan Om Danar.

Usia Dede enam tahun, Tania sebelas tahun dan dia dua puluh lima tahun. Sebagai hadiah Dede berhasil menyelesaikan Lego, permainan yang cukup sulit yang dulu dihadiahkan Om Danar ke Dede, dia memutuskan memberi hadiah denga jalan-jalan di Dunia Fantasi.

Selain mengajak Tania, Dede dan Ibu, dia mengajak Kak Ratna. Belakangan diketahui, ternyata Kak Ratna adalah pacar dia. Belakangan pula, Tania ‘protes’ untuk memanggil Om Danar dengan Kak Danar. Entah karena menganggap dia sudah menjadi bagian dari keluarganya atau ingin membuat hubungan antara mereka lebih dekat menjadi hubungan antara adik dan kakak. Selengkapnya silakan baca sendiri (hehe…).

Beberapa waktu kemudian, Ibu sakit parah, usaha kuenya terhenti. Dan akhirnya ibu meninggal. Kini kedua anak itu yatim piatu, menjadi garis penghabisan keluarga, tidak memiliki siapa-siapa lagi. Hanya ada Kak Ratna dan Kak Danar.

Dari sinilah muncul kalimat, “Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”, dia yang mengatakannya untuk membujuk Tania dan Dede pulang dari pemakaman Ibunya. “Ketahuilah Tania dan Dede… Daun yang jatuh tak pernah membenci angin… Tidak sekarang, esok lusa kau akan tahu artinya… “.

* * *

Setelah kematian Ibunya, Dede dan Tania tinggal bersama dia. Dan akhirnya dia membeli tanah dan membangun rumah, dan tinggal bersama mereka.

Setelah lulus SD, Tania berhasil mendapatkan ASEAN Scholarship, beasiswa SMP di Singapura, lulus dengan nilai terbaik kedua. Setelah itu, Tania kembali mendapatkan beasiswa SMA di Singapura, lulus dengan nilai terbaik. Lalu, melanjutkan kuliahnya di National University of Singapore dengan nilai terbaik.

Kak Danar juga sudah menjadi GM Marketing di perusahannya. Dede kuliah di universitas yang dekat dengan rumahnya, walaupun kata Tania sebenarnya Dede layak mendapatkan satu kursi universitas di negara Tania belajar.

Rasa cemburu Tania semakin menjadi-jadi. Apalagi ketika mendapatkan kabar langsung dari dia dan Kak Ratna kalau mereka akan menikah. Tania sangat terlihat merasa cemburu yang luar biasa. Sebenarnya banyak sekali cowok yang suka sama Tania, dari cowok yang Tania anggap menyebalikan, Jhony Chan, hingga cowok yang rela menjadi ‘tukang angkut’ Tania, Adi.

Tapi entah, perasaan itu sangat kuat untuk dia. Saat ulang tahu Tania yang ketujuh belas (sweet seventeen), dia berencana bersama Dede merayakan ulang tahun itu di Singapura, tentu ini menjadi sesuatu yang sangat spesial. Ketika dia hendak pulang di Bandara Changi, memberikan sebuah liontin T untuk Tania. Dan belakangan diketahui ternyata liontin itu akan sempurna jika disatukan dengan liontin milik dia, liontin D. Liontin yang disatukan dengan gambar bunga dan dua daun Linden, daun yang berbentuk hati.

Di akhir buku ini, semua potongan cinta itu terjawab di bawah pohon Linden mereka bertemu. Yang sebenarnya dia merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan Tania. Dia sama dengan Tania, tidak berani mengatakan, mengungkapkan isi hatinya, dan terlanjur memutuskan cinta yang sebenarnya dia tidak mencintai Kak Ratna, yang dinikahinya. Saat itu usia tania dua puluh dua, dia tiga puluh enam. Dan bagaimanapun, daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Sekarang Kak Ratna sudah hamil empat bulan, dan Tania harus kembali ke Singapura.

Dia memang amat sempurna, tabiatnya, kebaikannya, semuanya. Tapi dia tidak sempurna. Hanyalah cinta yang sempurna. (Ini kutipan yang terdapat di akhir halaman buku ini).

Leave a Comment