Memahami Islam dan Teks Dalam Alquran

Artikel ini adalah intisari dari diskusi rutin yang diselenggarakan oleh PPI Hyderabad dengan Pembicara Bapak Ilyas, Dosen STAIN Salatiga.

Diskursus mengenai Islam dan Alquran masih terus menuai perdebatan, meskipun Alquran sebenarnya sudah selesai. Artinya proses turunnya Alquran sudah selesai sehingga tidak akan dijumpai lagi ayat Alquran yang baru sebagai rujukan atau sumber hukum Islam. Namun, perdebatannya terus bergulir hingga kini terkait dengan isi yang terkandung di dalamnya.

Pasca selesai turunnya Alquran, muncul realitas keagamaan yang beragam yang mengacu pada Alquran dan Alhadits sebagai referensi atau justifikasi, baik oleh kelompok keagamaan antara golongan kanan dan kiri atau antara liberal dan fundamentalis, yang semua dari mereka mengacu berdasarkan pada teks Alquran dan Alhadits. Terutama terkait dengan masalah politik, perempuan bisa menjadi presiden, juga menggunakan Alquran dan Alhadits sebagai sandaran hukumnya. Intinya munculnya perbedaan yang beragam tersebut tergantung pada bagaimana seseorang memahami apa yang terkandung di dalam Alquran dan Alhadits.

Pada prinsipnya, cara dalam memahami Alquran terdiri dari dua metode, yaitu metode literal atau tekstual dan metode kontekstual. Pemahaman Alquran yang literal dan kontekstual ini sleanjutnya juga berimplikasi pada perilaku keagamaan, karena agama turun tidak hampa budaya, namun di dalamnya sarat dengan budaya.

Apa yang kita ketahui dan kita akui bersama bahwa Islam turun di Makkah, Arab Saudi. Padahal Arab tidak hampa budaya. Artinya, di Arab juga dijumpai budaya, termasuk dalam penggunaan bahasa Arab. Artinya, karena Alquran diturunkan di Arab, sehingga bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab. Selanjutnya bahasa Arab menjadi representasi budaya dalam Alquran. Karenanya, dapat dikatakan bahwa bahasa adalah cerminan dari budaya.

Jika kita ingin melihat bagaimana melihat budaya Pra-Islam juga bisa dilihat dari bahasanya pula. Jika memahami Alquran secara komprehensif, harus memahami konteks sosial geografis, historis dan budaya di mana kitab suci tersebut diturunkan. Kita juga perlu memahami bahasa, berikut bagaimana memahami teks keagamaan dengan menggunakan disiplin keilmuan, dengan melihatnya berdasarkan perspektif sosiologis, sejarah sosio-linguistik, dan ushul fiqh.

Ayat Alquran menjadi sulit diterima ketika memahami secara tekstual. Apa yang terjadi jika kemudian ayat Alquran menjadi sulit diberlakukan, sehinga ayat perlu dilihat dalam kontekstual. Sebagaimana dalam Surat Albaqarah 282 yang menegaskan bahwa jika tidak ada dua orang lelaki, maka boleh dengan seorang lelaki dan dua orang perempuan yang menggantikan satu orang lelaki. Di sini, eksistensi perempuan adalah separuh laki-laki. Artinya, satu perempuan tidak bisa menjadi saksi dalam pengadilan, padahal hakikat kedudukan keduanya harus diperlakukan sama.

Pertanyaannya apakah Islam memperlakukan diskriminatif terhadap perempuan? Artinya, ayat ini tidak bisa diterapkan secara kontekstual. Bahkan jika ditelaah bahwa sesungguhnya Islam ingin merevolusi zaman jahiliyah. Karena, sebelum Islam ada, perempuan tidak mendapatkan posisi yang lebih baik dari laki-laki.

Ayat Alquran yang diturunkan pada zaman nabi ini pada waktu itu sudah dianggap revolusioner. Revolusioner itu lahir karena yang semula di tanah Arab tidak menghargai perempuan, dan pasca turunnya ayat demi ayat dalam Alquran menguatkan posisi perempuan sehingga menjadi terhormat.

Dari sini bahwa dalam menafsirkan ayat perlu menggunakan double movement dengan kembali ke masa lampau untuk mengetahui konteks sosial, budaya dan geografis. Karenanya, dalam Ilmu Alquran ada asbabun nuzul dan nasikh mansukh. Kalau kita memahami tekstual, justru kemudian yang terjadi bisa jadi Ilmu Hadits tidak digunakan lagi. Jadi kita dalam memahami teks hukum Islam tidak dapat secara kaku atau rigid.

Pada saat Islam datang, pada abad ke-5, justru di negara-negara barat masih belum menghargai perempuan. Sedangkan Islam sudah selangkah lebih maju karena sudah menghargai perempuan yang diakui dalam Alquran. Hal yang perlu dicatat di Arab waktu itu kenapa dalam beberapa segi perempuan tidak sepenuhnya mendapatkan posisi yang sama dengan laki-laki karena keadaan di Arab pada masa itu masih terbelit dalam patriarki, selain itu juga tidak jarang ditemui perampok padang pasir. Karenanya, perlindungan bagi perempuan perlu diberlakukan demi perempuan itu sendiri, terlebih ketika perempuan hendak keluar dari rumah sendirian.

Bahkan di awal masa Islam datang, Umar sempat mengubur anaknya karena perempuan waktu itu dianggap menjadi beban. Karenanya, mari kembali pada ayat Alquran yang telah disebutkan di awal bahwa kita bisa membayangkan Nabi Muhammad datang dengan Islam yang menentukan kesaksian boleh dua perempuan dan seorang laki-laki. Di situ sangat logis, karena diasumsikan perempuan tidak memiliki pengetahuan yang cukup, terlebih tentang hukum perdata. Karenanya, di situ yang dilihat adalah persamaan substansi pengetahuannya.

Begitu juga tentang warisan, bahwa sebelum Islam dating, ketika zaman jahiliyah, perempuan tidak berhak atas warisan. Namun, setelah Islam datang, perempuan berhak atas warisan sebagaimana ditentukan dalam hukum Islam. Di sini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa di balik pengaturan itu terdapat ideal moral.

Selanjutnya, persaksian sebagaimana dijelaskan di atas tentang perempuan juga tentang masalah teknik untuk mewujudkan ideal moral. Bisa jadi, jika dihadapkan pada realitas saat ini, kesaksian perempuan bukan lagi antara 2:1 lagi (dua perempuan dan satu laki-laki), karena bahkan mereka antara laki-laki bisa sama. Dengan menafsirkan demikian lantas tidak berati meninggalkan Alquran, karena alasan tersebut masih tetap bersandarkan pada Alquran melalui penafsiran yang tanpa meninggalkan moral.

Contoh lain, saat Umar menjadi khalifah, pasukan Islam berperang di Irak dan pasukan tersebut mendapatkan kemenangan, sehingga seluruh kekayaan menjadi hak pasukan yang menang. Di sini ada surat tentang pembagian ghonimah. DItentukan bahwa  setengah 1/5 dari harta rampasan adalah untuk dana sosial dan sisanya untuk pasukan berperang. Tetapi Umar tidak menentukan seperti itu, karena kalau tanah itu dibagi lantas bagaimana dengan nasib penduduk Irak di situ, mengingat tanahnya menjadi orang-orang yang menang berperang itu. Akhirnya, tanah itu dikenakan pajak dan dibayarkan kepada pasukan.

Ketika kekhalifahan Umar ibn Khatab, juga, mualaf tidak mendapatkan jatah zakat setelah Islam berada pada posisi yang sudah kuat. Pertimbangannya, meskipun apabila mualaf hendak melawan, posisi Islam sudah kuat. Begitu halnya tentang talak. Talak jatuh hanya sekali pada zaman nabi, sedangkan pada zaman Umar ibn Khatab diakomodasi talak tiga. Ini artinya menafsirkan Alquran tidak harus secara tekstual. Imam Makhtufi, pada zaman Imam Hambali, juga pernah mengatakan bahwa ketika ada benturan antara kemaslahatan dan teks, maka yang didahulukan adalah kemaslahatan.

Ditinjau dari linguistik, bahasa sebagai representasi budaya. Misalnya, bahasa Jawa yang terkait erat dengan adanya hierarki atau strata, contoh kecilnya penyebutan kamu dengan tiga tingkat yaitu koe, sampean dan panjenengan. Ini juga menunjukkan masyarakat jawa, pada saat terbentuknya bahasa tersebut, masih dalam keadaan sangat feodal.

Contoh lainnya tentang masyarakat di Arab. Tentang gender, perempuan di Arab dianggap sebagai second sex. Di dalam masyarakat Arab berarti ada hirarki antara perempuan dan laki-laki. Hal demikian juga tidak terlepas dari kebahasaan di mana dalam bahasa Arab memiliki jenis kelamin. Karenanya, ketika kita ingin membuat kalimat ada perbedaan penggunaan kata antara laki-laki dan perempuan.

Di situ, di dalam Alquran, terdapat dialektika antara wahyu dan budaya. Ketika tidak memperhatikan kebahasaan Arab dalam menafsirkan Alquran akan terjebak pada bias gender. Juga, seringkali pula sering terjebak dalam bias pada Arabisme, padahal itu sesungguhnya bukan Islam, melainkan adalah budaya Arab. Misalnya dalam pemakaian gamis, di mana itu bukan representasi Islam. Karena, bukan hanya nabi Muhammad dan pengikutnya yang memakai gamis, melainkan Abu Jahal juga memakai gamis.

Intinya, cara kita menafsirkan Alquran juga akan berimplikasi pada perilaku keagamaan kita. Orang yang menafsirkan Alquran secara tekstual menjadi fundematal. Sedangkan orang yang menafsirkan Alquran secara kontekstual menjadi liberal apabila keduanya mereka tidak melakukan rasionalisasi. Karena itu, rasionalisasi dibutuhkan karena gabungan rasionalisasi dan kontekstual akan menghasilkan perilaku moderat dalam kehidupannya.

Leave a Comment