Presiden Tak Perlu Keluarkan Perpu
Setelah penangkapan dan penahanan Akil Mochtar, sontak membuat dunia peradilan di Indonesia muram durja. Berbagai kalangan turut merasa gelisah, dari saran 8 hakim yang lain sebaiknya mengundurkan diri, restorasi kewenangan KY mengawasi perilaku Hakim MK, hingga rencana Presiden mengeluarkan Perpu.
Terlalu naif jika penyikapan keadaan tersebut juga turut menyeret 8 Hakim MK lainnya agar mengudurkan diri dari jabatannya akibat ulah Ketua MK. Wacana pengunduran 8 Hakim MK yang lain ini sama sekali tidak berdasar. Setidaknya ada tiga alasan terkait hal ini.
Pertama, meskipun sebelumnya 8 Hakim MK di bawah pimpinan Akil Mochtar, namun tidak berarti mereka semuanya melakukan hal yang sama dengan dugaan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Ketua.
Hakim MK dalam menjalankan kewenangan MK berdasarkan pada prinsip independensi. Artinya, meskipun 8 Hakim MK berada di bawah kepemimpinan Akil Mochtar, independensi mereka tidak bisa sama sekali diintervensi oleh Ketua dalam memutus perkara yang sedang MK tangani.
Kedua, pengunduran diri 8 Hakim MK akan berdampak pada hukum acara yang sedang berjalan di MK. Pengunduran ini bertalian dengan nasib perkara yang sedang ditangani oleh MK. Sedangkan Hukum Acara MK memiliki batas maksimal putusan harus dijatuhkan. Tentunya, ini justru akan semakin memperkeruh keadaan.
Ketiga, 8 Hakim MK masih memungkinkan untuk melaksanakan kewenangan MK. Sebagaimana Pasal 28 UUMK menyebutkan bahwa dalam keadaan luar biasa pemeriksaan hingga putusan perkara dapat dilakukan dalam sidang pleno oleh 7 Hakim MK.
Lebih lanjut, ketika Ketua berhalangan, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua. Sedangkan dalam hal keduanya (Ketua dan Wakil Ketua) berhalangan, sidang pleno dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh Hakim MK.
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa sesungguhnya UUMK sudah mengakomodasi kekosongan hakim dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan MK. Sekaligus, pasal ini menegasikan persepsi bahwa MK sedang dalam keadaan genting.
Sekiranya bukanlah alasan yang berdasar apabila Presiden mengeluarkan Perpu karena menganggap MK dalam keadaan genting. Sebab, masih belum tampak atau ditemukan unsur dari frasa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana seharusnya perpu itu dikeluarkan. Karenanya, tidak tepat juga jika selanjutnya alasan pengawasan dan mekanisme seleksi Hakim MK dipermasalahkan oleh Presiden lantas diatur dalam Perpu tersebut.
Pertama, pengawasan perilaku Hakim MK yang sebelumnya menjadi kewenangan KY telah batalkan dalam putusan MK No. 005/PUU-IV-2006, sehingga KY tidak bisa mengawasi perilaku Hakim MK lagi.
KY hanya bisa mengawasi perilaku Hakim MK kecuali setelah UUD 1945 diamandemen dengan mengatur kewenangan KY secara ekspilist untuk mengawasi perilaku Hakim MK. Sedangkan pengaturan melalui amandemen UUKY, UUMK, UUKK atau bahkan melalui Perpu sama sekali tidak tepat dan tidak memiliki landasan hukum. Sebab, kedudukan UU dan Perpu di bawah Putusan MK yang merupakan tafsir dari UUD 1945.
Apabila tetap diatur kewenangan KY dalam mengawasi perilaku Hakim MK, tentu ini akan meninggalkan sebuah preseden buruk dalam dunia penegakan hukum di Indonesia. Di samping akan lahir sebuah hukum baru yang melawan putusan atas tafsir konstitusi, juga akan merobohkan wibawa badan peradilan konstitusi itu sendiri.
Jika demikian jalan yang akan diambil oleh Presiden, sama halnya jika lebih baik MK dibubarkan. Sebab, dengan mengabaikan Putusan MK berarti Presiden menganggap bahwa sesungguhnya MK sebagai lembaga pengawal demokrasi sudah tidak ada lagi.
Kedua, tidak ada korelasi antara penangkapan dan penahanan Akil Mochtar dengan pengaturan seleksi Hakim MK melalui Perpu. Artinya, perbaikan sistem penyeleksian Hakim MK tidak linier dengan kebutuhan sekarang, mengingat hampir semua Hakim MK baru saja dilantik. Di sini semakin jelas bahwa unsur kegentingan memaksa semakin kabur dan terlalu dipaksakan.
Ketiga, inkonsistensi Presiden antara rencana pengeluaran perpu dan proses seleksi hakim yang baru saja Ia laksanakan. Seperti kita lihat bersama, bahwa Presiden baru saja menetapkan Patrialis Akbar sebagai Hakim MK menggantikan Achmad Sodiki.
Dalam proses penetapan Patrialis, justru Presiden enggan menggunakan tata cara yang telah digariskan UUMK. Sebaliknya, Patrialis ditetapkan dengan proses yang tertutup. Tentu, ini sangat paradoks dengan rencana kebijakan pengaturan kembali seleksi Hakim MK dalam Perpu. Pengangkatan Akil Mochtar oleh DPR juga demikian, tidak melalui proses seleksi sama sekali.
Karenanya, di sini jelas bahwa kesalahan awal yang mengabaikan tata cara yang sebagaimana ditentukan dalam UUMK berpengaruh pada profesionalisme pelaksanaan tugas hakim.
Sekiranya tidaklah tepat jika MK harus dijadikan kambing hitam. Merujuk Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, ditentukan bahwa Hakim MK diajukan oleh DPR, Presiden dan MA. Kata ‘diajukan’ ini selanjutnya ditafsirkan sewenang-wenang oleh ketiga lembaga tersebut sehingga memiliki kuasa penuh dalam penetapan Hakim MK sebelum diputuskan dalam keputusan Presiden.
Kata “diajukan” ini bisa dikatakan sebagai sebuah norma yang kabur karena tidak memiliki kejelasan maksud dan tujuannya, tentang bagaimana proses pengusulan hingga kelayakan untuk menentukan Hakim MK.
Ketentuan pasal ini bisa menjadi celah kewenangan KY untuk menyeleksi Hakim MK, sehingga Hakim MK tidak lagi diseleksi oleh tiga lembaga di atas. Karenanya, kedepan perlu diagendakan amandemen UUMK, UUKY atau UUKK untuk mengatur kewenangan tersebut.
Dengan demikian, biarlah semua proses berjalan dulu, Presiden tak perlu segera merespon dengan mengeluarkan Perpu. Semua prosedur tentang berhentinya Ketua MK sudah diatur dalam UUMK. Meskipun saat ini masih terasa susah, namun satu-satunya cara yang paling tepat untuk melontarkan gagasan pengawasan MK oleh KY adalah melalui agenda perubahan UUD 1945.
.
Artikel Terkait: