Sampai Jakarta, kopor entah kemana

Ternyata masih ada beberapa cerita yang masih belum terangkai dalam kata-kata. Saya ingin sedikit kembali mundur, sekitar satu minggu yang lalu. Iya, tepat satu minggu lalu saya meninggalkan tanah kelahiran, meninggalkan tempat kerja, meninggalkan tanah air, untuk sementara. Perjalanan Jember-Nagoya saya tempuh selama 24 jam. Dalam era saat ini, itu terbilang waktu yang cukup lama!

Rute transit lah yang membuat perjalanan menjadi cukup lama. Rute perjalanan saya adalah Jember, Surabaya, Tangerang, Seoul, Nagoya.

Dari Jember, pukul 11:12 saya berangkat dari Bandara Notohadinegoro, transit di Bandara Juanda, menuju Bandara Soekarno Hatta, Tangerang. Ini lebih cepat 13 menit dari jadwal yang tertera di tiket. Sesampai Bandara Juanda, saya langsung menuju gate keberangkatan menuju Bandara Soekarno Hatta. Saya sampai Tangerang pukul 15:20, sesuai dengan jadwal. Namun, ada satu masalah yang menurut saya cukup besar. Saya sampai Tangerang tidak bersama kopor bagasi saya. Saya tidak menemukan bagasi yang saya bawa dari Jember.

Saat di Bandara Jember, saya sempat bertanya-tanya kepada petugas setempat.

“Nanti saya ambil kopor saya atau cukup bilang saja? Ini transit bukan?” tanya saya.

“Tidak perlu, Mas. Cukup sampaikan saja nanti sesampai Surabaya, karena ini transit. Nanti Masnya akan mendapatkan boarding pas SUB-CGK sesampai Surabaya dan tidak perlu check-in lagi”, jawabnya.

Saya menanyakan demikian karena sempat trauma. Sekitar lima tahun lalu tepatnya, saat saya berangkat dari Surabaya menuju Hyderabad untuk melanjutkan kuliah S2. Saat itu, saya transit di Bandara Changi, Singapura.

Ini pengalaman saya kali pertama keluar negeri. Saya berangkat sendirian menuju Singapura. Sesampai Singapura, saya tanyakan pada petugas setempat. Saaya diwajibkan check-in kembali saat hendak berangkat ke Hyderabad.

Saat sampai Bandara Rajiv Gandhi, Hyderabad, kopor bagasi saya tidak ada, raib.

Awalnya saya masih optimis, menunggu kopor bagasi saya di baggage claim, sebelum keluar menuju pintu kedatangan, yang di sana sudah dijemput oleh seorang pelajar Indonesia. Setelah beberapa menit lamanya, hingga kopor-kopor lain sudah diambil oleh pemiliknya, kopor saya masih tidak keluar. Saya memastikan kembali, menunggu sekitar lima menit lagi sebelum menanyakan keberadaan kopor saya kepada petugas bandara.

Saat melapor, saya diminta menunjukkan identitas, boarding pas, kode bagasi dan ciri-ciri kopor saya, dari warna, bentuk dan motifnya. Petugas yang bersangkutan selanjutnya mencatat di layar komputer dan melakukan percakapan telepon. Saya menunggu hingga kira-kira 20 menit. Setelah itu, petugas tersebut menyampaikan bahwa kemungkinan bagasi tertinggal di Singapura. Saya diberikan dua lembar kertas dan diminta dua atau tiga hari lagi untuk datang kembali ke bandara mengambil kopor yang tertinggal tersebut. Namun, sebelum berangkat, saya diminta untuk menghubungi contact details yang tertera dalam kertas tersebut untuk memastikan keberadaan kopor saya dan apakah sudah sampai bandara atau belum.

Meskipun pada akhirnya saya mendapatkan kopor tersebut, saya merasakan trauma. Oleh karena itu, saat naik pesawat saya selalu menghindari membawa kopor bagasi. Jika harus terpaksa, saya menghindari perjalanan transit untuk membawa kopor bagasi. Saya memilih membeli tiket terpisah agar tidak mengalami kejadian serupa.

Pada akhirnya, tepat tujuh hari yang lalu, saya mengalami hal yang hampir serupa. Seperti sudah saya sampaikan di atas, saya datang sampai Tangerang tidak bersama dengan kopor saya. Saya langsung bergegas untuk menanyakan kepada petugas maskapai yang tidak jauh dari tempat pengambilan kopor, menceritakan apa yang saya alami. Pada tempat klaim bagasi, sudah ada seorang bapak yang mengalami hal serupa yang tidak teridentifikasi di mana kopornya. Saya datang dan menyampaikan seluruh identitas dan tiket saya. Saya juga sampaikan warna dan bentuk kopor bagasi saya.

Saya juga menyampaikan apakah ada kekeliruan yang sejak awal dilakukan oleh petugas bandara di Jember.

Saya memang membeli tiket pergi dan pulang. Saya berangkat dari Jember tanggal 06 Oktober 2018 dan saya akan kembali ke Jember tanggal 27 Desember 2018.  Tampaknya, petugas bandara salah menuliskan kode penerbangan pada kopor bagasi saya. Dari yang seharusnya dituliskan JT 577, dituliskan JT 748. JT 748 adalah kode penerbangan saya saat nanti kembali ke Jember dari Bandara Soekarno-Hatta transit melalui Bandara Juanda tanggal 27 Desember 2018.

Petugas bandara mendekat pada komputer, lalu mengetik beberapa kata di keyboard. Selanjutnya, dia menyampaikan kemungkinan kopor bagasi saya akan sampai pukul 16:00. Pesawat tersebut berkode penerbangan JT 749 yang kemungkinan akan dimuat oleh pesawat tersebut, karena kode penerbangan di bagasi tertulis JT 748.

Oh iya, sebenarnya sesampai Surabaya saya sudah menyampaikan ini saat mengambil tiket transit. Saya sampaikan bahwa sepertinya ada kesalahan petugas bandara di Jember untuk menuliskan kode penerbangan dari yang seharusnya JT 577, tertulis JT 748. Petugas tersebut memperhatikan dan memfoto tiket serta lembaran pengambilan bagasi saya yang tidak sinkron tadi. Saya dipersilakan langsung menuju pintu transit dan permasalahan akan diselesaikan, dia akan mengirimkan ini ke grup Whatsapp, katanya.

Karena bagasi saya tidak kunjung datang, akhirnya perasaan menjadi sedikit gundah. Bayangkan saja, semua, sepatu, celana, baju dan perlengkapan lain, termasuk mie instan dan bawang goreng semua saya taruh di dalam bagasi. Lalu, saat sampai Jepang, saya harus bagaimana? Saya akan sampai Jepang hanya dengan baju dan celana yang saya kenakan serta satu tas ransel yang berisi laptop dan beberapa dokumen penting.

Saya sempat menelpon kakak saya yang tinggal di Tangerang. Saya sampaikan kabar ini. Ternyata kakak saya lagi sibuk, anak sulungnya sedang demam sehingga tidak bisa kemana-mana. Kita berdua bingung, lalu saya sampaikan juga bahwa saya diminta petugas bandara untuk menunggu sampai sekitar pukul 16:30 untuk memastikan selamat tidaknya kopor bagasi saya. Lalu, kakak saya tampak sedikit lega, tapi tidak begitu yakin.

“Kalau nanti tidak ada, solusinya gimana terus le’, tanyanya dengan sedikit cemas.

“Nanti apa beli baju-baju dari Jakarta gitu ya? Untuk pakaian sementar di Jepang”, tambahnya.

“Atau gini, saya coba minta Mas yang membelikan. Sekarang masih di kantor, tapi sepertinya sudah mau pulang. Nanti biar diantarkan ke bandara, berangkatnya ke Jepang masih jam 22:00 kan?” tegasnya dengan mencoba mencari solusi.

“Coba ditunggu aja, nanti aku telpon lagi jam 16:30. Ini aku mau cek kopor dulu, pesawatnya sudah sampai”, jawab saya singkat sambil menutup telepon.

Saya sudah tidak sabar untuk menunggu kabar kopor saya. Saya masih berharap besar kopor saya itu selamat.

Saya dengan sabar menunggu, bediri di antara deretan penumpang lainnya menantikan kopornya masing-masing. Hingga pada akhirnya seluruh kopor sudah mulai habis, kopor saya tidak menunjukkan harapan positif.

Ada seorang petugas menegur, “Ini masih dari Solo Mas. Yang dari Surabaya sebentar lagi, dua tiga menit lagi”.

Di layar memang tertuliskan Kode JT 749 Surabaya. Tapi juga tertuliskan dengan kode lain dari Surakarta. Jadi, satu tempat pengambilan bagasi ini diperuntukkan dua pesawat, dua kode penerbangan.

Saya tetap menunggu. Hingga satu per satu kopor dikeluarkan dari kereta bagasi oleh petugas di balik tembok, yang tampak dari layar LCD. Petugas tampak semakin perlahan mengeluarkan kopor dari dalam kereta, mengeluarkan satu per satu. Setelah sekitar sepuluh kopor dikeluarkan tampak satu kopor yang dari layar LCD tampak merah.

“Bisa jadi kenyataannya nanti orange? Mungkin itu kopor saya” pikir saya.

Setelah keluar, ternyata kopor itu berwarna merah.

Saya kembali melihat dari layar LCD, petugas mengeluarkan bongkahan bagasi satu per satu. Hingga, tampak petugas menggeluarkan kopor berwarna orange. Saya kembali berharap, itu pasti kopor saya.

Saya mendapatkan kopor berwarna orange, dengan kode JBB. Itu kopor saya.

Akhirnya saya mendapatkan kopor saya!

Dengan suka cita, saya kembali menelpon kakak.

“Mbak, alhamdulillah sudah ketemu. Ndak usah dibelikan baju” saya menginformasikan dengan nada gembira.

Saya keluar dari Terminal 1 Bandara Soekarno-Hatta saat matahari sudah tenggelam. Suasana di luar sudah mulai gelap digantikan dengan cahaya lampu-lampu di sekitar bandara. Saya bergegas menuju Terminal 3, terminal saya akan berangkat dari Jakarta menuju Nagoya.

.

Artikel Terkait:

Leave a Comment