Bisa jadi kita tengah mengidap inferiority complex

Apakah kalian pernah merasa kurang percaya diri dan menganggap lebih rendah dari orang lain? Apakah kalian juga pernah berpikir bahwa banyak usaha yang telah dilakukan tetapi tak juga berbuah manis, lalu meragukan kemampuan diri sendiri? Apakah juga pernah menganggap diri kalian tidak mampu mencapai standar tertentu yang dirasa terlalu tinggi?

Atau, di antara kalian pernah berpandangan begini, “Ah kalau si A wajar lah begitu, dia kan memang pinter dan banyak prestasi. Tapi tau gak sih, denger-denger dia berprestasi begitu karena permainan curang. Lalu apa istimewanya coba?”

Jika jawaban kalian adalah iya, bisa jadi kalian tengah mengidap inferiority complex.

.

Apa sih inferiority complex itu?

Secara singkat, inferiority complex adalah suatu keadaan di mana seseorang merasa rendah diri atau tidak mampu memenuhi standar tertentu yang dirasa tinggi. Keadaan ini selanjutnya membentuk cara berpikir untuk memilih posisi aman namun tetap ingin dianggap kompetitif. Salah satu konsekuensinya, seseorang tersebut mencari pembenaran-pembenaran lain secara sepihak untuk mendapatkan pengakuan bahwa dirinya memiliki kehebatan yang perlu dibanggakan. Atau, disertai dengan merendahkan orang lain. Kebanggaan ini seringkali diungkapkan secara berlebihan sebagai kompensasi atas ketidakmampuannya.

Bisa dibayangkan, bagaimana saat inferiority complex telah menguasai alam bawah sadar dengan meyakini persepsi yang sangat tidak kooperatif untuk mendukung kemajuan berpikir kita. Dalam keseharian, misalnya, pemikiran tersebut tecermin dalam perasaan ataupun sikap kurang percaya diri atau merasa lebih rendah dari teman lain dengan anggapan otak temannya moncer. Namun hal ini seringkali berujung adanya seseorang yang merasa tidak mau dianggap tidak lebih baik dari teman lainnya melalui pembenaran-pembenaran tertentu demi meraih pengakuan.

.

Minder atau Inferiority complex?

Minder bisa terjadi pada siapapun. Biasanya, minder muncul karena perasaan kurang percaya diri atau seseorang kurang memiliki persiapan yang baik atas tindakan tertentu sehingga terdapat perasaan kurang dapat melakukan tindakan secara maksimal. Terlebih, misalnya, saat melihat teman-teman lain telah melakukan hal-hal yang dianggapnya sangat baik. Minder bisa sangat fluktuatif, saat kita mempersiapkan semua persiapan dengan baik, biasanya minder dapat diatasi secara perlahan-lahan.

Minder tidak hanya muncul atas dasar kemampuan, intelektualitas atau kecerdasan. Minder juga bisa disebabkan karena hal-hal fisik yang menghasilkan kesimpulan siapa yang lebih baik atau sempurna. Minder masih bisa diatasi dan tidak akan sampai menjadi inferiority complex sepanjang seseorang tidak membawanya pada ranah berpikir hingga alam bawah sadar.

Jika tidak, kalian harus siap-siap. Inferiority complex secara perlahan dapat dengan mudah menyusup dalam diri manusia saat tidak adanya kemampuan mengatasi gejolak pemikiran pribadi. Ketidakmampuan untuk mengendalikan konflik pemikiran ini seringkali berujung pada penghakiman tertentu dalam ranah berpikir dan memengaruhi seseorang dalam pembuatan keputusan.

.

Inferiority complex menjangkit siapa saja?

Inferiority complex dapat menyasar semua kalangan. Saat manusia tidak mampu mengendalikan konflik dalam pemikiran pribadinya, kurang referensi atau terjebak pada cerita tunggal, setiap orang rawan terjangkit penyakit ini. Juga, siapapun yang tidak dapat mempertahankan keyakinannya atas kemampuan diri sendiri bisa saja dengan mudah mengidap inferiority complex.

Tentu saja. Inferiority complex adalah kondisi di mana mental kita dalam tekanan. Adalah keadaan di mana kita merasa tidak nyaman dengan kemampuan diri sendiri namun tidak tahu bagaimana cara untuk bangkit dan membuat diri sendiri setara dengan yang lain. Kepercayaan diri seperti ini adalah hal mutlak dibutuhkan di era saat ini. Era saat ini menuntut kita memiliki kompetensi yang tinggi. Kenyataan saat ini mau tidak mau sudah semakin meluas, tidak hanya tingkat nasional tetapi antarbangsa.

Betapa mudahnya teknologi membuat kehidupan kita jauh lebih mudah dan efisien. Kemudahan dan efisiensi tersebut pada akhirnya telah menembus batas geografis. Persaingan telah luas dalam arena global. Pada saat itu, kita perlu mampu sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Jika terus-terusan kita tidak mau lepas dari inferiority complex, kita bisa jadi akan selalu merasa rendah terhadap diri sendiri. Akibatnya, di tengah derasnya arus globalisasi, kita bisa jadi hanya sebagai pengguna dan penonton, bukan pemain. Dan, untuk menikmati dan menontonnya, tentu saja, kita masih harus mengeluarkan duit juga.

Terdapat hal-hal kecil yang seringkali dapat menjadi indikator seseorang terjangkit inferiority complex. Anak desa seperti saya, misalnya, masih banyak yang memiliki pemikiran bahwa anak kota akan selalu unggul karena mereka lebih sejahtera dengan akses pendidikan yang lebih baik. Menurut saya itu tidak salah, namun tidak lengkap. Seiring dengan mudahnya akses teknologi, belajar bisa dilakukan di mana-mana, bahkan bisa sampai ke desa-desa. Butuh kesungguhan niat untuk bisa melawan pemikiran-pemikiran yang menjatuhkan diri sendiri seperti itu. Justru dengan keterbatasan itulah, saat bisa keluar dari inferiority complex, anak desa akan jauh lebih kreatif dan menyediakan alternatif-alternatif.

Kalian yang kuliah di kampus swasta atau yang seringkali dianggap kampus pinggiran, misalnya, mungkin ada yang merasa lebih rendah diri saat bertemu dengan mahasiswa dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, ataupun Universitas Gadjah Mada. Pendidikan di tiga kampus ini jelas lebih baik. Pemikiran demikian tidak salah, tetapi itu masih tidak lengkap. Kita bisa memanfaatkan alternatif-alternatif lain agar kita memiliki kemampuan yang setara dengan mahasiswa di kampus tersebut.

Contoh lain, kalian yang lulusan PTN bisa jadi masih merasa tidak lebih baik, tidak percaya diri, dari teman-teman yang lulusan luar negeri. Memang mereka belajar yang mayoritas berbahasa Inggris. Akses pengetahuan jauh terbuka lebar berkat penggunaan bahasa internasional dalam pergaulan akademik dan non-akademik sehari-hari. Namun, itu tidak berarti kalian yang belajar di dalam negeri juga tidak mendapatkan akses dan kesempatan membaca referensi yang sama.

Biasanya, pada batas ketidakmampuan namun ingin kompensasi lainnya, ujung-ujungnya seseorang tak jarang berkelakar, “jangan lupa cinta negeri woy, kuliah di dalam negeri itu lebih cinta negeri Indonesia sendiri.” hehee…

Singkatnya, inferiority complex perlahan tumbuh dari seringnya penghakiman-penghakiman oleh diri sendiri yang bisa jadi karena tidak tahu bagaimana seharusnya kita berpikir dua arah sehingga memiliki pemikiran yang terbuka.

.

Tanda-tanda inferiority complex

Situs Bustle menyebutkan beberapa tanda yang mungkin seseorang mengidap inferiority complex.

Pertama, terlalu perfeksionis. Karena menginginkan adanya kompensasi yang berlebihan, seseorang terus merasa kurang dan ingin mencoba mengejar kesempurnaan. Sikap perfeksionis ini seringkali membuat orang larut dalam inferiority complex. Kedua, sangat sensitif terhadap kritik. Orang dengan inferiority complex sangat peka terhadap perkataan orang lain tentang dirinya. Tidak mau menerima kritik karena anggapan kritik itu merendahkannya.

Ketiga, cenderung mencari kesalahan orang lain. Seseorang tidak mau introspeksi diri, melainkan justru menyalahkan orang lain. Saat ada teman yang sukses, seseorang tidak mau mengakui kehebatan temannya demi membuat dirinya bahagia atas kesuksesan temannya. Keempat, ada perasaan aman saat diri sendiri merasa lebih baik dari orang lain. Jika anda mengindap inferiority complex, fokus anda adalah untuk selalu menjadi lebih baik dari orang lain. 

Kelima, tidak percaya pujian. Hal ini biasanya dipengaruhi persepsi harga diri yang tinggi sejak kecil sehingga berpengaruh terhadap cara merespon pujian, Pada akhirnya, orang dengan inferiority complex bisa enggan menerima saran, meskipun positif. Keenam, gampang berpersepsi buruk. Tidak hanya melakukan penghakiman terhadap diri sendiri tetapi juga saat melihat posisinya kurang menguntungkan, seseorang dengan inferiority complex gemar play victim untuk memenuhi egonya.


Bagi yang merasa tengah terjangkit inferiority complex, kalian tidak perlu terlalu cemas. Tentu, kalian perlu segera bangkit dan memperbaiki cara berpikir. Apalagi diperkirakan banyak orang Indonesia tengah mengidap inferiority complex ini. 😀

Hal yang perlu dipahami bersama adalah bahwa hakikat manusia sesungguhnya adalah saling melengkapi, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tugas manusia adalah saling mengisi dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.  Pada akhirnya, di atas kelebihan dan kekurangan yang dimiliki manusia, ketekunan, kerajinan dan konsistensi lah yang memiliki pengaruh besar untuk membuat orang memiliki kemampuan yang lebih.

.

Bangga boleh, tapi tak harus berlebihan

Satu hal yang akut akibat mengidap inferiority complex adalah adanya perasaan yang berlebihan atas kehebatan kita yang biasa-biasa saja. Bangga ini bisa jadi sebatas kekecewaan atau terlalu sempitnya pikiran seseorang. Contoh gampangnya, masih banyak di antara kita seringkali menyalahkan negara asing, anti asing, karena asing dituduh telah mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia. Faktanya, investor asing tidak akan pernah bisa masuk ke Indonesia kecuali telah mendapatkan kesepakatan dari Pemerintah Indonesia.

Sebaliknya, kita seringkali membanggakan Indonesia kepada teman-teman dari luar negeri, bangga Indonesia dengan pantainya, keanekaragaman hayatinya, budayanya, dan sebagainya. Namun kita bisa dengan sangat sinis dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Singapura dituduh sebagai negeri cukong, Malaysia sebagai negara pencuri budaya dan pulau Indonesia.


Kesungguhan, keyakinan dan kerja keras untuk meningkatkan kualitas diri adalah kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Kembali pada pemikiran bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan, tidak seharusnya manusia melakukan penghakiman dan merendahkan diri. Menjadi awal kesempatan yang baik saat kita berhenti menghakimi diri sendiri dan menggantinya dengan memulai belajar untuk bisa menemukan kemampuan alami kita. Tidak semua orang harus menjadi dan melakukan hal yang sama, tetapi esensinya mereka sama-sama memiliki kelebihan.

Selain itu, seseorang juga perlu introspeksi diri, saat usaha yang dilakukan sudah maksimal, saatnya manusia untuk berpasrah, belajar ikhlas menerima hasilnya. Untuk bisa berhasil, tugas pertama manusia adalah membuat sebab. Akibat adalah hasil dari sebab yang kita buat. Sebagai manusia yang terus belajar (lifelong-learners), apapun hasilnya akan menjadi kesempatan untuk selalu berbenah dan refleksi agar terus menjadi lebih baik lagi.

Leave a Comment