Bersama tamu dari UGM

Hari ini tepat satu minggu saya tinggal di Nagoya. Sudah tujuh hari saya menghuni flat dengan ukuran kira-kira 7×3 ini. Saya sudah mulai terbiasa melalui kehidupan secara normal di sini. Saya sudah mulai terbiasa dengan rutinitas baru, bangun tidur, membaca, menulis, mandi, memasak, berangkat dan pulang kampus, membaca dan menulis lagi, termasuk menulis catatan ini. Juga, termasuk belanja, berjalan kaki yang setidaknya sehari sekitar 5 km, bahkan pernah 13 km.

Hari ini sedikit berbeda dari hari-hari biasa. Ini sudah menjadi kebiasaan saya saat di Indonesia juga. Saat hari Minggu, saya pergunakan untuk bersantai di atas dipan, menghabiskan waktu tidur hampir seharian, lalu baca-baca buku di Google Play Book, hingga datang waktu malam. Hari ini, saya juga demikian. Saya ingin menikmati hak berlibur saya yang berarti saya tidak terikat aktivitas apapun seperti pada hari-hari kerja.

Bukan berarti hari ini saya tidak melakukan apa-apa. Selain kembali tidur di pagi hari, saya juga menghabiskan waktu untuk memasak, beres-beres kamar, memasak, mandi, membaca beberapa halaman buku di Google Play Book, telepon keluarga di Jember, serta menerjemahkan artikel untuk segera saya submit ke jurnal internasional. Target saya malam ini sudah selesai saya terjemahkan, tinggal 7 halaman lagi. Besok, saat di kampus, ingin saya baca-baca lagi sebelum saya kirim ke seorang teman Amerika yang sudah bersedia membantu saya proofread artikel ini, sebelum disubmit ke redaksi jurnal.

Kurang lebih, itulah aktivitas saya hari ini. Tidak begitu banyak pengalaman yang bisa saya bagikan terhadap untuk hari ini. Karena terbatasnya pengalaman hari ini, saya ingin bercerita sedikit ke belakang, sekitar empat hari lalu, saat bersama tamu dari UGM.

***

Pagi itu, saya sudah berada di kampus. Saya langsung menuju lantai 6 untuk menemui profesor saya, selain karena saya ingin memanfaatkan jaringan internet yang ada di ruangan beliau. Sehari sebelumnya saya diberikan username dan password wifi-nya. Itulah satu-satunya jaringan internet saat saya di kampus. Kehidupan maya saya tergantung pada sinyal wifi beliau.

Tidak begitu lama. Sekitar 5 menit saya berdiri di samping lift, di lantai 6, beliau keluar ruangan dan mengajak saya menuju ruangannya. Ini kali kedua saya memasuki ruangannya. Sudah sepantasnya sebagai ruangan ilmuwan, saat memasuki ruangannya kita akan disuguhkan dengan lemari-lemari yang padat dengan koleksi buku. Sekitar empat lemari panjang yang bersusun lima hingga enam tingkat, keseluruhannya dipadati dengan buku-buku. Saya suka dengan ruangan yang seperti ini. Sudah jauh-jauh hari saya pernah berimajinasi untuk memiliki ruangan seperti ini. Bagi saya, ruangan yang diisi dengan buku itu lebih bergengsi, baik itu ruangan maupun rumah.

Beliau menegaskan kembali kepada saya bahwa dia baru saja mengirim email dan Whatsapp berisi username dan password sementara yang bisa saya gunakan untuk mengakses wifi kampus. Setidaknya, itu memudahkan saya untuk tidak harus selalu berada di lantai 6 untuk dapat mengakses internet. Saya berterima kasih atas kebaikan beliau.

“Itu untuk sementara, kira-kira hanya bisa digunakan satu minggu. Setelah itu hangus dan harus diperbarui lagi”, ucapnya.

“Tapi bentar lagi kamu bakal punya username dan password permanen, nanti agak sore akan saya antarkan untuk mendapatkannya. Setelah saya bertemu dengan teman dari UGM”, beliau menambahkan.

“Thank you, Sensei”, jawab saya dengan ekspresi bahagia.

Seperti beberapa hari beliau sampaikan bahwa hari ini akan ada tamu dari UGM. Dia juga dosen yang kebetulan berkunjung ke Nagoya, sehingga sekaligus berkunjung ke kampus ini. Oleh supervisor, saya diajak bertemu dengan dosen UGM itu pukul 12:30 sekaligus makan siang. Kita bertemu di lantai satu.

Saya berkenalan dengan dosen UGM itu. Dosen itu ramah, low profile dan tampak sudah terbiasa dengan kehidupan dan suasana Jepang, khususnya kampus ini. Kita berjalan menuju warung makan yang tidak jauh dari gedung tempat kami tadi bertemu. Beliau mengajak untuk makan di warung kebab. Katanya, warung itu salah satu favorit dengan cita rasa yang bisa diterima banyak orang. Saya dipersilakan untuk memilih menu, sementara mereka memilih menu juga.

Saya tidak tahu masakan di warung ini. Semua masih terasa asing, meskipun sudah tersajikan gambar makanannya. Saya hanya bisa memahami harga makanan tersebut, saya memilih makanan yang tampaknya tidak begitu berat dengan harga yang lebih murah.

Setelah kita semua sudah memilih menu makanan, kita duduk sambil mengobrol. Awal-awal, saya hanya mendengaran pembicaraan mereka berdua. Tampaknya mereka berdua sudah sangat dekat.

Tidak begitu lama, mungkin sekitar 5 menit, makanan sudah siap. Saya mengambil makanan dari penjualnya. Kebiasaan di sini, makanan harus diambi sendiri. Termasuk, setelah selesai makan, kita harus merapikan piring, sendok dan semua sisa makanan. Keseluruhannya ditaruh dalam satu nampan dan dibawa kepada penjualnya lagi.

Saya mengetahui ini jauh-jauh hari. Waktu itu saya membaca dari postingan seorang teman di Backpacker Dunia di Facebook yang bercerita tentang etika atau kebiasaan yang harus diperhatikan saat kita membeli makanan di Jepang.

Belakangan saya juga mempraktikkan ini saat makan di kampus, di Jember. Saya mengambil makanan itu sendiri dan mengembalikannya kepada penjualnya. Saya ingin memastikan meja setelah saya tinggalkan rapi dan bersih. Karena, saya berpikir pengguna setelah saya juga berhak mendapatkan meja yang bersih dari sisa-sisa makanan saya. Awal-awal, saya dianggap aneh, baik oleh mahasiswa-mahasiswi maupun bapak dan ibu penjual makanan tersebut. Seiring waktu, itu menjadi hal yang biasa. Mereka akhirnya terbiasa.

Oh iya, kembali dengan percakapan antara dosen UGM dan sensei. Beliau bercerita tentang UGM dan Nagoya, hingga pada akhirnya sedikit menyinggung beberapa dosen di Indonesia. Mereka sangat berterus terang bahwa saat ini ada kecenderungan dosen di Indonesia tidak terlalu ahli di bidangnya. Mereka terjebak pada iming-iming jabatan, daripada mengejar karir akademik. Mereka juga cenderung tidak begitu rajin menulis. Melainkan, mereka lebih suka berbicara.

Ini belakangan yang saya ketahui dari membaca artikel di conversation.com bahwa ilmuwan sosial Indonesia terjebak pada insularitas. Mereka terlalu lambat untuk mengejar perkembangan dunia keilmuan yang begitu cepatnya tumbuh dan berkembang. Pada sisi lain, dosen justru terjebak dengan permasalahan politik hingga disibukkan dengan masalah administrasi.

Percakapan beliau mengingatkan saya dengan catatan perjalanan Niels Mulder, seorang Antropolog Belanda yang pernah menyusuri seluruh wilayah Jawa, termasuk Jember. Dalam catatan Niels Mulder, tampaknya adalah kampus UGM, disampaikan bahwa dosen-dosen di fakultas hukum saat itu Ia jumpai sudah tidak bisa berbahasa Belanda. Padahal, hukum-hukum Indonesia mewarisi hukum-hukum Belanda. Atau setidaknya, mereka berbahasa Inggris. Mereka juga tidak banyak yang cakap berbahasa Inggris. Oleh karena itu, menjadi sangat ironi saat mahasiswa harus dipaksakan membaca diktat dosen, kampus tidak untuk bernalar, melainkan menghapal.

Materi perkuliahan yang disampaikan oleh dosen juga tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Bahkan tidak jarang ditemukan dosen mengajar dengan bahan perkuliahan yang sama dalam tempo lima, sepuluh hingga lima belas tahun lalu. Kampus cenderung berisi dogma, tidak disertai kemampuan bernalar kritis. Relatif tidak ada perubahan di tengah dunia yang sudah sangat berubah pesat!

Apabila itu merujuk pada kampus Fakultas Hukum UGM, tampaknya kenyataan saat ini tidak begitu. Itu diakui oleh supervisor saya bahwa dengan segala kekurangan dan kelebihannya sesungguhnya kampus UGM tidak begitu jauh dengan kampus ini. Kampus-kampus negeri yang relatif kecil yang sepertinya sedikit menyedihkan. Meskipun berstatus negeri sepertinya tidak dilengkapi dengan infrastruktur SDM yang relatif memadai. Mungkin itu membutuhkan waktu beberapa tahun untuk bisa berbenah dan menjadi lebih baik.

Ini juga kembali mengingatkan saya tentang catatan Niels Mulder. Dalam catatannya disampaikan bahwa kampus UGM sudah kehilangan roh akademisnya. Kampus ditinggalkan oleh ilmuwan-ilmuwan handal menuju Jakarta. Sebagian juga tergeser karena memang peta politik nasional memang mengalami pergeseran kekuasaan. Di Jakarta, mereka menjadi bagian dari perumusan kebijakan. Intelektualitas seseorang pada akhirnya bergantung pada jabatan strategis di pemerintahan.

Itu pendapat Niels Mulder, beberapa dekade lalu.

Percakapan kami tidak begitu lama, mungkin hanya sekitar 15-20 menit. Setelah itu kita kembali ke kampus. Seperti yang dijanjikan supervisor saya, saya diantarkan ke ruang administrasi untuk mendapatkan kartu. Kartu tersebut digunakan saat di luar jam kantor atau pada hari libur agar sayatetap bisa memasuki gedung kampus. Kartu itu memilik chip, sehingga saat di luar jam kantor saya perlu memindai chip itu terlebih dahulu sebelum memasuki gedung kampus. Saya dijanjikan dua jam lagi. Pukul 16:00 saya diminta datang kembali ke ruangan tersebut.

Bagaimana dengan username dan password internet? Saya dijanjikan besok. Besok siang saya diminta ke ruang tersebut untuk mengambilnya.

 

Artikel Terkait:

Leave a Comment