Kabar gembira dari para juara

Pada hari keempat saya tinggal di Nagoya, tampaknya cuaca sudah mulai berubah. Pada tiga hari sebelumnya matahari tampak bersinar, langit begitu cerah. Namun, pada hari ini, sejak pagi hari hingga sore ini, mendung menyelimuti seluruh kota. Sejak siang hingga sore ini, gerimis secara perlahan membasahi jalanan-jalan hingga lorong-lorong kampus, memaksa setiap orang harus mempercepat jalannya.

Di bawah gerimis pada hari keempat saya di Jepang, saya ingin mengawali tulisan dengan kutipan Bunda Teresa, “Jangan pernah khawatir tentang jumlah. Bantulah satu orang pada satu waktu dan selalu mulai dengan orang yang paling dekat denganmu”.

Saya kali pertama mendapatkan kutipan ini pada 2013, beberapa saat sebelum saya melanjutkan kuliah master. Saat itu, saya mendapatkannya dari membaca majalah dari Kedutaan India di Jakarta setelah mengurus student visa. Sejak saat itu saya tertarik untuk membaca kisah Bunda Teresa hingga saya saat master menyempatkan traveling di Kota Bunda Teresa, Kolkata.

Tulisan ini bukan tentang Bunda Teresa ataupun India. Namun, apa yang mempersatukan itu semua?

Pertama, keduanya mengajari saya tentang banyak hal tentang kesungguhan dan kerja keras saat saya menjalani kehidupan. Saya mencoba banyak belajar dari kutipan itu baik di PPI India maupun saat saya kembali di tanah air. Saat di tanah air, baik saat mengurus pendidikan di rumah hingga saat saya menjadi dosen di kota saya. Kedua, usaha tidak selamanya akan berbuah manis. Ada saatnya saya harus berharap, namun ada saat di mana saya tidak boleh terlalu berharap lebih. Saya menyadari hal itu, namun itu tidak berarti kita harus menyerah.

***

Beberapa hari lalu saya mendapatkan berita gembira dari mahasiswa bimbingan saya, mereka mendapatkan juara. Sejak saya menjadi dosen, saya memang lebih suka bercengkrama dengan para mahasiswa. Saya sangat suka mahasiswa yang aktif dan giat dalam kegiatan ilmiah. Setidaknya saya pernah menjadi seperti mereka; saat saya dahulu memiliki minat dan semangat menulis tapi tidak ada seseorang yang dapat mendukung keinginan kuat saya.

Sebetulnya, saya ingin mencoba menulis saat masih SMA. Sayangnya, tidak ada guru yang bersedia membimbing saya. Entah mereka tidak sempat atau tidak punya pengalaman dalam membimbing siswanya dalam karya ilmiah remaja. Saat itu saya sedang berada di perpustakaan sekolah bersama beberapa tumpuk ensikopedi dunia dan wawasan Islam kontemporer. Saya memutuskan meminta pendapat guru saya yang juga sedang di perpustakaan apabila saya mengikuti perlombaan menulis. Dia hanya bilang bagus tanpa percakapan hangat lebih lanjut.

Karena ini, saya jadi ingat betul saat masih Madrasah Tsanawiyah (MTs) pada kelas 2. Saat itu, pada mata pelajaran bahasa Indonesia, kami satu kelas diberikan tugas selama dua minggu membuat karya ilmiah ditulis tangan pada kertas folio bergaris minimal 20 lembar. Karena kegemaran saya setiap jam istirahat selalu ke perpustakaan, saya bisa menuliskan artikel dalam waktu relatif cepat. Meskipun saya sudah lupa dulu apa yang sudah saya tulis. Satu hal yang masih saya ingat adalah tentang susunan karya ilmiah yang guru ajarkan saat MTs persis dengan susunan karya ilmiah mahasiswa saat mengikuti perlombaan menulis kelak.

Sebenarnya saat masih mahasiswa, saat saya memenangkan lomba karya tulis ilmiah, sebagai Juara I lomba karya tulis Mahkamah Konstitusi tidak mendapatkan bimbingan intensif dari dosen. Jangankan itu, saya termasuk mahasiswa yang tidak pernah diperhitungkan oleh bidanh kemahasiswaan. Saat ada pelatihan penulisan karya ilmiah beberapa bulan sebelum saya memenangkan lomba itu, saya tidak masuk dalam daftar mahasiswa yang terpilih sebagai peserta pelatihan. Entah juga bagaimana bidang kemahasiswaan waktu itu menentukan kriteria undangan.

Keberhasilan saya dalam lomba tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Saat itu berawal dari kegemaran saya menulis blog di warnet kampus, sambil browsing beberapa informasi, baik berita maupun situs tentang bidang studi saya. Iseng-iseng, hingga pada akhirnya saya mendapati ada perlombaan menulis untuk mahasiswa. Saya membawa kabar baik ini kepada kakak angkatan, saya sampaikan saya tertarik untuk mengikutinya. Saya tidak percaya diri untuk menuliskan sendirian, saya ingin mengajaknya menulis bersama-sama.

Saat saya ditanya apa yang dituliskan, saya bingung. Saya tidak memilik bayangan akan menuliskan apa. Satu hal yang saya miliki hanyalah keinginan kuat bahwa saya bisa menulis dan saya mau mencoba. Saya akan belajar tentang tema perlombaan itu secepat mungkin. Saya meminta keapada kakak angkatan waktu lima hari untuk merumuskan permasalahan. Sekitar tiga hari setelahnya, saya bertemu dengan salah satu alumni di kampus saya yang bekerja di Lembaga Bantuan Hukum Surabaya. Saya tidak begitu kenal atau bahkan akrab dengannya. Saya hanya mengetahui bahwa dia adalah alumni fakultas hukum dan bekerja pada bidang hukum. Itulah yang membuat saya percaya bahwa dia memiliki keilmuan yang lebih dari saya dan berharap akan memberikan ide dan saran untuk tulisan saya.

Alumni tersebut memberikan beberapa gambaran awal hingga pendalaman. Penjelasan demi menjelasan semakin membuat saya tercerahkan, semakin berpikir dan menemukan inspirasi-inspirasi baru. Saya tuliskan hasil percakapan ringan tersebut dalam catatan kecil untuk selanjutnya saya salin dalam kalimat-kalimat yang lebih ilmiah pada komputer di rumah.

Saya membutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk menyelesaikan karya ilmiah itu. Pekerjaan menulis tersebut relatif saya kerjakan di malam hingga pagi hari dari pukul 22:00 hingga 04:00. Entah kenapa saya lebih memilih mengerjakannya pada waktu itu. Setidaknya, sejauh yang bisa narasikan adalah karena saya merasa jauh lebih tenang dan fokus. Semua ide terasa mengalir begitu saja.

Saya menyelesaikan karya ilmiah tepat satu minggu. Namun, saat pagi hari pada tanggal deadline saya sebenarnya masih gundah. Saya kehabisan idea dan inspirasi. Akhirnya saya tenangkan pikiran, saya bikin sesantai mungkin pikiran saya sambil membaca-baca buku dan mencatat beberapa poin penting. Selanjutnya saya baca draft tulisan saya dan mencoba menghubungkan hasil catatan saya tersebut. It works!

Karena ini adalah pengalaman kali pertama, saya baru sadar dan paham. Ternyata finalisasi adalah tahap yang tidak bisa dianggap remeh. Saya membutuhkan waktu berjam-jam untuk memeriksa tulisan hingga akhirnya saya memutuskan untuk mencetak dan menjilidnya. Sore hari, saya baru mencetak tulisan itu. Terdapat satu halaman pengesahan yang saya membutuhkan tanda tangan kakak angkatan saya itu. Waktu menunjukkan pukul 17:00 lebih, menjelang magrib. Saya mencoba menelponnya sebelum saya sampai kos-kosannya dengan harapan saya dapat mengirimkan tulisan sebelum kantor pos tutup pada pukul 19:00.

Saya coba berkali-kali menelponnya, tapi tidak diangkat. Saat itu saya masih di Wuluhan, tempat tinggal saya yang berjarak sekitar 35 km dari kampus. Saya pada akhirnya memutuskan untuk langsung mendatangi kos-kosan kakak angkatan tersebut. Setelah sampai di kos-kosannya, saya dapati kamarnya yang tertutup dan terkunci, namun lampu di dalamnya menyala.

Saya mulai merasa frustrasi. “Mas sampean itu di mana sih, kok udah hari deadline malah ndak ada” angan saya.

Saya akhirnya mencoba untuk menegok dalam isi kamarnya. Saya dapati dia tertidur pulas di kamarnya. Dengan tidak sabar saya gedor pintu kamarnya dengan sedikit emosi.

Saya berteriak, “Mas, Mas, Mas!!! Buka pintunya, cepet!! Udah ndak ada waktu lagi”.

Saya coba mengulanginya berkali-kali hingga kakak angkatan tersebut bangun dan membukakan pintu.

“Ono opo Rul, aku loro. Aku kongkon nyapo iki”, sahut dia dengan suara agak lemah dalam bahasa Jawa.

“Sampean tanda tangan di sini Mas, cepet ndak ada waktu banyak” jawab saya.

Dia akhirnya menandatangai dua lembar surat pengesahan dan menutup rapi kembali lembar pengesahan dalam tumpukan karya ilmiah yang masih belum dijilid itu.

“Makasih Mas, moga lekas sembuh. Aku ngejar waktu dulu”, tandas saya dengan tergesa-gesa keluar kamarnya.

Sekitar pukul 18:15, ada dua tugas yang masih harus saya kerjakan, yaitu menjilid karya ilmiah dan mengirimkannya ke kantor pos. Proses ini membutuhkan waktu yang agak lama, khususnya untuk penjilidan.

Sekitar 10 menit sebelum pukul 19:00 akhirnya saya berhasil mengirimkan artikel tersebut melalui pos.

***

Saat menuliskan karya ilmiah membutuhkan waktu tujuh hari, saya menghabiskan waktu tujuh hari terbaring di atas kamar tidur. Saya sakit demam seperti yang dialami oleh kakak angkatan tadi. Sekujur badan saya panas. Saya baru menyadari, ternyata pekerjaan otak itu tidak kalah berat dibanding pekerjaan fisik. Kala itu mungkin saya lupa bahwa ‘berpikir’ masih merupakan bagian dari kata kerja.

Pengalaman ini yang kemudian menggerakkan hati saya. Saya meyakini masih banyak anak-anak muda yang mungkin memiliki pengalaman serupa dan entah bagaimana cara memulainya. Karena itu, saat saya menjumpai tiap-tiap mahasiswa yang aktif dan giat untuk menekuni bidang ilmiah, saya tidak memiliki alasan untuk tidak mendukung mereka. Bahkan, tidak jarang saya memberikan fasilitas kepada mereka. Mereka harus tumbuh dengan menemukan kemampuan-kemampuannya yang masih tersembunyi.

Pada hari pertama saya sampai di Nagoya, pada sore hari, di saat saya masih sangat terbatas dengan koneksi internet, supervisor saya dengan baik hati memberikan koneksi internet. Berkat internet darinya, saya dapat membuka Whatsapp dari saudara dan teman-teman yang sempat tertunda karena masalah jaringan. Salah satu pesan yang berkesan adalah saya mendapatkan informasi dari seorang mahasiswa bahwa dia bersama tim yang saya bimbing mendapatkan Juara I pada kompetisi artikel ilmiah. Setelah saya buka beberapa chatting yang lain, terdapat satu grup mahasiswa bimbingan saya sudah ramai mengucapkan selamat atas prestasi yang diraih olehnya bersama dengan tim. Saya tidak terlalu banyak waktu untuk membalas pesan. Saya hanya sampaikan pesan, “congratulations!” 

Saya juga sempat upload instastory dengan foto yang dikirimkan mereka dengan caption, “You are who I am proud of! Congratulations!”

Hari ini, mereka memposting foto-fotonya dalam instagram. Saya ikut bahagia saat mereka meluapkan kebahagiaannya dalam caption instagram mereka masing-masing, dalam versi masing-masing. Pada intinya, mereka tidak pernah membayangkan dari apa yang mereka raih baru saja itu.

Saat keberangkatan saya ke Jepang, saya masih berkomunikasi dengan mereka, saat saya masih di bandara. Mereka mengeluhkan bahwa mereka mendapatkan nomor undian untuk presentasi pertama. Saya sebenarnya sedikit cemas, karena mereka akan merasa ada beban yang tinggi saat harus presentasi dengan nomor urut pertama dan ini merupakan pengalaman pertamanya. Setidaknya, mereka tidak ada kesempatan untuk melakukan improvisasi dari tim lain. Namun mereka juga beruntung, karena mereka akan lebih orisinil dalam melakukan presentasi. Mereka akan segera terbebas dari segala tekanan di tengah ketatnya persaingan dengan para tim finalis lainnya.

Saya hanya kuasa memberikan motivasi kepada mereka. Dalam chat Whatsapp saya sampaikan:

Selamat Presentasi tim terbaik delegasi UNEJ. Doa saya semoga presentasi kalian hari ini lancar. Hari ini mungkin merupakan pengalaman pertama kalian untuk mengemukakan ide terbaik secara nasional. Dan itu adalah kesempatan terbaik, langkah awal kalia dalam mengukir sejarah emas dalam hidup kalian, yang akan dikenang karena kerja keras dan kesungguhan kalian bagi generasi berikutnya. Tetap optimis dan percayalah dengan kemampuan kalian. Jangan pernah takut, grogi apalagi minder. Karena, ketakutan tidak pernah sedikit pun membawa keberuntungan bagi kalian. Lepaskanlah beban dan tekanan dalam kalian.

Kalian adalah bagian dari mahasiswa terbaik yang pernah saya temui, yang berani dan akan membawa perubahan. Jangan pernah takut salah karena kalian mencoba yang terbaik. Mecoba yang terbaik adalah usaha kemenangan yang sesungguhnya, bukan sekdar piala ataupun gelar juara. Kalian diwajibkan untuk melakukan yang terbaik, bukan untuk mengejar angka 1, 2, 3. Yakinlah dengan keyakinan yang kalian miliki. Karena pada akhirnya dalam setiap perjuangan hanya keyakinan dan keberanian yang akan mengantarkan kita pada setiap keberhasilan

Dan, jangan lupa banyak kenalan. Karena, terkadang jodoh itu tidak paalel dengan kampus kalian. Terkadang, kita tidak menyadari ternyata jodoh itu ada di kampus sebelah. 😀

Sekitar 10 hari setelah diumumkan bahwa tim mereka lolos sebagai finalis, sesegera mereka menghubungi saya hingga membuat satu grup persiapan presentasi. Seperti umumnya saya selalu membuat pemanasan sebelum pertandingan, dengan meminta mereka presentasi di kelas-kelas pada mata kuliah yang saya ajar, ini justru sebaliknya. Kali ini mereka yang justru meminta waktu untuk presentasi di kelas saya. Hari itu adalah rabu siang. Saya meminta mereka presentasi pada Kamis pagi.

Mereka sedikit keberatan, namun saya tandaskan kalian harus siap.

“Pak kok langsung besok, apa ndak ada waktu selain besok” tanya mereka.

“Wah, kalian enak. Saya dulu sama Pak Hanif, saya sampaikan malam mosi debat keluar dan saya diminta pagi bertemu dengannya. Saat saya menemuinya, saya hanya diberikan waktu 10 menit sebelum mempresentasikan mosi di kelas dengan jumlah lebih dari 150 mahasiswa”, jawab saya.

“Sekarang, lebih baik kalian sebaik mungkin, gunakan waktu singkat ini dengan sebaik-baiknya”, tambah saya.

Saya sangat suka ketika ada mahasiswa yang saat diberikan beban yang sedikit berat dan mereka berusaha mengerjakannya walaupun saya menyadari itu berat. Namun, bukankah itu bagian dari membuat mereka lebih mandiri dan bertanggung jawab?

Setidaknya itu keterampilan yang diwariskan dosen saya saat saya dulu menjadi mahasiswa. Saya dididik untuk bekerja dengan tangan sendiri di tengah keterbatasan yang hampir saya anggap tidak mungkin. Dan, dari situ saya baru memahami akan pentingnya saya menembus batas-batas kemampuan saya. Terkadang kita terlalu membatasi diri dengan berpikir itu terlalu tinggi dan kita tidak mampu. Kita perlu melawannya!

Saya juga menyadari mereka bekerja dengan sangat berdedikasi. Mereka sejak awal sudah menentukan subtemanya. Namun, saat itu saya sempat sedikit ragu apabila tema itu mereka ambil, karena tim lain kemungkinan besar akan menuliskan itu. Saya  mengusulkan ide kepada mereka untuk lebih kreatif dalam membuat sudut pandang baru. Mereka saya sarankan untuk melakukan kajian perbandingan dengan negara lain. Saya tahu mereka bertiga adalah anak pilihan. Mereka adalah anak terbaik yang saya jumpai di kelas Hukum Tata Negara (HTN) semester lalu.

Tidak seperti mata kuliah HTN pada umumnya, praktis saya hampir tidak pernah menjelaskan materi yang sudah umum. Melainkan, saya mengajak mereka untuk menguji konsep, norma dan praktik yang sudah ada dengan menyajikan paradoks-paradoksnya saat ini. Setiap pertemuan tidak kurang dari dua jurnal, terkadang tiga sampai empat jurnal atau tiga jurnal satu buku saya upload pada moodle e-learning.

Menariknya, mereka bertiga membacanya! Bahkan saya temui mereka hingga mencari buku-buku kuno untuk menelusuri sejarah hukumnya dan menanyakan paradoksnya dengan hukum saat ini di kelas. Selain itu, mereka membaca konsep selain yang saya sampaikan di kelas dan mengajak saya berdiskusi tentang materi itu. Saya bangga dengan kesemangatan dan kegigihan mereka dalam menuntut ilmu. Mahasiswa seperti mereka harus diacungi jempol.

Seperti biasa, dan ini mungkin sangat mengerikan bagi sebagian besar mahasiswa, setiap mahasiswa akan diberikan tanggung jawab menyusun esai kritis. Mereka akan melewati tiga tahap supervisi hingga pada pengumpulan akhir secara online pada situs turnitin.com. Setelah saya menyampaikan revisi atau feedback dari tulisan mereka, mereka saya berikan hak untuk bertanya kenapa harus saya corat-coret. Tujuan saya agar mereka mulai belajar academic writing. Saya mengakui sesungguhnya saya juga masih belajar academic writing dan saya tidaklah sempurna untuk masalah ini. Namun, saya ingin sedikit berbagi bagaimana seharusnya kita menulis artikel secara akademik dari apa yang saya miliki.

Dua di antara mereka juga pernah mengambil kelas saya sebelumnya pada semester 1. Mereka saya berikan tugas yang relatif sama. Ini yang akhirnya menawarkan kepada satu di antara mereka untuk membantu saya dalam pengelolaan jurnal. Selama dalam manajemen jurnal, dia ada dorongan kuat untuk belajar. Dia memiliki dorongan untuk bisa menulis dengan baik. Termasuk, saat tulisannya saya corat-coret sebenarnya dia tidak begitu terima. Tampaknya, dia sudah menulis esainya dengan susah payah dan saya dengan mudahnya mencoret banyak tulisannya. Dia dengan rasa hormat menanyakan akan hal itu.

“Pak, mohon maaf saya mau tanya. Ini kok saya banyak coretannya, padahal sudah maksimal mengerjakannya”, tanyanya dengan tangan yang sedikit gemetar menandakan dia sedikit ketakutan.

Saya apresiasi keberanian dia. Selain dia berhasil melawan ketakutannya karena bertanya kepada dosen dengan membawa pembelaan, dia juga ingin belajar bagaimana untuk bisa improvisasi terhadap dirinya. Saya menjelaskan panjang lebar yang pada intinya tulisannya masih belum memiliki kohensi dan koherensi. Pada beberapa hal tulisannya banyak yang melompat. Dan saya tegaskan bahwa sebetulnya semakin banyak coretan semakin baik tulisan itu, karena saya betul-betul memerhatikan.

Dari kerja keras mereka bertiga, ada satu hal yang menyatukan saya dan mereka. Mereka melanjutkan semangat dan prestasi saya. Sekitar 9 tahun yang lalu saya seperti mereka, mendapatkan Juara I pada kompetisi yang serupa. Sekarang, mereka menjadi seperti saya 9 tahun lalu. Ini mungkin yang dikatakan orang bahwa pemenang sesungguhnya adalah mereka yang melahirkan pemenang-pemenang baru yang lebih baik pada generasi selanjutnya. Meskipun itu diraih kembali dalam tempo hampir satu dekade lamanya.

***

Terlepas dari hal itu semua, saya ada beberapa pasang surutnya dalam membimbing mahasiswa. Terkadang, saya sangat komitmen dan mereka lepas tangan hingga menghilang tanpa kabar. Ada juga, saya berusaha komitmen untuk membimbing dan berkolaborasi dengan mahasiswa, belakangan saya malah diadu oleh mahasiswa lain. Saya dikatakan saingan dengan mahasiswa yang saya bimbing.

Ini berlaku tidak hanya untuk menulis, tetapi juga untuk debat. Saya sudah katakan berkali-kali bahwa kunci kemajuan ada di SDM. Ucapan saya hanya didengar masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Saat saya sudah memiliki tim yang solid, saya belakangan dituduh memiliki i’tikad buruk menghancurkan organisasi yang dulu pernah saya bangun. Sekiranya mereka yang menuduh itu memahami bahwa sesungguhnya membangun itu lebih mudah daripada mempertahankan, tidak akan ada pernyataan itu hingga terdengar di telinga saya.

Sikap saya saat ini sebenarnya hanya kulminasi dari pengalaman-pengalaman buruk saat saya bercengkrama dengan mahasiswa dalam proses bimbingan. Saat proses itu mengantarkan mereka hampir matang, mereka tersandera politik suksesi organisasi. Dua mahasiswa saya harus bertikai karena keduanya menjadi calon ketua. Entah apa yang membedakan mereka, hingga saat sekarang keduanya tidak bisa bersatu. Begitu kerasnya dunia politik mahasiswa!

Apa yang saya lakukan secara perlahan adalah pembenahan dari kegagalan proses bimbingan terhadap mahasiswa saya nanti. Saya banyak belajar. Dan setidaknya mereka yang pernah menuduh saya yang tidak-tidak dapat memahami dengan membaca apa yang saya narasikan ini.

.

Artikel Terkait:

Leave a Comment