Kampus Merdeka: Untuk Peningkatan Kualitas atau Komoditas?

Baru-baru ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, menggulirkan paket kebijakan kedua, Kampus Merdeka. Paket kebijakan pertama adalah Merdeka Belajar. Paket kebijakan pertama mereformasi sistem pendidikan pada jenjang dasar dan menengah, sedangkan paket kebijakan kedua mereformasi sistem pada jenjang pendidikan tinggi.

Dua paket kebijakan tersebut disambut hangat oleh banyak kalangan. Nadiem berusaha untuk menyederhakan administrasi pendidikan sekaligus memperkenalkan standar tata kelola yang lebih tinggi. Pada satu sisi, pendidikan yang merdeka ala Nadiem untuk dapat merespon perkembangan zaman, sekaligus agar ilmu dan praktik dapat berjalan beriringan. Pada sisi lain, pendidikan yang merdeka ini ditengarai sebagai pemuas kebutuhan pasar. Pendidikan menjadi alat untuk menyerap tenaga kerja.

Kampus Merdeka

Sejak ditunjuk Presiden Jokowi menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem menggunakan jargon ‘Merdeka’ dalam paket kebijakannya. Istilah ini bisa menggambarkan dobrakan atau bahkan revolusi dalam sistem pendidikan Indonesia.

Paket pertama digulirkan setelah dikeluarkan hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang diterbitkan pada Desember 2019. Tidak berbeda jauh dengan hasil-hasil PISA sebelumnya, pendidikan Indonesia kembali masuk dalam jajaran terbawah peringkat dunia. Nadiem sengaja menunggu hasil PISA 2018 untuk menyusun kebijakan baru yang kemudian dikenal dengan Merdeka Belajar.

Paket kedua digulirkan setelah mengevaluasi betapa rumitnya birokrasi kampus yang dianggap tidak responsif sehingga menghambat dunia kampus mewujudkan tridharma pendidikan tinggi. Kampus Merdeka memiliki empat substansi dasar, yaitu percepatan PTN satuan kerja menjadi PTN BH, penyederhanaan akreditasi, syarat baru pembukaan program studi baru, dan kuliah di luar program studi serta kebijakan magang.

Terlepas dari masing-masing permasalahan yang cukup beragam, baik paket kebijakan pertama maupun paket kebijakan kedua, bisa dibilang keduanya disatukan dengan keinginan pendidikan Indonesia dapat out of the box. Pendidikan diharapkan dapat mengikuti perkembangan zamannya dan dapat menjawab permasalahan saat ini dan masa mendatang. Pemerintah berusaha mendorong peningkatan kualitas pendidikan nasional yang lebih responsif terhadap kebutuhan pasar dan tantangan global.

Globalisasi Ekonomi dan Kebutuhan Industri 

Seiring dengan cepatnya arus globalisasi, pendidikan turut mengikuti standar global. Inovasi menjadi salah satu faktor yang menentukan untuk keberlangsungan dan kemajuan pendidikan, khususnya pada tingkat perguruan tinggi. Selanjutnya, globalisasi ekonomi dan inovasi menjadi faktor utama penggerak peningkatan efisiensi. Konsekuensinya, peluang kerja menjadi semakin kompetitif. Keadaan ini mendorong universitas menjadi lebih responsif dari sekedar menerapkan pola pengajaran konvensional atau sebatas mengejar nilai dan mendapatkan ijazah.

Lebih dari itu, universitas harus menawarkan keterampilan-keterampilan baru yang lazim disebut dengan soft-skills. Keterampilan ini harus didapatkan mahasiswa selain hard-skills yang sejalan dengan jurusan atau program studi yang diambil mahasiswa. Seiring dengan perkembangan zaman, soft-skills terus berubah dan semakin kompleks. World Economic Forum secara rutin merilis perkembangan soft-skills yang dibutuhkan dari tahun ke tahun di abad ke-21.

Sepertinya, Nadiem ingin perguruan tinggi melihat ke arah ini. Perguruan tinggi tidak hanya sebatas bergerak ke dalam dengan menguasai ilmu di bidangnya, tetapi juga ada persilangan dan percakapan ilmu pengetahuan agar lulusan perguruan tinggi lebih siap menghadapi tantangan-tantangan baru di abad ini.

Perbaikan Kualitas dengan PTN BH

Banyak kalangan optimis dengan terobosan yang dikeluarkan oleh Nadiem. Namun, banyak juga kalangan pesimis terhadap kebijakan ini. Kalangan yang optimis memandang Indonesia perlu terobosan, sedangkan kalangan yang pesimis melihat bahwa kebijakan ini tak bedanya sebagai usaha mempercepat liberalisasi dan privatisasi perguruan tinggi berikut mempersiapkan lulusan perguruan tinggi sebatas menjadi calon buruh yang terampil di dunia industri.

Salah satu indikator usaha liberalisasi dan privatisasi adalah dengan kemudahan perguruan tinggi mendapatkan status PTN BH. Diskursus tentang keberadaan PTN BH sudah berlangsung sejak lama, sebelum Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan yang terkandung dorongan pemerintah untuk liberalisasi dan privatisasi perguruan tinggi. Sejak itu, status beberapa perguruan tinggi terbaik menjadi BHMN. Perguruan tinggi dengan status BHMN mendapatkan kemudahan dalam administrasi, khususnya administrasi keuangan. Sebaliknya, kemudahan yang merupakan bagian dari otonomi kampus tersebut seringkali ditukar dengan pengenaan biaya pendidikan yang lebih mahal, dibebankan kepada mahasiswa.

Seiring waktu, status PTN terdiri atas tiga jenis, yaitu PTN BH, PTN BLU dan PTN Satker. PTN berlomba-lomba meningkatkan statusnya hingga menjadi PTN BH. Proses dan tahapan tertentu harus dilalui untuk mendapatkan status tersebut. Oleh karena itu, banyak PTN Satker secara bertahap menjadi PTN BLU, begitu juga PTN BLU meningkatkan statusnya menjadi PTN BH. Dalam kebijakan Nadiem terbaru, PTN yang masih Satker mendapatkan kemudahan untuk menjadi PTN BH.

Usaha pemerintah agar PTN mendapatkan status PTN BH tampaknya dorongan untuk privatisasi dan liberalisasi pendidikan agar PTN lebih responsif dalam tata kelola, meskipun secara tidak langsung berdampak pada mahalnya biaya pendidikan. Dalam praktiknya, PTN BH mengarah pada komersialisasi pendidikan dan menjadikan akses pendidikan tinggi menjadi semakin sulit.

Terlepas dari itu, usaha ini bisa diklaim sebagai langkah awal untuk memperbaiki kualitas PTN. Banyak PTN yang harus terkendala permasalahan administrasi karena keterbatasan pendanaan dan pada sisi lain ada batas-batas birokrasi yang sangat panjang untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi. Usaha ini sekaligus untuk mengejar perguruan tinggi agar masuk dalam jajaran top 100 universities.

Saat PTN telah diatur sedemikian rupa, bagaimana dengan perguruan tinggi swasta (PTS)? Sejauh ini, kebijakan ini hanya diperuntukkan bagi PTN. Tentu, seharusnya saat bicara perguruan tinggi juga mencakup PTN dan PTS. Pada akhirnya, dengan semangat liberalisasi dan privatisasi, bisa dibilang ke depannya akan semakin tidak ada perbedaan yang signifikan antara PTN dan PTS.

Mahasiswa Sebagai Komoditas Pasar

Ketatnya persaingan kerja mendorong penguasaan keterampilan-keterampilan baru. Sebagai akibat globalisasi, persaingan kerja tidak hanya pada level domestik tetapi juga global. Tentu kita masih ingat, globalisasi juga mencakup kebebasan perpindahan tenaga kerja terampil antarnegara. Perusahaan akan mencari calon tenaga kerja yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan terlepas kewarganegaraan apa.

Keadaan ini akan semakin mewarnai dunia ketenagakerjaan di Indonesia ke depan. Tenaga kerja Indonesia tidak akan sebatas bersaing dengan tenaga kerja Indonesia lainnya. Di sini, peran perguruan tinggi menjadi semakin penting, khususnya untuk mencetak calon lulusan yang akan siap dalam persaingan kerja dengan standar global. Fenomena seperti ini selanjutnya secara perlahan-lahan akan mengubah peran dan fungsi pendidikan sebagai agen untuk memenuhi kebutuhan pasar. Mahasiswa menjadi komoditas pasar sumber daya manusia (SDM) yang akan bersaing dengan mahasiswa lainnya.

Kualitas perguruan tinggi dalam membesut mahasiswa sebagai calon komoditas pasar SDM ini juga ditentukan dari kebijakan akreditasi yang diperkenalkan Nadiem. Masa akreditasi perguruan tinggi lebih lama namun dengan syarat banyak lulusan dapat terserap dunia kerja. Apabila syarat daya keterserapan lulusan dalam dunia tidak terpenuhi, akan dilakukan evaluasi.

Terlepas dengan administrasi terbaru tersebut, lalu bagaimana dengan posisi perguruan tinggi sebagai pusat ilmu pengetahuan?


Tulisan ini dimuat di: kawanhukum.id

Leave a Comment