Mencari Daun yang Jatuh
Ini tentang perjalanan mencari daun yang jatuh. Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, novel karya Tere Liye. Jujur saja, sedari awal aku suka dengan judul buku ini. Saking keukeuh-nya, aku terus berapi-api secepatnya dapat menemukan buku ini hingga di dua toko buku di kota kami.
Kami? Iya aku membeli buku ini dengan temanku, Harizki. Waktu itu kami baru saja dari kampus, setelah selesai latihan menari. Kenapa aku akhir-akhir ini suka latihan menari, tertarik pada kesenian tradisional dan tetek bengeknya? Nanti saja kalau aku ceritakan kalau pikiranku sedang mujur, akan aku ceritakan semua, sekarang bukan waktu yang tepat menceritakan itu.
Ya, satu hal yang harus kalian dicatat baik-baik, dia tidak sama dengan kebiasaanku ini, termasuk tidak akan suka dengan buku seperti ini, buku yang tengah aku buru dari toko ke toko ini. Buku yang sudah aku sumpah akan kubaca sampai habis. Atau memang dia masih belum mengenal buku-buku seperti ini? Entahlah, itu urusan dia.
Togamas, selain rute terdekat dari kampus, sekaligus di depannya adalah jalan akses tercepat kalau aku pulang ke rumah. Sayangnya, pencarian pertama ini, di toko buku ini, kami tidak berhasil menemukan buku itu.
Di sana aku hanya menemukan karya-karya Tere Liye yang lain, seperti Bidadari-Bidadari di Surga, Hafalan Shalat Delisa ataupun Ayahku Bukan Pembohong. Bukan itu yang aku cari. Aku tidak pernah berniat mencari buku-buku itu, apalagi membelinya. Dan pencarian di toko buku ini pun sia-sia, fruitless. Aku tidak membeli apapun di sana.
Aku beralih ke toko buku selanjutnya, toko buku terakhir Semoga buku itu ada di sana.
Gramedia Bookstore.
Waktu itu sudah menunjukkan pukul 17.20 WIB. Berarti sebentar lagi sudah waktunya Magrib. Seperti kebiasaanku yang sudah lumrah, kalau ke toko buku selalu rela berdiri di balik buku-buku yang tertata rapi selama berjam-jam, sampai lupa waktu saking asyik dan mesranya dengan lembar demi lembar buku itu.
Aku memang tidak pernah keberatan sekalipun menghabiskan waktu membaca-baca buku di sana walaupun harus berdiri, dari yang buku terbaru hingga best seller. Dari bagian tengah ke lorong utara sampai ke sudut bagian paling selatan. Seperti biasanya, buku apa saja, bagiku layak aku baca sepanjang buku itu aku rasa menarik dan bisa aku kategorikan bermutu (setidaknya bermutu menurut versiku sendiri).
Apakah sastra, novel, motivasi, psikologi, sosial, politik, hukum, internet, agama bahkan pendidikan dan kesehatan sekalipun. Buku-buku itu hampir tidak akan pernah luput dari cengkramanku, menjadi korban persinggahanku.
Itulah kebiasaan burukku. Aku mengatakan itu sebagai kebiasaan buruk bukan berarti membaca adalah kebiasaan buruk. Jika kalian menganggap demikian, itu tidak benar dan pasti aku akan langsung membantahnya.
Memang benar nasib buruk selalu datang kala aku berkunjung ke sana. Bukan juga karena tadi ban sepeda motor gembes atau mogok di tengah jalan ataupun sedang sial baru saja terjatuh dari tangga menuju lantai dua, tempat buku-buku itu tertata rapi. Tapi lebih karena aku tidak mampu membeli buku-buku yang aku baca sekilas itu semua. Aku sudah terkesima dengan buku-buku itu semua. Semakin lama aku di sana, semakin banyak buku yang aku baca, dan semakin banyak hasratku untuk membelinya.
Justru yang terjadi, banyak sekali buku yang aku anggap berkelas dan layak aku punyai, secepatnya. Dan lagi-lagi, ini masalah prioritas. Aku harus memprioritaskan mana yang paling kubutuhkan dan dahulukan untuk dibeli.
***
Hari ini aku sedikit berbeda. Kali ini tidak lagi ada waktu panjang aku membaca buku-buku itu semua, menghabiskan waktu berjam-jam, dari lorong ke lorong. Setiba di toko tersebut, aku langsung saja menuju lantai dua dan berdiri di balik susunan buku yang atasnya tertulis novel. Aku mencari buku yang berjudul, “Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”, dan jujur aku tak tahu seperti apa buku itu. Aku tak tahu sampulnya bewarna apa, motifnya seperti apa, terbit bulan dan tahun berapa dan kira-kira harganya berapa.
Yang aku tahu kalau Tere Liye pernah menerbitkan buku berjudul, “Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Hanya itu saja. Aku yakin buku itu masih ada, dan sekarang yang dibutuhkan adalah mencarinya. Aku harus mencarinya sampai ketemu, aku wajib mendapatkan buku itu. Dan itulah fokus pencarianku. Entah di toko buku ini masih ada atau tidak.
Lagi-lagi, aku kembali menemukan Hafalan Shalat Delisa, yang juga karya Tere Liye. Sekali lagi dan sayang sekali, bagiku buku itu tidak sama sekali menarik. Aku menganggapnya buku dengan judul yang seperti itu sangatlah datar, dan aku menduga pasti isinya tidak lebih bagus dari judulnya, walaupun aku belum membuktikannya dan hingga sekarang aku juga belum membacanya. Atau mungkin selamanya aku tidak akan membacanya. Karena aku tidak tertarik.
***
Selesai Membaca di Hari Keempat
Akhirnya aku mendapatkan buku itu. Ternyata buku itu tidak terlalu tebal, dan terlihat tersusun rapi tampak kurus dari kejauhan, mungkin karena tekanan yang sangat kuat, diapit buku-buku lain yang lebih besar. Sepertinya memang masih belum ada tangan yang bersedia menjamah buku bersampul hijau itu. Kalaupun ada mungkin hanya sekedar dipegang tanpa dijamah isinya, atau setidaknya orang yang menbaca di sana masih belum tahu isi yang ada di dalam buku itu, makna yang ada dibalik lembr-demi lembar tulisan dalam sampul hijau itu.
Aku membacanya sebentar untuk memastikan kalau memang inilah buku yang tengah kucari. Jujur saja, dari awal yang aku rasakan tidak ada sesuatu yang spesial dan mampu menarik hati kala memegang buku itu. Bagaimanapun juga, aku sudah bertekad membelinya, aku tidak akan meninggalkan buku ini. Setelah lelah mencari dan mendapatkan lantas mengurungkan diri membeli buku itu. Itu bukanlah prinsipku dan untung saja aku masih teguh prinsip.
Tibalah pada keputusan bulatku, aku mengambilnya satu, dan di sana tinggal tiga buah. Mungkin sekarang masih tetap tersisa tiga buah. Atau malam itu sudah habis terbeli semua (sold out), aku tidak tahu. Semoga orang-orang tidak melihat buku dari sampulnya saja, persis yang orang bilang don’t judge book from the cover.
Seperti yang sudah aku katakan di awal, aku tidak berlama-lama di toko buku itu. Ini bisa jadi kebiasaan aneh kali pertama yang aku lakukan di sana. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.45 WIB, aku beli buku itu dan aku turun dari lantai dua. Karena sudah petang waktu magrib, seperti biasa, aku langsung beranjak ke mushala di toko itu. Aku sudah biasa shalat di sana, lalu kembali meneruskan membaca-baca buku di lantai dua.
***
Ah, ternyata Harizki baru tahu kalau toko itu ada mushalanya. Mungkin ini pengalaman pertamanya. Tapi aku tidak akan percaya kalau dia ke sana hingga berjam-jam, menghabiskan waktu berkunjungnya sampai berjam-jam. Atau setidaknya melebihi durasi kunjunganku ke toko buku itu. Apalagi aku akan sangat sulit percaya kalau dia beranjak ke mushala kala datang waktu shalat dan meneruskan kembali ke lantai dua membaca buku-buku yang gratis dibaca, yang hanya ada di lantai dua itu.
Kami pun langsung pulang. Aku mengantaran Harizki ke rumahnya dan aku langsung kembali menancapkan gas, melaju lurus searah dengan jalan itu lantas membelah angin di bahu jalan itu. Pulang ke rumah.
Tentu, malamnya sepasang mataku harus bersedia membacanya. Hari pertama, aku sudah membaca setengah isi dari buku itu. Hasilnya, aku terharu. Mungkin karena aku tidak tega dengan keluarga Tania. Perasaanku pun tumpah seketika (lebay, hihihihi).
Mungkin saja masih banyak orang yang memiliki nasib yang mirip dengan Tania, menjadi gelandangan pengamen, demi sesuap nasi untuk menyambung sepotong kehidupan keluarga dan masa depannya. Sesuatu yang sangat paradoks dengan negara ini.
Dan akhirnya, buku itu berhasil aku selesaikan di hari keempat, aku sudah membaca keseluruhan buku itu. Tapi tidak tepat kalau kalian bilang aku membacanya selama empat hari. Karena aku membaca buku itu tidak full-time, di waktu senggang saja.
Aku tidak tahu bagaimana perasaanku jika aku menjadi “dia”. Tunggu saja, siapa ‘dia” itu, nanti pasti akan tahu. Intinya, kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi esok, kata-kata yang seringkali pula dikatakan “dia” dalam buku ini.
Di hari pertama dan kedua sebelum aku menyelesaikan membaca buku itu, aku pun selalu memikirkan bagaimana nasib dan masa depan Tania. Ah, itu bukan sama sekali urusanku, apalagi itu hanya cerita. Aku hanya terbawa suasana, kata-kata dan bahasa. Buku itu memang pintar membujuk hatiku, perasaanku. Dan mungkin seperi itulah yang akan kalian rasakan saat dan setelah membaca novel tersebut.
Tertarik membacanya? Silakan baca review “Daun yang Jatuh Tak Pernah membenci Angin”, klik di sini.
.
Tulisan Terkait: