Menengok ke belakang untuk bergerak maju

Sudah satu hari saya tidak menuliskan catatan harian, absen. Saya dua hari terakhir kurang bisa membagi waktu dengan baik, menghabiskan sebagian waktu membaca dan menulis di perpustakaan dan mengurus administrasi. Selain karena entah sejak kemarin lusa saya kurang enak badan. Tadi malam saya sempat terlupa tidur dengan menggunakan kaos kaki dan jaket. Alhasil, badan saya terasa panas dingin. Padahal, tadi malam suhu udara tidak terlalu turun, pada kisaran 14-17 derajat celcius. Berbeda dengan kemarin lusa yang tengah malam hinggai pagi hari bertahan pada 13 derajat celcius.

Sejak dua hari yang yang lalu, saya menghabiskan waktu di perpustakaan karena memang bacaan di perpustakaan menarik. Banyak buku kontemporer antara lain filsafat, sejarah, ilmu sosial, ilmu politik, hukum, dan banyak lagi lainnya. Buku-buku yang menggoda saya adalah pada section: General History of Asia dan beberapa buku kajian India, Indonesia dan Asia Tenggara. Saya memang lagi semangat untuk membaca literatur kajian-kajian Asia.

Saat ini pun, saat menuliskan artikel ini, saya masih di ruang perpustakaan Graduate School of International Development. Ruang perpustakannya tenang, bersih dan rapi. Itu mungkin juga menjadi kebiasaan di sini mereka terbiasa dengan kebersihan dan kerapian. Selain itu, seperti ada hukum yang tidak tertulis bahwa setelah membaca buku untuk mengembalikan pada tempat buku tersebut diambil.

***

Entah, beberapa hari terakhir, saya tiba-tiba teringat dengan kejadian beberapa bulan yang lalu. Saya lupa kapan awal kali pertama memulainya . Yang jelas, kejadian itu berawal setelah saya posting instastory beberapa halaman pertama buku memoar berjudul, “From Third World to First: Singapore and Asian Economic Boom” karya Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Pertama Singapura. Beberapa halaman pertama memang menjadi kesukaan saya untuk membacanya, yang benar-benar mencerminkan bagaimana sebuah negara kecil dan miskin itu mampu menjadi negara yang maju pesat di bawah kepemiminannya

Sekitar satu jam setelahnya, ada pesan masuk. Ternyata ‘dia’ membalas instastory tersebut.

“Judulnya paan?” dia bertanya.

“Just want to know or really want to know?”, saya membalasnya.

“Really want to know.. ama beli di mana.. ama harganya berapa..” dia membalas.

“Berapa ya dulu. 1000 Rupee kayaknya. Download aja ini ada softfilenya… Punyaku yang terbaru, tapi cuma beda dikit”, saya kembali membalasnya.

“Huuumb maacih”, balasnya kembali.

“Aku inget sih… salah ama khilaf kamu banyak banget sama aku. Tapi gak papa aku dulu aja yang lebih muda ngucapin minalaidzin walfaizin. Mohon maaf lahir dan batin”, sapa dia yang memang waktu itu beberapa hari setelah Idul Fitri, tahun ini.

“Hmmm… Eid Mubarak ya…”, sahut saya.

“Btw, salahku apa ya?”, saya menambahkan.

“Nah, ini nih. Salah satu salah kamu adalah nggak inget salahnya apa. Kan jadinya salah”, jawab dia.

“Pusing kan”, dia menambahkan.

“Beneran gak inget. Salahku apa ya… Aku minta maaf ya,” saya kembali menjawab.

“Yaelah Baaang. Baper amat. Canda…”, jawab dia.

“Kan masih lebaran”, balas saya.

“Eman salah lu banyak ke umat, soalnya situ ngeselin.. Iye sama-sama. Minal aidzin walfaizin”, jawabnya.

Percapakan tersebut ternyata mengalir saja. Hingga, pada beberapa bulan setelahnya saya berinisiatif membuka pembicaraan.

Saya jadi teringkat kata-kata Ariel Heryanto saat menyampaikan kuliah umumnya di Jakarta. Saya mendapatinya dari Youtube. Dia mengemukakan bahwa kalau kita mau maju, mau tidak mau kita harus melihat ke belakang. Apabila terus melangkah maju, mungkin masih merasa ada yang kurang, ada yang hilang, sehingga untuk maju perlu melihat ke belakang.

Jika itu sebagai kelupaan, kelupaan pun sebagai suatu keniscayaan. Ada yang pernah terlupakan dan ingin terlupakan, yang hilang dalam sejarah hidup kita. Jadi, tidak kemudian kehidupan tidak berjalan dengan tiba-tiba. Misalnya saat kita mencerna suatu kisah seseorang dengan seirngkali melihat tiba-tiba seseorang sukses. Tapi bagaimana dengan jalan menuju kesuksesan?

Sukses pun memiliki makna yang relatif. Seperti yang saya pernah chat dengan adik-adik mahasiswa kemarin bahwa sukses bisa jadi memiliki dua makna, yaitu sebagai suatu proses maupun sebagai suatu hasil. Tergantung sudut pandang mana kita melihatnya.

Entah. Apa yang terjadi pada diri saya. Saya baru menyadari itu belakangan. Saat saya membuka hati, saya merasa semacam ada tembok besar yang membuat saya bingung dengan diri saya. Saya merasa, ada sesuatu yang hilang tapi masih terkenang dalam ingatan dan perasaan.

Itu yang mungkin disebut oleh Professor Ariel bahwa ada kalanya kita untuk melihat ke belakang, sebelum untuk melangkah maju.

“Aku abis baca-baca chat di atas. Enggak tau jadi tetiba ingat chat kita tanggal 17 Juni. Iya, aku minta maaf salah dan khilafku ya,” saya memulai pembicaraan kembali.

“Apaan 17 Juni?” dia sambil menunjukkan screenshotnya untuk memastikan.

“Aku boleh ngomong? atau mungkin bertanya” jawab saya.

“Boleh kak. 🙂 Aku juga mau nanya”, dia membalasnya.

“Aku dulu tiba-tiba menghilang dan tidak ada kabar lagi. Di Facebook dan Twitter gak ada kabar. Dan bahkan kita anehnya belum pernah saling ketemu. Sata sama-sama di Tuban tahun 2013, beberapa bulan sebelum aku S2, kita sebenarnya sempat bertukar kabar tapi juga tidak ketemu. Tapi aku gak tau, sampai sekarang masih belum berani jatuh cinta lagi. Setidaknya aku udah lega uneg-uneg ini udah aku sampaikan ke kamu”, saya mengungkapkan.

“Aku jadi makin kesel sama kamu”, dia menjawabnya singkat.

“Dipuasin dulu keselnya. Terus kamu benci sama aku?”, timpal saya

“Engga, pingin gigit doank,” balasnya singkat.

“Astaghfirullah, aku kayak makanan aja”, balas saya kembali.

“Gak benci sih, kamu aku gak ketemu kamu aku gak bakalan tahu”, jawab dia.

“Gak bakal tau gimana”, tanya saya.

“Rasanya ditinggalin gitu aja. Buahahahaa… Jadi pas aku ditinggalin lagi aku udah terlatih”, dia menimpali jawaban kembali.

“Aku masih curious. Terus kenapa kamu gak jadi dosen lagi sekarang?” tanya saya.

“Izin belajar kan. Aku kuliahnya juga beasiswa Budi DIN. NIDN masih aktif. Insyaa Allah. Tapi, aku kayaknya mo nyerah tapi. Otak aku gak nyampe. :-(“, jawabnya kembali.

Dalam percakapan selanjutnya dia mengungkapkan bahwa sejak bertemu saya saat masih mahasiswa, dia memutuskan untuk mengambil spesialisasi yang sama dengan saya. Setelah lulus, dia juga turut mengambil jalan yang sama dengan saya, menjadi dosen. Saya baru tahu itu. Terima kasih sudah mengungkapkannya dengan jujur.

Saya jadi teringat beberapa tahun lalu. Saya saat hendak tidak lagi memberi kabar, sempat menuliskan secarik surat yang saya kirimkan ke emailnya, berjudul, “Secarik kisah daku tuliskan ke hadapan adinda”. Saya menuliskan rencana hidup saya ke depan, cita-cita saya, tujuan hidup saya. Saya tegaskan kepadanya bahwa saya ingin menjadi seorang ilmuwan. Saya yakin akan hal itu dan saya merasa perjalanan untuk mengejar idealisme tentu tidak semudah orang berimajinasi. Setiap tekad yang saya genggam, akan selalu saya perjuangkan. Saya harus sampai pada tujuan itu.

Saya juga menyampaikan bahwa saya nanti saat hendak menjadi seorang ilmuwan, akan mencari beasiswa. Saya juga menyadari bahwa bahasa Inggris saya tidak bagus-bagus amat. Tapi saya yakin, saya akan bisa, saya akan berjuang untuk itu. Saya akan mengejar impian itu semua dengan beasiswa. Nanti akan mengambil S2 dan selanjutnya S3 dengan beasiswa ke luar negeri.

Percakapan sempat terhenti. Saat itu saya Shalat Ashar dulu. Percakapan pun akhirnya juga mengalir.

“Ini kamu gak mau ngechat pake WA aja?,” tanya dia.

“Nomorku tetap”, sambil saya mengetikkan nomor Whatsapp saya.

“Jadi sekarang pakai WA kita?” saya menambahkan.

Beberapa saat setelahnya, saya menerima kiriman pesan Whatsapp: “😒”.

“Halo.. Ini nomor kayaknya saya agak kenal. Meski udah ndak aku save”, sapa saya.

“Iya, nomor aku gak ganti, dari SMA”, jawabnya.

“😅”, jawab saya singkat dengan smiley.

“Kamu lagi di mana?”, tanya dia.

“Di Jember”, jawab saya singkat.

“Selama idul adha :-)” jawabnya.

“Kayaknya uda ngucapin. Gak ada ucapan balik atau ucapan kedua kalinya…”, jawab saya.

“Emang aku gak boleh ngulangin?” tanya dia.

“😄”, jawab saya hanya dengan smiley.

“Kayaknya kamu kemarin abis dari dekat-dekat sini?” tanya dia.

“Iya. Kapan hari itu aku datang di konferensi internasional”, jawab saya.

“Oh iya. Aku tau”, jawab dia singkat.

“Kamu pacarnya yang mana?”, tanya dia.

“Should I repeat again?” saya bertanya balik untuk menegaskan.

“Kembali tanggal 17 Juni, saat kita chat. Aku saat itu masih di jalan menuju rumah Mbah sekaligus mau mampir ke rumah teman perempuan. Entah saya gak tau seperti apa hubungan dengan perempuan itu, yang jelas aku belum pernah menyampaikan kepadanya bahwa aku suka. Entah, akhirnya aku tidak jadi mampir. Aku selalu ragu. Dan ternyata sejak setelah aku tidak jadi datang ke rumahnya, dia bilang bahwa dia dijodohkan orang tuanya”, terang saya.

“Kenapa?” tanyanya.

“Gak tau… That is the most difficult question I truly do not know to answer”, jawab saya.

“Sejak sama aku kamu gak pernah pacaran?”, tanyanya kembali.

“Endak”, jawab saya singkat.

“Buahahah… Sama”, tegas dia.

“Ingin tanya apa lagi?”, tanya saya.

“Udah ah. berasa jaksa”, jawab dia.

“Aku sama tetap dingin kayak dulu? 😄”, sahut saya.

“Siapa? Kamu? Iya… Kzl banget”, jawab dia.

“Aku duga kamu itu bukan takut jatuh cinta tapi gak ada yang mau ama kamu”, dia menambahkan.

“Enak aja…”, jawab saya.

Pembicaraan terus mengalir. Dia menerangkan bahwa dia masih menyimpat surat yang saya kirimkan melalui email itu. Dia menunjukkannya dengan mengirimkan screenshot seluruh isi surat itu kepada saya.

“Aku dulu jek enggaknya ya… 😅”, sahut saya.

“Gemes ya gemes… the cutest love letter I have ever received. Ada footnotenya 😂”, timpal dia.

“Enggak.. Ini lucu. Kalau iseng masih sering aku baca. Hahahaha…”, dia menambahkan.

“Aku maaf. Masa-masa itu kemudian memang aku tidak ada kepastian, hilang. Memang waktu juga tidak pernah bisa kembali. Bukan tentang aku, tentang dirimu yang juga berhak bahagia. Entah dengan siapapun. Aku di sini bukan bermaksud untuk kembali atau menyesali. Aku tidak tau. Seandainya kamu mungkin lebih sedikit terbuka mungkin aku bisa mengerti perasaan dan posisimu. Aku tidak tau sekarang, apakah kita masih punya jalan yang sama atau berbeda”, Saya memulai pembicaraan yang tampak sedikit serius.

“Kalau emang beneran ngerasa salah, hal terbaik yang bisa kamu lakuin cuma tolong yangan ngulangin lagi. :-)”, dia menjawab.

“Engga. Bukan ke aku. Hahha…. Ke siapapun nantinya kamu mau. Aku sakit banget sumpah, kamu yang ngajak barengan, terus tiba-tiba hilang gitu aja. Tiap kali kamu balik ngasih kabar aja aku pasti bahagia banget. Gak pernah mikirn gengsi, tapi ternyata ngilang beneran sampe gak tau masih idup apa enggak. hahahaha”, jawabnya lagi.

“Toh itu dulu. Aku udah gak papa. Udah gak usah dibahas lagi ya,” jawabnya lagi.

“Satu lagi. Kalau bisa ya, kalau dichat dibales. Bukan diread doank. Kan ini chat, bukan jurnal”, dia menambahkan.

“Iya, ini udah dibales”, jawab saya singkat.

“Aaaaaah… Kzl”, dia menjawab kembali.

Tindakan saya ini mungkin akan terasa aneh bagi sebagian orang. Inikah yang disebut bahwa saya terlalu mengedepankan rasionalitas? Entah, pemahaman saya adalah saya perlu menyelesaikan masa lalu saya. Setidaknya, sebelum membuka hati yang baru, saya harus menyelesaikannya. Saya pernah menyatakan jatuh cinta. Dan, saya juga perlu menyampaikannya, untuk mengakhiri semua.

Chat-chat di atas memang sempat membuat hati saya terketuk kembali. Saya sempat baper. Tapi, saya merasa bahwa kita sudah memiliki jalan masing-masing. Setidaknya, ini adalah ikhtiyar saya, berusaha untuk menghapus luka masa lalu, untu masa depan masing-masing yang lebih baik. Dan untuk ini hanya Tuhan yang jauh lebih mengetahui.

Saya masih mengejar cita-cita, menjemput harapan dan menjalani masa depan saya, dengan penuh optimis. Saya harus bergerak maju, meskipun sempat tertatih, saat sebelum menengok ke belakang.

.
Read also the latest articles:

Leave a Comment