Menghilang dari Peredaran

Maaf sempat menghilang. Begitulah mungkin bagian dari karakter saya. Orang-orang yang mungkin pernah tersakiti oleh saya juga bakal paham dengan sifat yang sepertinya mendarah daging pada diri saya. Apa itu? Suka menghilang, entah tanpa kabar maupun bertegur sapa. Bukan begitu juga sebenarnya. Saya belakangan relatif tidak bisa meluangkan waktu untuk menuliskan cerita. Saya menulis lain, untuk draft jurnal, selain membaca referensi penelitian, download artikel dan banyak lah. Cuaca di sini juga terlalu dingin. Sepertinya saya butuh adaptasi yang tidak cepat. Ya, begitulah. Saya juga tidak mudah beradaptasi untuk bisa lekas move on. 🙁

Hari ini saya baru berkesempatan menuliskan cerita kembali. Setelah satu bulan. Ternyata Sudan cukup lama juga. Padahal saya ingin menuliskan satu hari satu cerita. Pada kenyataannya, saya tidak sanggup. Waktu itu, saya sebenarnya ingin berhenti menulis selama satu minggu saja, ternyata sampai berhari-hari hingga hampir satu bulan lamanya.

Oh ya, saya tegaskan kembali. Kenapa saya berhenti update artikel, Karena saya ada beberapa draft artikel yang harus segera submit. Alhamdulillah, Salam satu bulan saya absen, Sudah ada dua artikel saya submit di jurnal berbahasa Inggris.

Saya mungkin akan update artikel lebih sering, meskipun tidak setiap hari. Mungkin seminggu sekali. Atau beberapa hari sekali, saat saya rasa punya waktu luang untuk menuliskan cerita.

Pertama-tama saya akan sedikit flashback ke belakang. Dalam satu bulan terakhir, suhu udara semakin dingin saja. Kadang hujan rintik-rintik. Wajah kota secara perlahan memerah. Dedaunan yang tadinya berwarna hijau menjadi kuning dan sebagian memerah. Dedaunan tiga warna ini hanya terjadi di musim gugur, sebelum musim dingin datang.

Sebenarnya, saat saya datang ke Jepang di awal Oktober 2018 kemarin, Jepang sudah memasuki musim gugur. Namun pada minggu-minggu ini lah, di akhir bulan November, puncaknya musim gugur, dengan segala keindahannya.

Memang, pemandangan musim gugur tampak indah. Tapi tahukan kalian, suhu udara semakin menurun. dari yang awal kali saya sampai Jepang sempat 23 derajat celcius, paling rendah 17 derajat celcius, sekarang berbeda. paling tinggi bahkan sempat 14 derajat celcius. Minggu ini sempat tercatat suhu udara terendah di smartphone saya mencapai 3 derajat celcius. Bagi orang Indonesia seperti saya, tentu suhu udara rentang 14 sampai 3 derajat celcius itu dingin sekali. Bahkan, saya masih ingat saat kecil dulu sehabis hujan-hujanan maupun kehujanan sepulang sekolah, sepanjang jalan sejauh 4 km menaiki sepeda pancal menuju rumah, sudah terasa betapa dinginnya. Ataupun saat pulang dari kampus menuju rumah sejarak 32 km menaiki sepeda motor, sesampai rumah saya langsung berlindung di balik jaket dan selimut.

Pengalaman saya di sini kurang lebih begitu juga. Memang, saya tidak begitu tahan dingin. Meskipun saya sendiri kalau sama perempuan yang saya sukai tiba-tiba menjadi sangat dingin.hehee…

Bukan. Bukan itu maksudnya. Saya sangat tidak tahan dingin di sini terlihat saya di awal-awal suhu tertinggi di bawah 15 derajat celcius itu, tidak lepas dari yang namanya selimut. Bahkan saya sempat beli sarung tangan, dua alas kaki, dua jaket, satu baju tebal, satu sweater. Karena, saya tidak membawa pakaian yang relatif tebal dari Indonesia. Asumsi saya, saya bakal bisa membeli pakaian di Jepang. Karena, saya berpikiran lebih mending kopor bagasi saya penuhi dengan Indomie. Ya, Indonesia. Pengalaman saat saya S2 alangkah bahagianya kami mahasiswa saat bertemu dengan yang namanya Indomie. Oh iya, di Jepang ada sih Mie Sedaap. Harganya 100 Yen atau sekitar 13.500 rupiah. Selisih sepuluh ribu? Iya.

Oh iya. Saya sudah makan di kantin kampus. Saya selalu minta referensi dari Mas Bangkit kantin mana aja yang bisa dicoba. Kali pertama, saya diajak di kantin belakangnya kampus School of Environmental Studies. Setelah itu referensi lain adalah kantin di sampingnya Graduate School of Engineering. Letaknya tepat di samping Akasaki Institute. Ngomong-ngomong lembaga penelitian Akasaki Institute sudah menelorkan profesor yang mendapatkan penghargaan Nobel Laureate tahun 2013. Kembali ngomong kantin ya. Kantin ini lebih jadul dari kantin pertama. Cuma saya lebih suka di kantin ini, karena kalau makan di sini saya bisa kenyang. Secara umum yang saya lihat, kantin ini menyediakan banyak makanan nasi. Kalau kantin sebelumnya lebih banyak ramen. Pilih yang mana kalian?

Leave a Comment