Selamat datang 2019!

Tidak terasa kita telah membuka lembaran 2019. Sejak dituliskannya artikel ini, lembaran 2019 sudah telah berlalu hampir satu bulan lamanya. Banyak harapan dan kesempatan baru yang hendak ditorehkan, menjadi catatan penting dalam perjalanan hidupku. Dan sebelum aku banyak bercerita panjang, inginku tuliskan selamat datang 2019!

Tidak terasa perjalananku sudah berlangsung satu dekade lamanya. Satu dekade aku menjalani kehidupan dalam masa pencerahan. Satu dekade aku memacu optimisme dan percaya bahwa aku dapat melakukan apa saja, berhasil pada jalan apa saja yang aku yakini. Satu dekade kebangkitanku menjadi seorang pemimpi yang meyakini dapat memimpin perubahan-perubahan besar yang dimulai dengan perubahan kecil, oleh tindakanku.

Menengok perjalanan satu dekade 
Sepuluh tahun lalu aku memulai milestone dalam hidupku. 2009 adalah tahun di mana aku pertama kali mendapatkan penghargaan nasional dalam sebuah lomba menulis. Sekaligus, tahun itu aku menjadi pelopor lahirnya sebuah komunitas intelektual di kampusku. Kini, komunitas itu berevolusi menjadi organisasi primadona para mahasiswa yang berisi kumpulan intelektual.

Tidak lama setelah itu, aku juga memenangkan lomba debat nasional. Setelah berjuang hampir satu tahun lamanya, akhirnya bersama dua rekan lainnya kami dapat merebut juara melawan mahasiswa dari kampus-kampus top nasional. Setahun kemudian, sebelum lulus jenjang sarjana, melalui seleksi yang relatif ketat, aku terpilih menjadi mahasiswa berprestasi Universitas Jember.

I did not think to have all those achievements before.

Itu semua aku yakini sebagai the journey of excellence. Perjalanan yang mengantarkanku pada tahap yang lebih baik lagi, peningkatan kualitas diri, menjadi seorang pemuda yang meyakini memiliki kontribusi untuk negeri ini.

Hingga, saat kelulusan tiba. Aku sarjana. Aku bangga. Aku berhasil meraih apa yang diinginkan, menjadi sarjana lulusan universitas negeri. Itu menjadi trajektori baru dalam hidupku, baru kali itu aku berhasil lulus dari institusi negeri. Semua pendidikanku pada jenjang sebelumnya adalah sekolah swasta. Setidaknya itu telah menjadi penawar optimisme setelah tidak diperkenankannya aku sekolah pada SMA negeri oleh orang tua. Aku membuktikan sebagai seorang yang kompetitif, memiliki daya saing, kemampuan. Aku mencapainya.

Setelah kelulusan, ternyata pengalaman mengantarkanku pada paradoksal. Lulus dari kampus negeri tidaklah cukup. Aku merasa banyak hal yang masih belum aku dapatkan. Aku merasa masih banyak pesaing berat lainnya yang membuat aku harus semakin meningkatkan kemampuanku agar dapat memiliki daya saing yang lebih baik. Baik saat mencari pekerjaan maupun mencari beasiswa. Ijazah dari kampus negeri bukanlah satu-satunya parameter menunjukkan kualitas. Melainkan, adanya tuntutan lain yang membuatku memiliki keterampilan dan kemampuan lain yang harus aku kejar.

Perjalanan mengejar beasiswa mengantarkanku mendapatkan beasiswa ICCR. Aku diterima kuliah master di India dengan beasiswa yang diberikan oleh Pemerintah India. Perjalanan itu membutuhkan waktu hampir dua tahun sejak kelulusanku dari jenjang sarjana. Banyak hal yang aku pelajari dari proses mendapatkan beasiswa itu, khususnya saat belajar bahasa Inggris. Tadinya aku sempat berpikir bahwa bahasa Inggris itu cukup mudah apalagi nilai bahasa Inggrisku saat SMA sudah cukup bagus. Kenyataannya, kemampuan bahasa Inggris memiliki standar kefasihan yang diukur dengan TOEFL maupun IELTS. Untuk mencapainya, mendapatkan nilai yang layak, membutuhkan perjuangan dan kerja keras.

Aku mengambil kursus, latihan mandiri. Selain itu aku mencoba membiasakan mendengarkan musik berbahasa Inggris dan memaksa diri untuk suka menonton movie. Aku tidak begitu suka menonton film. Tapi, tuntutan pembiasaan diri membuat aku harus bersedia belajar dan membiasakan diri dengan menonton film berbahasa Inggris. Ini juga berlaku pada bahasa handphone yang harus berbahasa Inggris, akun Facebook, Twitter dan blog yang juga berbahasa Inggris. Hehe….

Tidak semua pencapaian itu didapatkan dengan begitu saja, dengan cara yang mudah. Aku meyakini untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu semuanya membutuhkan perjuangan dan semangat yang tak kenal menyerah.

Hingga pada akhirnya, seluruh perjuangan itu mengantarkan aku saat ini menjadi dosen di kampus saat aku belajar pada jenjang S1. Namun itu semua setelah aku berhasil lulus master. Aku bergelar Master of Laws (LLM) dari kampus India.

Kegiatan yang aku tekuni saat menjadi dosen tidaklah begitu berbeda dengan apa yang aku lakukan saat masih menjadi mahasiswas S1. Apabila saat S1 kegiatan sering dari kampus ke kampus untuk lomba, baik lomba menulis maupun lomba debat, saat menjadi dosen aku lebih disibukkan dengan kegiatan konferensi. Saat S1 menjadi aktivis organisasi keilmuan, saat menjadi dosen aku memutuskan diri menjadi aktivis jurnal. Selain menulis artikel untuk diterbitkan di jurnal, aku juga bertanggung jawab mengelola jurnal kampus dan mengantarkannya menjadi jurnal terakreditasi. Aktivitas lain, aku berkesempatan menjadi visiting research scholar di Japan sekitar tiga bulan dengan tanggung jawab menghasilkan draft artikel yang berkolaborasi dengan profesor di tempat aku melakukan penelitian itu.

Satu dekade berikutnya
Ada merasa ada hal masih terasa mengganjal. Belakangan aku tau, ternyata ada cita-cita yang masih tertunda. Aku masih menunda cita-citaku untuk mengambil program doktoral di luar negeri dengan beasiswa. Itu adalah cita-cita yang sudah aku tanam sekitar 15 tahun lalu, saat masih MTs kelas 8. Aku ingin menjadi bagian dari ilmuwan internasional dan Albert Einstein adalah tokoh yang sangat menginspirasiku hingga sejauh ini.

Tahun 2019 adalah perjalanan untuk memulai satu dekade berikutnya, untuk mewujudkan cita-cita, mengejar impian, agar dapat menjadi orang yang berguna. Awal tahun ini aku mulai dengan persiapan untuk mendapatkan beasiswa luar negeri. Aku setiap akhir pekan ada kelas IELTS Preparation di Surabaya sebelum aku benar-benar yakin mengambil IELTS sebagai syarat untuk melamar beasiswa. Ada beberapa daftar beasiswa yang akan aku jajaki yang aku selalu berharap semog beruntung mendapatkan salah satunya.

Sama seperti sebelumnya, aku sadar bahwa semua membutuhkan perjuangan, kerja keras dan kesabaran. Semuanya sedang aku persiapkan dengan baik, dengan seksama.

Tapi, perjalanan satu dekade berikutnya tidak sekedar tentang beasiswa. Ada dorongan kuat pada diriku untuk semakin membuka cakrawala baru. Aku ingin menyusuri berbagai daerah, kota, negara. Aku ingin melebarkan pengalaman traveling. Aku meyakini, kelak semua pengalaman itu akan mengantarkanku untuk membuatku mampu mendefinisikan diriku, mematangkan kepribadian, memperluas wawasan dan kebijaksanaan tentang kehidupan. 😀

Pada titik ini, saat ini, refleksi diri mengantarkanku pada satu pemahaman. Kita hidup adalah untuk mengisi kehidupan itu, mencatat sejarah-sejarah baru. Karenanya, aku tak mau hidup harus disibukkan dengan pekerjaan dan ketertundukan pada orang lain. Aku adalah orang yang merdeka dan kemerdekaan itu aku pergunakan dengan memerdekakan pikiranku, pengalamanku, pengetahuanku. Aku sedang mencari titik keseimbangan.

 

Salam hangat dari Surabaya!

Stasiun Gubeng, di pagi hari.
Sabtu, 26 Januari 2019

Leave a Comment