Ah, Sudahlah
Ah, sudahlah. Angin itu masih terlalu kuat. Angin di pesisir itu masih ingin terus berdesir menghabiskan malamnya. Tak berharap banyak dari malam ini kecuali kedatangan pagi esok. Namun pagi pun masih lama dan barak-barak tampak mulai hancur. Di ujung persimpangan empat menuju jalan perkampungan itu daun-daun muda kian berguguran. Di samping bebatuan di balik bukit itu, pepohonan mulai roboh berderet menutup bahu jalan.
Entah apa yang terjadi esok jika matahari tak yakin bisa menampakkan dirinya, ketika bulatan sinar terangnya meredup. Entah juga apa yang terjadi saat kedatangan sinar sang surya esok disambut dengan selimut kabut pekat, isyarat rencana langit segera mengguyur perkampungan itu.
Pagi pun menjelang. Dan benar, semuanya itu benar. Bulatan sinar matahari tak kuasa menembus pekatnya kabut hitam. Langit menangis. Doa-doa terus dilantunkan, doa-doa orang kampung yang tinggal di bukit pegunungan. Mungkin dengan cara ini setidaknya dapat menenangkan hati mereka di tengah hari-hari tanpa pengharapan. Namun apalah arti setiap doa apabila itu tanpa tindakan di hari kemarin, apalah arti doa apabila itu sudah terlambat. Tampaknya tak sekalipun doa bisa menggagalkan rencana langit yang menggelapkan pagi ini.
Hanya ada satu cara di tengah keterbatasan. Bara api di belakang rumah gadis jelita itu. Ya, bara api di belakang rumahnya masih menyala. Penduduk yang lain ikut pula menyalakan bara api di depan rumahnya. Kepala kampung juga ikut memastikan agar bara tetap menyala di sudut-sudut kampung, menerangi gelap gulita di pagi hari. Bara api itu setidaknya untuk memastikan masih ada titik cahaya di bawah gumpalan kabut pekat, mendamaikan suasana.