Insularitas akademis membuat Indonesia tertatih dalam dunia riset sosial

Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar keempat di dunia. Indonesia juga adalah ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Sayangnya, dalam hal riset dan publikasi ilmiah menyangkut topik-topik mendesak seperti pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan dan inovasi, kita kalah  dibandingkan negara-negara dengan produk domestik bruto (PDB) lebih rendah; termasuk di antaranya Bangladesh, Kenya, dan Nigeria.

Analisis sosial yang mawas sejarah, politik, sistem sosial, dan perilaku manusia yang juga didukung bukti empiris amat penting untuk memastikan pengambilan kebijakan yang tepat sasaran dan berkelanjutan. Analisis mendalam juga penting untuk memahami masyarakat di tempat kita hidup.

Hingga kini, karya ilmiah mengenai masyarakat Indonesia lebih banyak ditulis oleh peneliti dari negara selain Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa dibandingkan negara-negara tetangga, institusi pendidikan tinggi di Indonesia tidak terlalu efektif menghasilkan kesarjanaan sosial.

Sementara itu, sekitar 74% riset sosial di Indonesia yang dijalankan di universitas negeri adalah penelitian terapan pesanan yang tidak berfokus pada pemahaman mendasar mengenai perubahan masyarakat kita. Akibatnya, masyarakat Indonesia kerap gagap menghadapi fenomena sosial yang seolah terjadi tiba-tiba, padahal secara historis merupakan bagian dari proses panjang yang dapat diidentifikasi melalui penelitian.

Kenapa hal ini terjadi dan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya?

Saya melakukan sebuah riset kolaboratif di bawah Pusat Kajian Komunikasi, Universitas Indonesia, the Centre for Innovation Policy and Governance, dan the Asia Research Centre, Murdoch University Australia untuk menjawab pertanyaan ini.

Temuan kami menunjukkan bahwa di bidang ilmu sosial, otonomi universitas negeri untuk mencari pemasukan selain dari anggaran negara telah menghasilkan komersialisasi jasa pendidikan dan penelitian yang tidak berhubungan langsung dengan kualitas akademis.

Selain itu, birokrasi universitas negeri belum efektif mendukung riset unggulan. Sistem rekrutmen dosen yang cenderung tertutup, dosen yang lebih menyukai menetap di lembaganya untuk melanjutkan pendidikan tinggi, mekanisme penilaian kinerja dan struktur gaji yang tidak berorientasi pada prestasi akademis, serta tingginya pemasukan universitas dari pasar mahasiswa; semua berkontribusi terhadap kondisi akademis yang insuler.

Insularitas akademis berarti dosen-dosen ilmu sosial cenderung tertutup, hanya melakukan riset di disiplinnya saja, dan tidak mahir mengkomunikasikan risetnya ke publik. Kondisi ini tercipta karena birokrasi pendidikan tinggi yang mempersulit kolaborasi akademis akibat rumitnya peraturan.

Universitas negeri dan mekanisme pasar

Sejak 2000, pemerintah Indonesia mengizinkan universitas negeri mencari dan mengelola pendapatan sendiri agar dapat mendanai kegiatan akademis secara mandiri, termasuk penelitian.

Hal ini—dibarengi dengan peningkatan jumlah beasiswa dan anggaran riset untuk universitas negeri oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi—bertujuan untuk mendorong penelitian dan publikasi ilmiah dalam rangka menyikapi internasionalisasi pendidikan tinggi.

Antara tahun 1970 hingga 1990-an, penelitian yang dilakukan universitas negeri relatif hanya untuk memberikan legitimasi atas kebijakan pembangunan negara. Di bawah rezim Orde Baru, akademisi lebih menyerupai teknokrat ketimbang ilmuwan, menghasilkan riset pesanan pemerintah. Penelitian mendasar serta publikasi ilmiah tidak diutamakan.

Kebijakan pemerintah untuk mendorong universitas negeri menjadi skala internasional belum berhasil mendukung kawin silang keilmuan dan penelitian. Justru, universitas negeri menggunakan otonomi yang ada untuk meningkatkan biaya perkuliahan dan jumlah mahasiswa, sementara juga menjalankan riset dan pelatihan untuk pemasukan.

Sehingga, akademisi di Indonesia tidak ubahnya pekerja di sektor jasa, yang menghadapi sistem yang semakin terpengaruh oleh mekanisme pasar. Mereka harus mengambil beban mengajar yang tinggi karena banyaknya jumlah mahasiswa. Data tahun 2014/2015 menunjukkan di antara 638 perguruan tinggi, hanya 55 di antaranya universitas negeri (8,6%); namun 56.8% dari keseluruhan mahasiswa terdaftar di sana. Data yang sama menunjukkan setiap satu pengajar di universitas negeri menangani rata-rata 33 mahasiswa, bandingkan dengan 16 mahasiswa untuk pengajar swasta.

Akademisi didorong untuk menjalankan riset yang menambah pendapatan lembaga mereka. Di saat yang sama, universitas tidak diminta untuk mengungkapkan kepada publik seberapa besar dana yang mereka terima dari kegiatan komersial tersebut.

Birokrasi dan insularitas

Sementara universitas negeri diizinkan menerima pendapatan selain anggaran negara, sistem rekrutmen dan administrasinya masih mengikuti model birokrasi negara. Sistem ini tidak mengapresiasi capaian akademis.

Kebanyakan akademisi di Indonesia berstatus pegawai negeri. Promosi akademisi berstatus pegawai negeri mengikuti sistem kenaikan pangkat yang berlaku di Badan Kepegawaian Negara; sehingga akumulasi kredit atau “kum” belum berkaitan secara langsung dengan kualitas kesarjanaan seorang ilmuwan sosial.

Kebanyakan peneliti Indonesia di universitas negeri yang paling aktif berusia di atas 50 tahun, yang direkrut melalui sistem tertutup. Universitas negeri cenderung mempekerjakan lulusannya sendiri. Ada juga kecenderungan alumni untuk mengajar dan melanjutkan ke gelar lebih tinggi di institusi yang sama.

Oleh karena itu, dosen tetap lebih sering memikirkan agenda riset pribadinya, yang seringkali berupa penelitian terapan yang menambah pendapatan; ketimbang berinteraksi dengan sejawat akademisnya secara internasional.

Sebagai konsekuensi, dari 354 akademisi yang diteliti dalam riset kami, hanya 28 yang pernah menerbitkan artikelnya di jurnal yang masuk basis data Scopus.

Dari 28 orang ini, 90% berbasis di pulau Jawa yang lebih dekat dengan akses sosial dan ekonomi. Hanya 8% yang pernah mengambil cuti akademis (sabbatical leave), dan 55% tidak mengetahui apakah riset mereka pernah dikutip dalam studi lain.

Banyak di antara para peneliti memegang jabatan berganda—misalnya menjadi manajer, ketua program studi, ketua pusat studi, dan sebagainya—di atas beban mengajar, meneliti, dan pengabdian masyarakat.

Penelitian kami menunjukkan bahwa sarjana sosial di Indonesia kekurangan mobilitas akademis antar-institusi dan negara. Situasi ini membentuk budaya insuler yang merongrong produktivitas akademisi Indonesia di dunia yang sejak dulu sudah rendah.

Membangun aliansi

Indonesia membutuhkan jaringan sarjana, dalam jenjang karir yang beragam, dari berbagai universitas dan organisasi riset di Indonesia dan luar negeri, untuk memperdalam interaksi akademis.

Aliansi ini harus dibangun untuk mendorong reformasi riset di organisasi mereka masing-masing dengan memenuhi aspirasi internasionalisasi pemerintah. Sampai titik tertentu, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademisi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), di mana saya adalah anggota, berniat mengawali hal ini.

Namun, meskipun asosiasi ini melengkapi beberapa sarjana Indonesia dengan keterampilan dan jaringan global yang bermanfaat untuk mendukung pengembangan riset di universitas tempat mereka bekerja, perubahan hanya bisa dicapai jika kebijakan, alokasi anggaran, dan kepemimpinan di tiap universitas ditujukan untuk memupuk budaya sejawat (peer culture).

Hanya melalui budaya sejawat produksi karya akademis dapat menjadi norma, sehingga yang menjadi hal yang janggal adalah seorang akademisi yang tidak meneliti dan menulis dan bukan sebaliknya.


Tulisan ini diterjemahkan dan diperbarui dari Insularity leaves Indonesia trailing behind in the world of social research.

Sumber: theconversation.com

Leave a Comment