Kereta, Visa dan Amerika
Sekarang saya dalam perjalanan menuju surabaya. Tiga hari yang lalu, saya baru saja dari Surabaya. Saya ke Surabaya adalah untuk mendapatkan visa dari Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya. Sebelumnya, saya mengajukan permohonan visa dan hari ini saya mengambil visa. Pengurusan visa tersebut dalam rangka saya akan melakukan penelitian di Jepang selama tiga bulan. Selama sekitar 80 hari. Dari kegiatan ini, saya ditargetkan dapat menghasilkan satu draft artikel untuk dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi.
Dalam satu tarikan lokomotif yang beberapa menit membunyikan sirine itu, saya duduk di gerbong 4, tempat duduk 10D. Di depan saya adalah seorang gadis cantik yang jemarinya tampak sibuk menari-nari di atas handphonenya. Sebelum saya duduk, dia memperkenalkan diri sebagai mahasiswa saya di Fakultas Hukum UNEJ. Dia bercerita bahwa dia hendak pulang ke rumah karena hari Jum’at tidak ada perkuliahan. Di samping saya, seorang bapak yang menyambut saya bahwa di Fakultas Hukum UNEJ dia memiliki kawan akrab sebagai dosen senior. Dosen tersebut adalah tim teaching saya.
Dunia memang sempit. Saya tidak habis pikir, hampir di mana-mana bertemu dengan mahasiswa, bukan di kampus saja. Entah di warung makan, di kafe, di rumah sakit, di bank, di beberapa tempat saya traveling, di bandara, di stasiun dan termasuk di dalam gerbong kereta ini. Tidak hanya itu, saya juga seringkali berkenalan dengan orang yang ternyata dia adalah teman dari teman bermain saya, teman kantor saya, hingga teman mantan saya. Masih sesempit itu!
Baru kemarin saya berdiskusi dengan adik angkatan dan saya menegaskan patriarki di Indonesia masih sangat kuat. Atau, setidaknya dari sejauh pengalaman hidup saya sejak mulai belajar bernalar dan bernegosiasi dengan paradoks-paradoks patrimornial dalam tradisi Jawa. Pagi ini, sebelum perjalanan menuju surabaya, saat saya sarapan di kantin kampus, sempat terbesit dan tertarik berpikir tentang patriarki. Di masyarakat ini, hampir semua topik umum pembicaraan juga tidak pernah jauh-jauh dari itu.
Seperti apa yang baru saja Bapak yang duduk di samping saya tanyakan. Dia menanyakan saya usianya berapa, apakah sudah menikah, kenapa belum menikah, kenapa tidak cari dosen, atau cari mahasiswa saja? Itu adalah pertanyaan umum dan memang sudah selazimnya sering kita jumpai di mana-mana. Itu semacam topik pembuka diskusi antara dua orang yang masih belum saling mengenal dan membicarakannya di ruang publik. Itu sangat membosankan. Lebih lanjut, entah kenapa dan apa tujuan pertanyaan itu menjadi sering sebagai topik utama saat bertegur sapa.
Mungkin itu hal-hal yang biasa. Hal lumrah yang pada satu sisi tidak perlu dipermasalahkan. Melainkan, harus diterima sebagai suatu keyakinan, bahkan sebagai norma dan tradisi sosial turun-temurun sebagai sistem sosial.
Perkenankan saya untuk meyakini bahwa suatu nilai masyarakat berlaku bukan karena mereka itu semata-mata sebagai suatu kemutlakan. Melainkan, juga karena tidak adanya wawasan yang kritis tentang suatu keadaan dan bagaimana masyarakat itu perlu berevolusi sebagai bagian dari pembangunan peradaban. Terkadang kita perlu meninjau dan menegosiasi ulang tatanan status quo untuk mewujudkan masyarakat yang lebih dinamis. Atau sebaliknya, tidak adanya wawasan yang luas dan kedalaman argumentasi akan menegaskan suatu keyakinan apa yang ada di masyarakat itu memang benar adanya dan mutlak harus diterima. Mari kita coba sedikit merenungkan ini sejenak!
Bagi saya ini tema yang tidak pernah mengalami perubahan, kemajuan, modernisasi. Tidak hanya itu, sampai saat ini saya juga tidak pernah bisa menemukan tujuan utama topik-topik itu ditanyakan dan diperbincangkan. Semua seringkali berakhir dengan tanpa kesimpulan, kabur, tanpa solusi.
Selanjutnya Bapak tersebut menanyakan tujuan saya ke mana. “Mau ke Konjen Jepang, Pak. Bikin Visa” jawab saya.
“Oh mau ke Jepang ya? Apa kuliah lagi?” Tanyanya kembali.
“Cuma mau penelitian, Pak. Kalau S3 saya masih ingin di negara English speaking country, Singapura atau Hong Kong” sahut saya.
Saya pun kemudian melanjutkan aktivitas saya, membuka laptop dan mengetik beberapa paragraf artikel jurnal. Itu semacam hal yang sudah menjadi biasa saat di perjalanan. Saya sangat menikmati perjalanan. Perjalanan hingga 30 jam dengan kereta api di India pun pernah berkali-kali lakukan. Perjalanan itu saya gunakan hal-hal yang lebih bermanfaat. Misalnya, bertegur sapa dengan orang lokal, membaca buku hingga mengetik di laptop.
Tidak terasa, lokomotif pun akhirnya mulai bergerak ke arah Stasiun Gubeng. Ada pengumuman bahwa kereta hendak sampai stasiun tersebut. Di sela-sela itu, Bapak tadi bercerita kembali bahwa dia memiliki anak yang kerja di Jakarta sebagai ajudan. Sambil mengusap-usap smartphone-nya, dia mengetik di bagian explorer Instagramnya. Dia menceritakan bahwa itu adalah anak laki-lakinya yang fotonya dengam background gedung di Amerika dan Eropa.
Pembicaraan kami akhiri dengan masing-masing berkemas karena kereta sudah berhenti.
.
Artikel Terkait: