Menyikapi Pemberlakuan Recall

Oleh Muhammad Bahrul Ulum *

(Dimuat di Kolom Opini Radar Jember – Kamis, 14 April 2011)

Sekiranya masyarakat Jember masih belum lupa akan proses pemejahijauan MZA Djalal dan Kusen Andalas lantaran kasus korupsi yang menjeratnya sehingga berdampak pada keterlambatan pembahasan RAPBD 2011. Konflik politik demikian pula peliknya sehingga memegang peranan penting dalam pembahasan RAPBD yang berakibat terganggunya jalan pemerintahan Kabupaten Jember.

Akibatnya, Jember terancam kehilangan pemasukan Rp 8,104 Miliar dari bagi hasil Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagaimana surat Menteri Keuangan yang belum pula ditindak lanjuti dengan membahas rancangan peraturan daerah tentang BPHTB tersebut.

Kali ini tersebut nama Lilik Niamah dan Mahfudi Husodo, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan pasangan suami istri. Sebagaimana kita saksikan bersama, Dewan Pengurus Wilayah PKS Provinsi Jawa Timur telah memecat dua kader tersebut. Betapapun dikenal sosok wanita disiplin dan kritis, Niam harus ‘legowo’ dan mengakhiri perjuangannya untuk menyuarakan kepentingan masyarakat di Komisi B DPRD Kabupaten Jember.

Keduanya diberhentikan oleh usulan partai politik yang bersangkutan. Kini, politisi tersebut tinggal menunggu pemberhentian antarwaktu yang diusulkan pimpinan partai politik yang bersangkutan kepada pimpinan DPRD Kabupaten Jember (recall) dengan tembusan kepada gubernur.

Istilah recall sudah tidak asing lagi bagi masyarakat yang bergelut di dunia hukum tata negara maupun politik. Meski dengan merujuk ketentuan peraturan perundang-undangan tidak akan kita jumpai terminologi recall, namun tetap diadopsi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu sebagai proses penarikan kembali anggota lembaga perwakilan rakyat untuk diberhentikan dan digantikan dengan anggota lainnya sebelum berakhir masa jabatan anggota yang ditarik tersebut. Hal demikian yang kemudian oleh Tomassen dikatakan, “recall recht het rechts van een politieke partij oom een via haar kandidaten lijst gekozen parlement lid terug te roepen.” (hak recall merupakan hak suatu partai politik untuk menarik kembali anggota parlemen yang terpilih melalui daftar calon yang diajukannya).[1] Inilah yang kemudian UU 27 Tahun 2009 tentang Susduk DPR, DPD dan DPRD mengatur recall dalam Pasal 383 menentukan anggota DPRD berhenti antarwaktu karena meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan.

Bagi anggota DPRD, pemberhentian antarwaktu dilakukan karena beberapa alasan. Pertama, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD selama 3 bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun. Kedua, melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD. Ketiga, dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara atau lebih. Keempat, tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah. Kelima, diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keenam, tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu. Ketujuh, melanggar ketentuan larangan dalam UU Susduk. Kedelapan, diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kesembilan, menjadi anggota partai politik lain.

Patut diakui recall sebagai mekanisme pemberhentian yang tak luput dari kepentingan politik karena proses dan usulannya pun melalui partai politik. Meski recall dapat terjadi karena faktor like or dislike, pengaturan recall telah dibungkus manis bersatu padu dalam UU sehingga tindakan tersebut adalah sah menurut hukum.

Berkelindan dengan itu, merupakan sine qua non antara partai politik dan lembaga perwakilan rakyat dalam sebuah negara yang membumikan dirinya demokrasi. Maurice Duverger melihat pada umumnya perkembangan partai politik senantiasa berjalan linier dengan perkembangan demokrasi. Di sinilah, letak partai politik sebagai lembaga artikulasi kepentingan dan aspirasi rakyat sekligus sebagai konsekuensi dari suatu sistem perwakilan dalam demokrasi.

Dalam konteks konstitusi, partai politik merupakan peserta dalam suatu pemilu yang memilih anggota lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD). Proposisi ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan yang menyebutkan peserta pemilu untuk memilih anggota DPR/DPRD adalah partai politik. Akibatnya, penempatan anggota DPR/DPRD merupakan pemberian mandat dari sebuah partai politik.

Permasalahannya, apakah keanggotaan seseorang sebagai anggota DPR/DPRD merupakan kewenangan mutlak partai politik yang notabene sebagai peserta pemilu ataukah masing-masing anggota DPR/DPRD memiliki kemandirian yang terlepas dari partai politiknya? Hal demikian yang membuat permasalahan dalam lembaga perwakilan kita.

Intervensi partai politik sangat dominan memengaruhi independensi para anggotanya yang dikendalikan pimpinan partai dengan dalih melakukan pelanggaran anggaran dasar dan rumah tangga partai. Pertanyaannya bagaimana ketika nantinya anggota partai politik tersebut di DPR/DPRD bersikap kritis dengan membela kepentingan masyarakat kecil, namun dalam kondisi tertentu sikapnya bertentangan dengan anggaran dasar dan rumah tangga serta kebijakan partai? Dalam kondisi demikian, dua hal yang akan dipertaruhkan, yaitu antara mendekam dalam barisan partai politik dengan mengingkari makna dan hakikat demokrasi atau berpihak pada jerit rakyat namun harus rela untuk segera angkat kaki sebagai wakil rakyat.

Dewasa ini, tututan penghapusan recall telah kembali menjadi gelombang pro-kontra karena melihat melalui pemberlakuan recall berakibat banyak wakil rakyat menjadi tidak kritis, atau setidaknya mereka takut menyuarakan asiprasi rakyat. Mulanya, kali pertama di era reformasi telah berhasil meniadakan recall dengan UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik dan UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susduk MPR, DPR dan DPRD, kecuali karena alasan meninggal, mengundurkan diri atau dijatuhi hukuman pidana dengan kualifikasi tertentu. Namun, recall dimunculkan kembali sesaat setelah reformasi konstitusi hingga saat ini lantaran  fenomena perilaku para anggota lembaga perwakilan rakyat yang cenderung korup dan amoral.[2]

Namun demikian, demi khittah demokrasi sekiranya recall tetap harus dihapuskan atau setidaknya terhadap sanksi pemecatan anggota partai oleh partai politik perlu dihadapkan pada mekanisme hukum (proses peradilan) sehingga keadilan tetap dijunjungtinggi dan suara yang diberikan rakyat pada pemilu kepada anggota partai yang bersangkutan tidak dapat dengan mudah diciderai oleh kepentingan partai.

 ***

 *Manajer Bidang Penelitian Forum Kajian Keilmuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember (FK2H FHUJ)

[1] M. Hadi Shubhan, Recall: Antara Hak Partai Politik dan Hak Berpolitik Anggota Parpol, Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor  4, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, hlm. 46.

[2] Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta, Rajawali Pers, 2010, hlm. 168.

.

Artikel Terkait:

 

Leave a Comment