Sebuah Catatan
Kawan, awalnya ku enggan tuliskan ini, karena ku pikir tiada arti. Mengapa menulis jika tiada lagi yang peduli. Biarlah sudah, ingin saja ku tulis apa yang telah dan tengah ku pikirkan. Mungkin saja berguna atau sebaliknya dan boleh saja orang berkata iya ataupun tidak. Menerima ataupun menolak. Menurutku mustahil jika semua sama padahal berbeda begitu pula sebaliknya.
Ku rasa hidup itu selalu berubah dan tak akan terhenti sedetik pun. Tapi aku heran, kadang pikiran dan angan itu sempat terhenti. Terhenti begitu lama, Kawan. Seperti mobil yang saling berhimpit di tengah keramaian kota. Hanya menunggu nyata yang semakin tak terkejar lagi. Kala asa hanya jadi nyata yang cukup dalam bayang-bayang mimpi. Hingga tak tergerak sama sekali.
Lalu daku amati lagi, ternyata angan cita dan nyata itu berbeda. Bisa saja semua berangan. Bisa saja cita itu setinggi langit. Tapi jarang sekali itu terniscaya karena tiada usaha. saha untuk merubah nasib demi angan. Cita tanpa diikatkan dengan usaha tiada mengubah nasib nasib. Dan sulit bagiku membuatnya secerah matahari dan seindah bulan. Hidup itu bukan hanya sebuah nasib yang kadang disesali banyak orang. Tapi lebih pada bagaimana kita memaknai cita dalam masa dan mengubah jalan menuju nasib yang indah itu, Kawan.
Kadang aku mendengar orang mengatakan itu adalah sebuah pilihan. Tapi sekiranya kurang tepat jika kita maknai hidup itu pilihan, Kawan. Karena bagiku, semuanya harus dihadapi entah bagaimana cara kita masing-masing untuk dapat taklukkannya.
Tadinya aku tak tahu arti semua itu. Laksana perahu yang berlayar yang hendak menelusuri samudera yang terbentang luas itu. Berlayarnya tanpa arah, Kawan. Sehingga kerap tertarik gelombang. Maju dan mundur tak lepas dari jebakan oleh sang ombak. Kadang berpengharapan kadang tiada angan hingga kian tergulung ke dasar tak berdaya sedikitpun. Waktu itu rasaku menjadi hal yang lumrah dan hanya membuatku diam. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Lantas aku rasa tak boleh hanya diam. Kita punya kehendak dan harus bersikap, Kawan. Ternyata semua harus segera aku sudahi.
Begini, kawan. Kala itu bermula yang semuanya hampir dimulai keterpaksaan. Ku paksakan karena pikirku aku harus memulainya dan enggan lagi untuk menjadi orang yang tak bersikap. Keterpaksaan itu aku landaskan pada sebuah angan yang masih cita. Anganku masih belum nampak jelas, namun itu dapat membangkitkan. Ya, sedikit demi sedikit memang memaksa untuk bangkit dari keterpurukan. Aku tak mau menjadi sahabat ombak yang terus menipuku itu. Kala itu aku sedikit buta.
Pikirku yang kerap mengarahkan semuanya. Walau pikirku saja tak dapat ku andalkan sepenuhnya. Salah dan malu pun sudah biasa, tapi dari semuanya aku bisa tahu dan merasa semakin jelas ku kan menapak jejak, berjalan untuk menatap yang lebih terang lagi. Menuju arah yang hendak ku tuju. Setidaknya aku telah dapat memetakannya. Walau masih hendak ku jelajahi peta dalam anganku. Namun belum tentu sesuai dan seindah angan.
Aku sedikit dan perlahan mulai berjelajah, berpengharapan untuk meneropong perjalanan panjang yang pendek ini. Yakinku itu pendek karena masa itu hanya beberapa hingga segera ku sudahi. Masaku belajar hidup dan belajar karena Yang Hidup. Walau sepenuhnya tak rasakan berpihak padaku.
Kadang ku rasa itu sudah tinggi hingga ku hampir lupakan semuanya. Kadang pula ku terjatuh ke dasar. Ya, dasar dari yang paling dasar dengan segala penderitaan hingga membuat hati ini goyah. Namun setitik bayangan membangkitkan daku, dari semua itu ku rasa tengah tergerakkan. Yang Hidup menggerakkan kesadaran oleh rasa yang tak teraba. Malu pun berpadu kala gerakan yang bersimpang hingga hampir melupakan yang mengasuh, mengembangkan dan membimbing pada sujud daku hanya Yang Satu.
Aku pun tak mau berhenti, ku lanjutkan jalan itu. Jalanan pun sempat ku tempuh, di tengah malam yang sunyi kala hampir semua bermimpi, ku masih terjaga berjalan mengarungi mimpi yang hidup hingga nyata bagiku, bukan sekedar mimpi sudut malam. Ku tetap menelusur ranah yang kala itu ku anggap tak mampu ku tempuh. Namun, akhirnya terang pun mulai datang dalam genggamanku sepenuhnya. Seindah warna aslinya dari yang paling indah.
Sangat memesona, Kawan. Sekiranya ku anggap wajar kala berbangga. Walau tak sampai termiskinkan hati demi kehormatan itu. Rasaku semuanya terus berputar bak metamorfosa cahaya seterang matahari dan seindah bulan. Walau kadang sang bulan tak tampak lagi dan hilang di pelupuk mata hingga berganti tetesan air di antara canda. Kalau itu pun sering tiada apapun yang harusnya telah aku genggam hingga saat ini.
Lalu, ku dapatkan lagi. Kali pertama sebagai yang kedua menjadi yang pertama. Namun sampai saat ini, pikirku sekiranya daku tak lagi pantas berbangga. Tiada kehendak terniscaya untuk daku sendiri. Hingga kini semuanya telah ku rasa tabu.
Rasa itu aku dapat kala dihadapkan pada sebuah salam pisah. Daku rasa enggan berpisah jika sebuah pisah yang masih tak damaikan hati. Tiada inginku Yang Hidup tak lagi menggenggam angan itu. Ku ingin bersama jiwa-jiwa bangsa di tengah bergesernya fase yang mulai berbeda ini.
Sekali lagi, hati ini tak kuasa dan tak relakan jika dihadapkan kala berpisah dan terputuskan. Kiranya adalah pisah yang terganti oleh jiwa menorehkan semua. Ku rasakan betul, rasa yang tengah gundah. Kini hatiku sangat gundah, Kawan. Gundahku kala tiada yang kuasa mempertahankan diri untuk terus terganti.
Kawan, jika itu yang harus dilalui, sekiranya daku hanya kuasa menganjurkan, rasa yang menggerakkan dan jiwa yang melaksanakan. Semuanya telah ku serahkan pada Yang Hidup. Ku yakin Dia kan bijak menentukan untuk yang sebaik-baiknya. Jika Hidup menghendakinya, biarlah Dia sendiri yang mengasuh dan mengembangkan.
.
(Arul 30 Mei ’11)